IA ada hampir di setiap jalan, menyuruk di pojok pangkalan becak atau terselip di antara berbagai tenda pedagang makanan. Warung Tegal (warteg) memang bagian tak terpisahkan dari Jakarta. Sekitar setengah juta penduduk Ibukota tiap hari nongkrong dan melahap makanan mereka di warung-warung tanpa papan nama ini. Memasuki warteg Pak Warno yang terletak dekat Lapangan Udara Kemayoran, yang pertama menusuk hidung adalah bau sangit asap. Dinding belakang dapur yang menyatu dengan warung itu hitam oleh asap. Terkesan agak kotor. Warung berukuran 3 x 4 meter itu memang terletak di pinggir got yang ditutupi papan. Berbagai kotoran dapur dan sisa makanan teronggok di bak sampah yang terletak tepat di muka warung. Suasana seperti itu tetap saja mengundang langganan. Umumnya mereka menghabiskan Rp 200 untuk sekali makan. Variasi makanan di sini memang tak banyak. Nasi sayur Rp 150. Lauknya bisa dipilih: tempe atau tahu Rp 25, ikan asin Rp 50, ikan goreng Rp 200. "Paling banyak di sini seorang sekali makan hanya menghabiskan Rp 500," kata Tarpiah, anak Warno. Dan setiap hari tak kurang dari 30 liter beras ditanak. "Biasanya habis," katanya. Segala macam lauk ini diletakkan dalam kotak kaca yang terletak memanjang di atas meja. Kotak kaca adalah 'mode' mutakhir bagi kalangan warteg. Biasanya semua lauk pauk dionggokkan begitu saja bercampur singkong goreng, pisang goreng dan cabe. Omset warteg Warno sehari paling banyak Rp 25.000. "Asal semua sudah makan, kami sudah merasa lega," ujar Warno, 59 tahun, yang mengepalai 17 anggota keluarga dalam rumah papan berlantai dua, dan sekaligus menjadi tempat jualan. "Tidak seperti dulu, kini warung kami cuma buka sampai pukul 9 malam," kata Warno. Alasannya: tak ada tukang becak sekeliling warung mereka, lagi pula untuk menghindari pemabuk yang suka bikin onar. Warno sering mengenang masa kejayaannya di tahun 1950-an tatkala wartegnya bisa menjual satu kuintal singkong goreng sehari. Karena keberhasilannya waktu itu, Warno bisa menyekolahkan salah seorang anaknya sampai lulus sarjana muda, yang kini menjadi salah satu tokoh warteg Jakarta. Warno termasuk salah seorang perintis warteg di Jakarta. "Kami orang Tegal tak kuat tinggal di Jakarta lama-lama. Kami harus sering pulang ke kampung. Jadi harus selalu pegang uang. Itu hanya bisa dicapai melalui usaha jualan. Karena itulah kami membuka usaha warung," cerita Warno pekan lalu. Orang Tegal itu membuka warungnya di Kemayoran sejak 1948. Semua saudaranya dan 13 orang anaknya juga berusaha di bidang perwartegan. Beberapa di antara anaknya lahir di warungnya. Tokoh perintis lain adalah Karsiwan, yang membuka warung di daerah Grogol sejak menjelang zaman pendudukan Jepang. "Ayah membesarkan saya dengan wartegnya," kata Rasban Tegal, 40 tahun, anak kedua Almarhum Karsiwan. "Meskipun keluarga kami tinggal di Jakarta sejak 1943, kami tak pernah menetap sebagai penduduk. Di sini kami cuma menumpang kerja dan tidur. Tidak berbuat neko-neko (aneh-aneh). Sebulan sekali atau dua kali kami balik ke Tegal," kata Rasban yang gemuk, berkumis tipis dan banyak senyum ini. Rasban kini punya dua warung. Satu di Cibitung, Bekasi, dan sebuah lagi di Kemanggisan, Jakarta Barat. Ia belajar berjualan dari ayahnya. Setelah merasa mampu, pada umur 18 tahun ia membuka usaha sendiri. Tahun berikutnya ia pulang ke Tegal untuk kawin. Langganan