SEPAKBOLA di Indonesia harus diurusi polisi juga rupanya. Senin
siang, 14 Agustus kemarin, Ali Sadikin kembali menyerahkan bahan
tambahan perkara suap yang menimpa beberapa pemain top PSSI.
Jadi, "sudah saya serahkan sepenuhnya kepada polisi," kata Ketua
Umum PSSI itu. "Terserah polisi bagaimana kelanjutan perkara
itu." Apa bukti tuduhan PSSI kepada beberapa pemain eks turnamen
Merdeka Games di Kuala Lumpur bulan lalu itu? Di situlah letak
kerepotan pertama. "Dalam soal suap-menyuap mana ada bukti hitam
di atas putih?" ujar Bang Ali.
Yang kedua, apalagi, "walau ada bukti sekalipun," seperti
pendapat pengacara dan bekas hakim senior Mr. Nursewan
Kusumonegoro, "perkara penyuapan begitu tak bisa dipidanakan."
Sebab, memang tak ada satu pasal KUHP pun yang dapat diterapkan
untuk mengancam pemain sepakbola yang kena suap. Bukankah pemain
PSSI itu bukan pegawai negeri? Sedangkan pasal sogok atau suap,
menurut hukum, memang hanya dapat dituduhkan kepada pegawai
negeri dan hakim yang "mengalpakan" atau "berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya" karena sesuatu pemberian atau
janji (pasal-pasal 209, 210, 418 dan 419 KUHP, misalnya).
Komandan Satuan Reserse Kepolisian Jakarta sendiri, Letkol Pol.
Kusparmono Irsan, yang ditugasi memimpin tim penyidikan perkara
PSSI, agak bingung juga menentukan tempat mulai. Sebab, ya
itulah dia terus-terang menyatakan tak menemukan pasal-pasal
tuduhan yang memadai. Kecuali, kata Kusparmono, jika ada
petunjuk pemain tersangka kasus suap itu memperoleh fasilitas
sebagai pegawai negeri ketika adu tulang kering di Kuala Lumpur
tempo hari. Dengan memperoleh fasilitas sebagai layaknya pegawai
negeri, dapat dianggap sebagai pegawai negeri juga, barulah
boleh pasal suap-sogok diancamkan kepada mereka.
Jika polisi berhasil mengaitkan antara pemain sepakbola dengan
pegawai negeri, bukan tak mungkin bakal ada kasus menarik pemain
sepakbola akan diseret ke pengadilan dengan tuduhan korupsi.
Sebab pasal suap-sogok zaman sekarang menurut undang-undang,
sudah masuk dalam undang-undang anti korupsi. Ancaman hukumannya
juga tidak enteng: masuk penjara seumur hidup atau
selama-lamanya 20 tahun dan atau denda paling tinggi Rp 30 juta.
Namun paling tidak, menurut Kusparmono, polisi bertugas
mengadakan pemeriksaan untuk mengetahui ada atau tidak kasus
penyuapan dalam pertandingan olahraga menyambut HUT Kemerdekaan
Malaysia belum lama ini. Tidak soal, hasilnya kelak akan menjadi
perkara kriminil atau bukan. Bagi PSSI pun, agaknya, demikian
juga.
Siapa menyuap? Siapa kena suap? Ali Sadikin belum membeberkan.
Sedangkan polisi, hingga berita ini turun, belum memeriksa
seorang tersangkapun -- baik pemain PSSI maupun pihak luar.
Hanya diketahui, polisi Jakarta tengah minta bantuan polisi
Semarang untuk memanggil seorang Cina yang dituduh menyemir
pemain. Orang ini diketahui pemilik toko emas di Semarang,
kabarnya memang penjudi sepakbola kelas kakap.
Polisi juga belum berhasil memanggil pemain yang dilaporkan Bang
Ali. Pemanggilan macet. Polisi tak tahu alamat mereka. Sedangkan
KONI, dengan alasan perkara suap itu urusan pribadi -- bukan
organisasi -- enggan ikut campur meneruskan panggilan polisi
yang jatuh ke sana. Hanya KONI dan pelatih Sinyo Aliandu tak
keberatan membantu polisi jika hanya menunjukkan alamat para
pemam yang harus menghadap meja pemeriksaan.
Ronny Pasla
Selagi Bang Ali dan polisi masih menyatakan "belum waktunya"
menyebutkan berapa dan siapa saja pemain PSSI yang didakwa
selingkuh, klub sepakbola IM Jakarta (Indonesia Muda) angkat
bicara. Pengurus IM telah membentuk tim pembela bagi para
tersangka. Apakah yang terkena tuduhan suap itu anak IM?
Entahlah. Yang jelas anak-anak IM, seperti kiper Konnv Pasla,
Johannes Auri, Suaeb Rizal dan Wahyu Hidayat, memang telah ikut
memperkuat pertahanan belakang kesebelasan PSSI di Merdeka Games
yang menghebohkan itu.
Dan dalam kericuhan yang belum jelas benar duduk perkaranya itu
Ronny Pasla juga bicara. Bukan soal penyuapan. Tapi soal lain --
yang oleh orang bisa dianggap dekat dengan urusan itu. Kiper ini
membeberkan kekurang perhatian pengurus PSSI terhadap para
pemainnya. Misalnya soal uang latihan dan uang saku selama
turnamen. Sepanjang hari-hari pertandingan di KL, 12 hari, para
pemain hanya menerima 50 dolar AS dari PSSI. Dan ditambah 6
dolar Malaysia per hari dari tuan rumah. Itu rupanya tidak cukup
merangsang untuk bermain baik -- kecuali menimbulkan isyu suap
saja.
Soal suap-sogok bukan baru bagi PSSI. Kampiun sepakbola Ramang,
digeser dari lapangan hijau menjelang Asian Games IV (1962),
setelah santer isyu penyuapan terhadap dia dan kawan-kawannya.
Zaman Bardosono memimpin PSSI pun -- walaupun waktu itu
fasilitas buat pemain memadai (pemain mendapat Rp 100 ribu
setiap kali menang, Rp 75 ribu kalau seri dan Rp 25 ribu bila
kalah) -- toh ada saja berita penyuapan. Hanya, dengan alasan
bukan perkara kriminil, tapi urusan dalam organisasi, Bardosono
berhasil menutupi koreng yang timbul juga dalam keadaan yang
enak itu. Polisi tidak usah turun tangan. Dan seorang kapten
kesebelasan nasional waktu itu selamat dari tuduhan suap secara
terbuka. Tapi menyerahkan urusan ini kepada polisi agaknya
dimaksudkan agar cepat mendapat kejelasan akan duduk perkara
sesungguhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini