MEMPERSATUKAN advokat di satu wadah ternyata bukan pekerjaan gampang. Setelah lebih dari setengah tahun Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) yang harus dianggap sebagai satu-satunya wadah para pengacara - terbentuk, organisasi-organisasi pengacara yang lama ternyata masih tetap hidup. Wadah tunggal, Ikadin, akibatnya, sampai saat ini hanya seperti federasi organisasi-organisasi pengacara sebelumnya. Pertentangan antarkelompok, khususnya antara kelompok yang berasal dari Peradin dan non-Peradin, tetap saja muncul di berbagai kesempatan. Keruwetan, terutama, muncul saat pembentukan pengurus di cabang-cabang. Sebab itu, Menteri Kehakiman Ismail Saleh perlu memberikan aba-aba, organisasi di luar Ikadin sudah seharusnya bubar. "Pak Ali Said, ketika merintis pendirian Ikadin dulu, 'kan mengharapkan para pengacara itu bernaung di satu wadah. Pemerintah mengharapkan Ikadin itu benar-benar menjadi wadah tunggal," ujar Ismail Saleh kepada Musthafa Helmy dari TEMPO. Ketika membuka Munas Wadah Tunggal, November lalu, Ismail Saleh pun berharap seperti itu. "Tanpa rekomendasi dari wadah tunggal, Menteri Kehakiman tidak akan mengangkat seorang advokat," katanya. Sikap Ismail Saleh itu tentu saja didukung pengurus Ikadin, khususnya yang datang dari unsur Peradin. Sebab, selain mendominasi wadah tunggal itu, para anggota unsur Peradin memang cepat melupakan organisasi asalnya. "Sebenarnya, dengan terbentuknya Ikadin itu, baik secara de jure maupun de facto, organisasi yang ada sebelumnya sudah bubar. Kalau tidak, buat apa segala Munas itu?" ujar Ketua DPC Ikadin Jakarta, Rusdi Nurima, yang datang dari unsur Peradin. Persoalannya sekarang, kata Rusdi, tinggal tindak lanjut dari pemerintah. Tapi, sampai saat ini, memang pemerintah belum mengeluarkan ketentuan yang mewajibkan semua advokat harus menjadi anggota Ikadin. Pendapat Rusdi itu juga disepakati Ketua LPPH (Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum) Golkar Hakim Simamora, "Itu logis. Sebab, sepanjang kegiatan advokat itu sudah ditampung Ikadin, organisasi di luar itu dengan sendirinya harus bubar." Hanya saja, katanya, LPPH Golkar tidak perlu bubar karena kegiatannya hanya penyuluhan atau bantuan hukum cuma-cuma yang berbeda dengan advokat. "Seandainya kegiatan itu sudah diambil alih pula oleh Ikadin, saya kira semua LBH-LBH yang ada - termasuk LPPH - juga harus bubar," kata Hakim, yang di dalam Ikadin duduk sebagai salah seorang ketua. Tapi tidak semua unsur Ikadin dari non-Peradin sependapat. Budhi Soetrisno, Ketua Umum Himpunan Penasihat Hukum Indonesia (HPHI), menganggap organisasinya tidak perlu bubar. "Sebab, belum semua aspirasi tertampunya di Ikadin," katanya. Misalnya dalam soal keanggotaan. Kata Budhi, anggota Ikadin hanyalah sarjana hukum yang sudah diangkat Menteri Kehakiman, sementara banyak anggota organisasi di luar Peradin, seperti HPHI, Pusbadhi (Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum Indonesia), atau LPPH-Golkar, yang bukan sarjana hukum atau tidak diangkat Menteri. Lebih dari itu, kata Budhi, kenyataannya wadah itu berkembang lain dari yang diharapkan. "Dulu, semangatnya semua anggota punya hak sama, tapi perkembangannya menjurus ke 'Neo-Peradin' - apalagi dalam pembentukan cabang-cabang di daerah," tambah Budhi, yang juga Anggota Dewan Penasihat Ikadin. " Sebab itu, Budhi menganggap gagasan Menteri Kehakiman membubarkan organisasi-organisasi di luar Ikadin itu belum saatnya. "Paling tidak untuk masa sekarang," ujar Budhi. Apalagi, katanya, hukum acara pidana (KUHAP) toh mengizinkan pengacara yang bukan sarjana beracara di pengadilan. "Jadi, seharusnya, Menteri membentuk dulu undang-undang penasihat hukum, baru bisa ditentukan apa harus hanya satu organisasi," tambahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini