Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Eksekusi, oh,...repotnya

Ma sering menunda-nunda eksekusi walau sudah berkekuatan pasti. misalnya, ganti rugi untuk pt ardi indah, dan lelang gedung cv zaini. perintah penundaan datangnya dari wakil ketua ma, purwoto gandasubrata.(hk)

14 Juni 1986 | 00.00 WIB

Eksekusi, oh,...repotnya
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
UMUR sebuah perkara perdata di Indonesia sering lebih lama dari usia pihak-pihak yang berperkara. Sebab, sering kali, putusan perkara perdata yang sudah berkekuatan pasti pun, ternyata, terkatung-katung pelaksanaannya. Kesulitannya, selain yang kalah boleh selalu mencoba menunda eksekusi, sering pula putusan hakim agung yang satu ditunda pelaksanaannya oleh hakim agung yang lain. Malah ada penundaan datang dari hakim agung yang semula memerintahkan eksekusi. Contoh terbaru terjadi di Samarinda, dalam perkara PT Ardi Indah melawan PT Hartaty Jaya Plywood. Yang pertama menggugat lawannya, karena tidak kunjung menerima 6.000 m3 kayu yang dipesannya, padahal sudah merasa menyerahkan uang panjar berjumlah Rp 45 juta. Hakim Agung R. Soekamto, yang memeriksa perkara itu di tingkat kasasi, 1985, menghukum Hartaty membayar ganti rugi Rp 50,3 juta. Hartaty meminta Mahkamah Agung menunda eksekusi - biasa - dengan alasan pihaknya meminta perkaranya ditinjau kembali. Tapi Wakil Ketua Mahkamah Agung, Purwoto Gandasubrata, Juli 1985, menolak permohonan itu dengan alasan: peninjauan kembali tidak bisa menangguhkan eksekusi. Sebab itu, 27 Januari 1986, Pengadilan Negeri Samarinda - melalui Pengadilan Negeri Kutai - melakukan sita eksekusi atas harta Hartaty. Tidak melihat jalan lain lagi, Maret lalu, Hartaty menyerahkan giro bilyet Rp 50,3 juta kepada Ketua Pengadilan Negeri Samarinda, Mahmud. Pengadilan pun mencairkan giro bilyet itu. Persoalan selesai? Tidak. Ketika Ardi datang ke pengadilan untuk menerima kemenangannya, pengadilan memberi tahu, eksekusi ditunda. Ternyata, ada surat Wakil Ketua Mihkamah Agung yang terbaru, 29 April 1986, menangguhkan pelaksanaan keputusan itu, dengan alasan ... perkara itu masih dalam proses peninjauan kembali. Ketidakpastian sikap Wakil Ketua Mahkamah Agung itu, bulan ini, diprotes pengacara Ardi, Agustinus Temarabun. "Saya tidak mengerti dengan sikap Mahkamah Agung yang mendua itu," kata Agustinus, yang pekan lalu mengirimkan surat protesnya ke Mahkamah Agung juga. Pada 1985, kata Agustinus, lembaga peradilan tinggi menolak permohonan Hartaty untuk menunda eksekusi hanya berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) bahwa peninjauan kembali tidak menangguhkan eksekusi. Tapi pada 1986, setelah Perma itu dikukuhkan pasal 66 ayat 2 UU MA no 14/1985 (Undang-Undang Mahkamah Agung), lembaga itu malah mengabulkan penangguhan. "Itu, 'kan aneh," kata Agustinus. Pihak Hartaty, Maslan Tanzi, yang berstatus penasihat hukum dan manajer umum di perusahaan itu, menyatakan gembira dengan keputusan yang terakhir itu. Tapi, ia tidak bersedia menjelaskan apa latar belakang sampai permohonannya diterima peradilan tertinggi itu. "Nanti, kalau perkaranya sudah selesai, baru saya jelaskan," katanya. Sementara itu, Ketua Pengadilan Negeri Samarinda, Mahmud, hanya meminta TEMPO menanyakan soal itu ke Mahkamah Agung. Tapi, ia terpaksa meminta fatwa atasannya karena bingung mendapat surat itu. Tapi bukan hanya dalam perkara itu eksekusi terkatung-katung akibat surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Purwoto. Maret lalu, petugas lelang dan para calon pembeli telah siap mengikuti acara lelang gedung CV Zaini, di Jalan Agus Salim, Samarinda. Gedung itu terpaksa dilelang karena pemiliknya, Syukur, harus membayar ganti rugi Rp 50,8 juta kepada lawannya, A. Moeis Zamzam. Tapi, ketika lelang akan dibuka, semua yang hadir jadi bengong. Sebab, saat itu Juru Sita Pengadilan Negeri Samarinda, M. Hatta Datu, membacakan surat Mahkamah Agung yang menangguhkan lelang eksekusi itu. Mirip dengan kasus di atas, surat Purwoto juga berhasil menggagalkan pengosongan rumah, yang dihuni Nyonya Linawaty di Jalan Pelabuhan, Samarinda. Ketika itu, 12 April lalu, pihak pengadilan dan kepolisian telah siap mengosongkan rumah yang disewa Nyonya Linawaty, yang kalah berperkara dengan pemilik rumah. Tapi, tiba-tiba muncul pengacara Linawaty, Herry Tombeng, membawa surat Purwoto yang berisi penangguhan eksekusi. Tentu saja eksekutor bubaran. "Sebenarnya Herry sudah beberapa kali meminta penangguhan eksekusi, tapi saya tidak bisa memenuhi. Barulah, setelah ada surat Mahkamah Agung itu, eksekusi bisa ditunda - 'kan kami harus menaati surat itu?" kata Ketua Pengadilan Negeri, Mahmud. Memang tidak selalu surat Purwoto berhasil menangguhkan eksekusi - tapi itu cuma kebetulan. Dalam perkara sengketa tanah seluas 100.000 m2 dengan Pemda, tahun lalu, Itong bin Uli memenangkan perkara sampai ke Mahkamah Agung. Kendati diprotes Gubernur Kalimantan Timur, eksekusi dilaksanakan juga oleh pengadilan, 14 November 1985. Baru sebulan kemudian surat Purwoto sampai di Samarinda untuk menangguhkan eksekusi. "Tapi surat itu tidak bisa apa-apa lagi, soalnya eksekusi sudah dilaksanakan," ujar pengacara Itong, Fahrie Doemas. Wakil Ketua Mahkamah Agung, Purwoto S. Gandasubrata, membenarkan telah menunda eksekusi kasuskasus di atas. "Penundaan itu tentu berdasarkan alasan yuridis," ujar Purwoto. Tapi ia enggan menyebutkan alasan-alasan itu. Pada 1980, lembaga peradilan tertinggi itu menjadi bulan-bulanan kritik anggota DPR, gara-gara hal itu juga. "Banyak yang dilakukan Mahkamah Agung yang bersifat bukan hukum - hanya berupa pendapat hakim agung atau ketuanya sendiri," kata anggota DPR, waktu itu, V.B. Da Costa. Ketua Mahkamah Agung, waktu itu, Prof. Oemar Senoadji, tidak bersedia melayani serangan Da Costa. "Saya tidak mau melayani pertanyaan tentang perkara demi perkara di parlemen. Karena hal itu sudah menyangkut salah satu kebebasan hakim - yang juga bebas dari pengaruh parlemen," katanya. Tapi kapankah penyakit itu bisa sembuh? Karni Ilyas, Laporan Rizal Effendi (Samarinda)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus