Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Hukum Tata Negara di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ferdian Andi, menyoroti soal bahaya yang akan muncul dari rencana perubahan keempat Undang-undang Mahkamah Konstitusi alias revisi UU MK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, rencana perubahan ini menimbulkan spekulasi di masyarakat lantaran proses yang tidak transparan dan tidak melibatkan publik.
“Jika perubahan UU MK tetap dilakukan, akan berimplikasi konstitusional bagi kekuasaan kehakiman di Indonesia,” ujar Ferdian dalam keterangan resmi, dikutip Kamis, 23 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) itu mengatakan, perubahan UU MK seharusnya dilakukan secara terbuka dengan melibatkan publik. “Karena tidak terbuka, maka memunculkan spekulasi yang beragam di publik. Padahal, rencana perubahan ini juga sudah muncul sejak awal 2023,” tuturnya.
Ferdian menyebut, apabila perubahan UU MK dimaksudkan untuk perubahan syarat usia dan masa jabatan hakim MK, maka akan berpotensi mengancam prinsip dasar kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
“Putusan MK No 81 Tahun 2023 telah mengingatkan tentang perubahan UU MK khususnya terkait perubahan syarat usia dan masa jabatan akan mencam kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Ini bertentangan dengan prinsip konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945,” kata dia.
Kemudian, dalam putusan MK No 81 Tahun 2023 juga menyebutkan apabila perubahan UU MK dilakukan tidak boleh merugikan subjek yang disebutkan dalam UU MK tersebut, yakni hakim MK.
Menurut Ferdian, perubahan UU MK ditujukan pada hakim MK yang diangkat setelah berlakunya UU tersebut diubah. “Poin ini harus dibaca dengan seksama oleh pembentuk UU,” ujarnya.
Dia juga menyoroti fenomena legalisme otokartis (autocratic legalism) yang menggejala di sejumlah negara dengan menjadikan MK sebagai obyek lembaga yang dikuasai oleh cabang kekuasaan lainnya.
Fenomena ini, kata Ferdian, dapat mengonversi pemerintahan demokratis menjadi pemerintahan otokratik. “Gejala yang terjadi di sejumlah negara di dunia ini harus kita baca dengan seksama. Jangan sampai legalisme otokratik berupa konversi negara demokrasi ke negara otokratik melalui mekanisme hukum terjadi di Indonesia,” katanya.
Sebagai informasi, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR RI telah menyepakati rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kesepakatan perihal revisi UU MK itu diungkapkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Hadi Tjahjanto pada Senin, 13 Mei 2024.
Pembahasan RUU MK digelar secara diam-diam pada hari terakhir reses atau 13 Mei lalu. Pengesahan revisi UU MK di tahap pertama ini mendapat penolakan dari berbagai kalangan, antara lain karena dianggap bisa melemahkan independensi MK.
Pilihan Editor: Beragam Penolakan terhadap Revisi Keempat UU MK