INI soal hubungan laut lagi. Artinya soal kapal, alat
perhubungan utama tapi tetap langka bagi kepulauan ini. Karena
itu tak heran jika selalu memancing persoalan, secara terbuka
maupun tidak.
Salah satu di antaranya adalah tentang peranan cincu-cincl
dalam dunia pelayaran di daerah ini. Istilah ini sebenarnya tak
ada dalam dunia pelayaran. Tapi dalam praktek pelayaran di
kawasan ini kata-kata itu diartikan sebagai "orang yang paling
berkuasa di atas kapal" -- seperti diungkapkan seorang nakoda.
Dalam dunia pelayaran, resminya istilah itu disebut comprador.
Artinya wakil pihak pengusaha pelayaran dalam hal administrasi
kapal. Jabatan ini resminya tetap berada di bawah nakoda. Tapi
struktur resmi ini sulit diterapkan di Riau. "Sebab perusahaan
pelayaran di sini umumnya tidak punya kapal sendiri," tutur Imam
Sudradjad, Ketua DPC Insa Kepulauan Riau.
Di sini kebanyakan kapal yang beroperasi justeru milik
perorangan yang digabungkan ke perusahaan pelayaran. Tapi tidak
pula bersifat carteran atau kontrak. Karena itu dalam
pengelo]aannya semua biaya ditanggung sang pemilik. Cincu-cincu
tadi adalah pemilik kapal atau yang mewakili si pemilik. Jadi
tugas mereka meliputi semua administrasi kapal, termasuk
menentukan siapa yang boleh jadi awak atau memberhentikan
mereka.
Pihak perusahaan pelayaran sendiri agaknya tak mampu membendung
kekuasaan para cincu ini. Sedikit saja pihak perusahaan mau
turut mengatur, si cincu atas nama pemilik dengan enaknya pindah
ke agen perusahaan pelayaran lain. Ini berarti menutup pintu
rezeki bagi si perusahaan (agen) pelayaran. Apalagi hidup mati
perusahaan pelayaran di sini justeru tergantung pada mengageni
kapal-kapal tadi.
Sewenang-wenang
Kekuasaan cincu-cincu yang begitu besar merepotkan banyak pihak.
"Kami sering diberhentikan sewenang-wenang," kata seorang
pelaut. Lalu belakangan ini dikeluhkan juga soal penerimaan
awak kapal. Sebab para awak yang diterima kebanyakan dari
kalangan non pribumi. Maka makin panjang pula pengangguran para
pelaut (pribumi), sementara organisasi Kesatuan Pelaut Indonesia
(KPI) tampaknya tak berdaya menolong anggota-anggotanya. Lebih
menyedihkan lagi karena jabatan cincu tadi kebanyakan dipegang
oleh mereka yang berstatus WNA.
Mungkin karena rasa jengkel, belakangan tak sedikit awak kapal
yang membuka kartu. Para awak yang diadili karena tuduhan
menyelundup, mengungkapkan di sidang pengadilan, bahwa justeru
sebenarnya para cincu itulah dalang penyelundupan selama ini.
Seperti kasus penyelundupan beberapa puluh karung merica yang
disergap para petugas Bea Cukai di kapal feri Taruna belum lama
ini. Meskipun yang dihadapkan di meja hijau adalah salah seorang
awak feri, ternyata ia hanya diupah untuk mengaku dan sekaligus
jadi tumbal. Dalang sebenarnya, menurut si awak, adalah cincu.
"Penyelundupan di daerah ini tak mungkin ditekan selama para
cincu masih jadi raja," tutur seorang nakoda feri yang sering
diminta jadi saksi di Pengadilan Negeri Tanjungpinang.
Sulitnya lagi, baik nakoda maupun para awak kapal sulit menolak
untuk dijadikan tumbal -- semata-mata karena menyangkut tambahan
penghasilan. Tapi juga, bila menolak berarti akan dipecat begitu
saja oleh sang cincu. Dan lucunya, Sudirjo, Syahbandar
Tanjungpinang, tak melihat peranan cincu ini sebagai hal yang
aneh dalam dunia pelayaran di daerah ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini