Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta-Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengaku tidak tahu soal revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. "Saya belum tahu," kata Yasonna di Auditorium Gadjah Mada, Lemhanas, Jakarta, Kamis, 5 September 2019.
Saat ditanya apakah DPR mengajak pemerintah untuk berkoordinasi atau tidak, Yasonnya juga menjawab tidak tahu. "Saya enggak tahu. Saya baca koran saja hari ini," kata dia.
Hari ini, anggota DPR menyepakati pembahasan revisi UU KPK atau UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Rapat Paripurna. DPR menyepakati revisi UU KPK adalah usul inisiatif DPR.
Anggota Komisi Hukum DPR Masinton Pasaribu mengklaim pemerintah dan parlemen sudah sepakat melakukan revisi UU KPK sejak 2017. "Pemerintah dan DPR kan sudah, 2017 lalu ya itu sudah menyepakati," kata Masinton.
Ada enam poin krusial yang disepakati dalam revisi UU KPK. Pertama, kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan. Sedangkan pegawai KPK adalah aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada peraturan perundang-undangan.
Kedua, penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas KPK. Ketiga, KPK harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lain sesuai hukum acara pidana.
Keempat, setiap instansi, kementerian, lembaga wajib menyelenggarakan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara (LHKPN) sebelum dan setelah berakhir masa jabatan. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerja KPK.
Kelima, KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diawasi oleh Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang. Dewan Pengawas KPK dibantu oleh organ pelaksana pengawas.
Adapun yang terakhir, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi apabila penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun.
FRISKI RIANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini