PERISTIWA November 1980 di Sumbawa Besar itu tak mudah dilupakan: 433 bangunan terbakar, 171 lainnya rusak berat, 12 orang meninggal. Empat belas mobil dan 15 sepeda motor rusak berat dan delapan buah unit mesin pengergaji. Belasan orang luka-luka. Dan karena semua itu, hampir 3 ribu penduduk pendatang terpaksa mengungsi secara terpisah-pisah. Maka, ketika lima terdakwa yang dituduh bertanggung jawab atas terjadinya kerusuhan itu masih terus diadili hari-hari ini, sejak Desember lalu, Pengadilan Negeri Sumbawa Besar selalu kebanjiran pengunjung. Indra (27 tahun), Surya (22 tahun), Abdullah (27 tahun), Syamsul (28 tahun) dan Nanang (27 tahun) oleh jaksa dituduh melakukan tindak pidana subversi. Berdasar Undang-undang Anti Subversi, mereka, yang diadili secara terpisah, bisa diancam hukumah mati. Menurut jaksa, kerusuhan berbau SARA itu bermula dari pengeroyokan atas diri Indra. Temannya, Surya dan Nanang, lalu mengajak teman-teman mereka membalas dendam. Tepat tengah malam 15 November 1980, para terdakwa bersama 200 orang lainnya menyerbu kantor cabang Asuransi Bumi Putera, yang diketahui tempat berkumpul para pemuda pendatang. Tiga hari kemudian massa bergerak lagi, merusak serta membakar Hotel Tambora, milik pendatang yang sudah lama menetap di Sumbawa Besar. Amukan massa, menutut jaksa, terjadi setelah mereka menghadiri pemakaman A. Rahman yang tewas tertembak saat penyerbuan ke rumah Hakim Lanang penduduk pendatang. Menurut seorang tokoh masyarakat Sumbawa, sejak makin banyaknya berdatangan kaum pendatang tahun 1950-an, penduduk sebenarnya menerima mereka dengan senang hati. Apalagi para pendatang dikenal sebagai petani yang rajin dan pekerja yang ulet. Tanah kosong sepanjang jalur Alas sampai Sumbawa Besar yang semula telantar, misalnya, mereka tanami kelapa. "Hasilnya bagus," kata Jafar Ahmad, bekas Kepala Jawatan Sosial Provinsi NTB. Para pendatang tak hanya menetap di Sumbawa Besar, tapi juga di Bima dan Dompu. Dan meski berasal dari latar belakang yang berbeda, banyak di antara mereka yang kawin serta membaur dengan penduduk setempat. Tahun 1960-an, misalnya, para pekerja dari luar Sumbawa yang ikut mengerjakan proyek rehabilitasi lapangan terbang Brangbiji (peninggalan Jepang), memilih tinggal di sana. "Mereka kerasan, karena sambutan penduduk setempat memang baik," kata tokoh di atas. Tapi memang kemudian terjadi peristiwa-peristiwa kecil. Misalnya, penduduk Sumbawa merasa kurang senang terhadap sebagian pemuda pendatang yang karena berbeda adat-istiadat dan agama, lalu menempuh jalan kawin lari dengan gadis setempat. Meskipun pada akhirnya, pria tadi menghubungi orangtua si gadis. Sebagian penduduk menganggap kejadian seperti itu "sudah keterlaluan". Dalam eksepsi, tim pembela secara tak langsung menyinggung latar belakang terjadinya 'peristiwa November 1980' itu. Iskaha Saleh dari Biro Bantuan Hukum (BBH) Universitas Mataram, misalnya, berpendapat bahwa perkara pengeroyokan terhadap Indra sebenarnya telah berakhir dengan penyerbuan ke kantor Cabang Bumi Putera. Ia menyayangkan, justru saat emosi massa sudah agak mereda, ada pejabat mengucapkan pidato -- ketika penahanan A. Rahman -- yang bisa membangkitkan rasa permusuhan. Perkara kematian Rahman yang dinilai tak diusut secara tuntas, menurut pembela Muhali, secara tak langsung membuat massa merasa lebih tidak puas. A. Rahman meninggal terkena tembakan. Ketika itu, 18 November 1980 ia bersama beberapa orang lainnya turut ber-"demonstrasi" ke rumah Hakim Lanang. Hakim yang cukup lama bertugas di Sumbawa Besar itu, diteriaki agar dipecat. Sebabnya belum diketahui secara jelas. Tapi kabarnya karena ia dinilai terkadang kurang bijaksana, terutama bila menangani perkara yang melibatkan penduduk setempat. Dalam ribut-ribut itu, Rahman diduga terkena peluru pistol yang ditembakkan Lanang. Tapi berdasar penelitian Laboratorium Kriminal Mabak, menurut sebuah sumber, tak bisa dipastikan kebenarannya. Walaupun memang, Lanang kabarnya punya dua pucuk pistol. Dan ketika orang berdatangan ke rumahnya, banyak yang melihat ia mengacungkan pistolnya. Kepala Kejaksaan Negeri Sumbawa Besar, Soewarsono, mengakui bahwa berkas perkara Hakim Lanang itu kini berada di kejaksaan. Hanya, katanya, belum bisa dilimpahkan ke Pengadilan. Soalnya, seorang hakim baru bisa diadili bila ia sudah diskors dari jabatannya. "Sampai sekarang saya belum mendapat pemberitahuan tentang skorsing terhadap dia," kata Soewarsono. Perkara SARA yang kini tengah disidangkan, memang bukan soal sederhana. Majelis Hakim yang diketahui R. Ishak nampak cukup hati-hati menanganinya, meskipun sidang diadakan secara maraton. Indra dan kawan-kawan dihadapkan ke sidang setiap hari, kecuali Jumat dan hari libur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini