Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud Md, menilai, independensi hakim MK akan terganggu bila revisi UU MK versi DPR disahkan. Menurut Mahfud, beberapa pasal dalam draf revisi UU MK versi DPR itu tak adil. Ketidakadilan itu karena tampak ingin menendang hakim MK yang selama ini dianggap kritis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pasal revisi itu mengancam 3 orang hakim MK yang sedang periode kedua. Mereka dimintai konfirmasi apakah jabatan diteruskan atau tidak. Pasal itu menyangkut orang orang yang selama ini dikenal kritis," kata Mahfud usai dalam Indonesia Integrity Forum 2024 yang diadakan Trancparency International Indonesia di Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahfud mengatakan, revisi tersebut ditolak ketika dirinya masih menjadi Menkopolhukam. Ia tak setuju karena revisi UU MK sudah pernah dilakukan pada 2020.
"Namun revisi itu muncul pada 2022. Itu sudah jadi RUU-nya dan hanya sekian pasal. Hal ini menurut saya tidak adil dan mengancam independensi Mahkamah Konstitusi," kata Mahfud.
Penolakan Mahfud itu disampaikan dengan mengirimkan jawaban pemerintah ke DPR agar pasal-pasal yang mengancam independensi hakim dihapuskan. Ia mengatakan, pasal yang bermasalah itu menyangkut pengkategorian hakim konstitusi berdasarkan periode jabatan lima tahunnya.
Revisi ini mengatur agar hakim bisa berhenti setelah usia 70 tahun atau habis masa jabatan terakhir. Aturan ini khusus untuk hakim yang pada periode ketiga dan menjelang masa pensiun.
"Sehingga pilihan kalau masuk jabatan terakhir itu berarti dia akan pensiun di umur 71, bertambah yang Anwar Usman itu," kata Mahfud.
Sementara itu, untuk hakim periode kedua bisa dimintai konfirmasi mengenai kelanjutan jabatannya. Periode kedua ini seperti hakim konstitusi seperti Suhartoyo, Saldi Isra, dan beberapa hakim lainnya. "Nah itu kebetulan menyangkut orang-orang yang selama ini dikenal kritis,"kata Mahfud.
Namun, Mahfud meyakini, revisi UU MK itu tidak bisa berjalan lagi. Sebab, momentum politik untuk menyingkirkan hakim konstitusi yang kritis telah berlalu dan Pemilu 2024 sudah terlewati.
Sebelumnya, pemerintah dan DPR telah menyepakati rancangan Undang-undang tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto.
“Pemerintah sepakat untuk dapat meneruskan pembicaraan dan pengambilan keputusan tingkat II terhadap RUU Mahkamah Konstitusi di Sidang Paripurna DPR-RI,” ujar Hadi dalam keterangan resminya pada Mei 2024.
Revisi UU MK ini dikritik oleh Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna. Palguna menyoroti revisi UU MK Pasal 23 Ayat 1 yang membatasi masa jabatan hakim konstitusi selama 10 tahun. Dia menilai, revisi ini sudah jelas bisa memengaruhi independensi hakim MK. Bahkan, kata dia, pengaruh itu sudah bisa dipahami oleh masyarakat awam tanpa perlu menjadi sarjana hukum terlebih dahulu.
"Enggak perlu jadi sarjana hukum sudah tahulah itu bisa mempengaruhi independensi hakim konstitusi," kata Palguna.
Belakangan, DPR menyepakati agar keputusan pada tingkat II atau pengambilan keputusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi (MK) dilakukan pada periode selanjutnya. Dengan demikian, RUU MK akan menjadi RUU operan atau carry over untuk DPR periode 2024-2029.
Novali Panji Nugroho berkontribusi dalam penulisan artikel ini.