warungnya yang di Cibitung kebanyakan sopir truk, karena itu ia menyediakan tempat parkir yang luas. "Juga balai-balai, kalau mereka ingin berbaring-baring sebentar," ujar pemilik warung yang beromset Rp 40 sampai Rp 60 ribu sehari ini. Tekad membuka warteg itu biasanya dinyatakan seseorang dengan mengatakan "Nyong pan truka warung (Saya akan membuka warung)". Yang diajak bicara langsung mengerti dan biasanya bertanya "Pan truka nang ngendi? " Mau membuka di mana? Berkembangnya ribuan warteg di Jakarta menumbuhkan pemikiran untuk bersatu. Sebuah insiden mendorong terciptanya persatuan ini. Dua tahun lalu, sebuah warteg milik adik perempuan Warno yang terletak di Tanjungpriok diobrak-abrik sekelompok pemuda brandal yang tak mau membayar. Rekso Slamet Sastoro, anak Warno, mulai memikirkan secara serius cara memberi perlindungan kepada para pengusaha warteg. "Warung Tegal beroperasi 24 jam. Karena itu sering menjadi sasaran pemabuk dan anak-anak nakal. Di samping itu juga menjadi korban para tengkulak yang mengkreditkan minyak dan berbagai keperluan warteg lainnya," ujar Sastoro yang menyelesaikan sarjana mudanya di jurusan akunting Fakultas Ekonomi Universitas Tujuhbelas Agustus Tegal. Cara pemecahannya: mendirikan koperasi. Maka pada akhir Desember lalu berdirilah Kowarteg (Koperasi Warung Tegal) di Jakarta. Ketuanya Sastoro, 37 tahun, yang mempunyai tiga warteg di Jakarta. Lambang yang dipilih sebuah poci terletak di atas piring, disilang sendok dan garpu dan diapit padi dan kapas dalam sebuah bingkai segi lima yang katanya mengisyaratkan Pancasila. "Pokoknya artinya bersama sendok garpu, piring dan poci kami bermaksud membangun sandang dan pangan," ujar Sastoro. Para anggota wajib membayar uang pangkal Rp 5.000 dan iuran Rp 1.000 per bulan. Langkah pertama yang dilakukan Kowarteg adalah mendaftar jumlah warteg. "Pendataan kami menunjukkan ada 9.326 warung Tegal di Jakarta dan sekitarnya, tetapi baru 1.226 yang menjadi anggota Kowarteg," kata Sastoro. Bagaimana caranya mendaftar? "Kami hitung melalui desa asal masing-masing. Kami orang Tegal selalu kenal orang Tegal lainnya," jaab Sastoro. Para pengusaha warteg di Jakarta umumnya berasal dari Desa Cabawan, Sidakaton, Krandon dan Sidapurna, Tegal. Menurut Caryono, "pensiunan" pengusaha warteg yang kini menjabat polisi Desa Cabawan, dari desa tersebut tercatat ada 1.460 warganya yang mengadu nasib membuka warteg di Jakarta. Sambutan para pengusaha warteg terhadap berdirinya koperasi ini sangat menggembirakan. "Kenapa sih blising gemiyen-gemiyen (Kenapa tidak sejak dulu-dulu)," begitu umumnya mereka menyambut. Kantor Kowarteg yang terletak di Sumur Batu, Jakarta Pusat, cukup meyakinkan. Di depan kantor diparkir sebuah bis mini dengan nama Kowarteg. Di ruang depan, pada pagi hari akan tampak berkarung-karung beras, kaleng-kaleng minyak dan tumpukan susu, yang akan dibagikan pada para anggota. Kantornya sendiri memakai pengatur udara (AC), karpet, serta memiliki mesin fotokopi dan tape deck stereo. Tentu saja ada telepon terpasang. "Kami ingin agar warga Tegal maju. Kami ajari para anggota kami cara menggunakan telepon umum untuk menelepon koperasi," ujar Sastoro. Untuk memudahkan para anggota pulang kampung, koperasi menyediakan sebuah bis. "Tak lama lagi akan kami sediakan ambulans agar para anggota yang sakit atau meninggal bisa dikirim ke Tegal," tambah Sastoro. Saat ini Kowarteg telah mensuplai beras, minyak dan susu buat para anggotanya. Kowarteg membagi warteg menjadi 3 kelas. Kelas I yang omsetnya sekitar Rp 300.000 sehari, kelas II berkisar Rp 150.000 dan kelas III yang berpenghasilan di bawah Rp 100.000. Sumirah, 35 tahun, mungkin pemilik warteg terbesar di kalangan Kowarteg. Ia memulai usahanya pada 1975 di Jalan Mardani, Kampung Rawa, Jakarta Pusat. bersama suami dan 4 anaknya, Sumirah tinggal di rumah di samping warung. Entah mengapa, warung Sumirah sangat laris. "Tak jarang sehari kami mendapat uang sampai lebih dari Rp 200.000," ujarnya. Padahal modal peralatannya tak berbeda dengan warteg lain: dua buah meja masing-masing sepanjang 3,5 meter dan dua bangku panjang. Piringnya cuma 2 lusin, gelas besar 2 lusin, gelas kecil 1/2 lusin. Langganannya sopir bajaj, tukang becak, anak sekolah dan karyawan. Delapan bulan lalu, janda Sumirah menikah dengan Achmad Djufri, bekas pamong Desa Cabawan yang kini menjabat Sekretaris Kowarteg. Achmad bermaksud memperbarui wartegnya. Ia memasang lantai tegel kuning dan langit-langit yang rapi, dengan dua lampu neon dan dinding kaca. Pada minggu-minggu pertama setelah perbaikan itu, langganan berkurang dan omset menurun. Rupanya mereka segan dan ogah masuk," kata Achmad. Karena itu ia tak berani bertindak lebih jauh. Meja dan bangku lama tetap dipertahankan, begitu juga jenis hidangannya: ikan kembung, sate jerohan, tahu tempe Tegal, rendang daging, telur asin, ayam goreng dan tentu saja petai dan teh poci. Warung Sumirah yang buka terus selama 24 jam dan mempekerjakan 9 orang pembantu menghabiskan 2 1/2 kuintal beras dalam 2 hari. Setiap hari ia menyisihkan Rp 20.000 untuk ditabung. Warteg ini, seperti juga ribuan yang lain, tak mempunyai izin usaha, namun tak lupa membayar bermacam iuran dan sumbangan. Sekalipun kebanyakan warteg tergolong kelas III, para pemiliknya tampaknya cukup puas. Darja, 27 tahun, yang membuka warteg di Bekasi, mengungkapkan, omset warungnya paling banyak Rp 50.000 sehari. "Tetapi ini pun sudah lebih baik daripada bertani di kampung," katanya. Keuntungan dari usaha warteg tercermin di desa asal pemiliknya. Desa Sidakaton, yang terletak sekitar 15 km sebelah barat Tegal. Misalnya, tampak bersih, rapi dan teratur. Rumah di desa itu kebanyakan tembok, berlantai tegel dengan kaca reiben. Banyak yang memiliki televisi berwarna. Di Kota Tegal sendiri hanya terdapat beberapa warteg. Langganan mereka juga kelas bawah. "Pokoknya asal masih ada tukang becak, kuli dan buruh, kami tak khawatir bangkrut," kata Wa'an pemilik warung seluas 3 x 5 m di pinggir Jalan Gajah Mada, Tegal. Kowarteg dengan 26 anggota pengurusnya yang tak digaji mempunyai cita-cita tinggi. Mereka akan membuka poliklinik gratis bagi anggota dalam waktu dekat. Seorang petugas khusus ditugasi mengusahakan bantuan hukum bagi anggota yang memerlukan. Di samping mengadakan berbagai aksi sosial, mereka juga telah menawarkan diri pada Polri untuk membantu siskamling, karena kebanyakan warteg buka 24 jam. "Tahun ini kami juga akan menyelenggarakan Kowarteg Cup," kata Sastoro dengan bersemangat. Sastoro malah ingin mengembangkan Kowarteg ke ruang lingkup nasional, karena warteg tersebar di banyak daerah. "Bahkan di Dili, Timor Timur juga ada warteg," kata Sastoro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini