Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Gali pasir buka pintu penjara

Pertama kalinya UU lingkungan diterapkan untuk penggali pasir. bisakah pasal itu menghentikan usaha yang diam-diam didukung oleh masyarakat kelas bawah?

7 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AMRAN Wijaya, 55 tahun, bolehlah dimasukkan dalam catatan sejarah hukum lingkungan. Dialah juragan penambangan pasir pertama yang mencicipi pahitnya Undang-Undang Lingkungan Hidup (UU No. 4 Tahun 1982). Kamis pekan lalu, bos PT Daya Construction Sejati dan CV Daya Usaha Trading Company Bogor itu dihukum 15 bulan penjara dan denda Rp 1.250.000 oleh Pengadilan Negeri Bogor. Persidangan perkara perusakan lingkungan itu menjadi penting karena untuk pertama kalinya pelanggar penambangan golongan C (pasir dan batu) dijerat dengan UU Lingkungan. Biasanya, para penambang liar atau pelanggar penambangan golongan C itu hanya dikenai sanksi berdasarkan peraturan daerah (perda). Hukumannya amat ringan, hanya bayar denda. Karena itu, Amran tampak terkejut, begitu Hakim Mohamad Soeleman memvonis hukuman penjara. Wajahnya tampak pucat tak bergairah. Menurut Hakim Soeleman, terdakwa pantas menerima hukuman itu karena di persidangan ia terbukti bersalah melakukan penggalian pasir tanpa berupaya mereklamasi bekas galian tersebut. Akibat tindakannya, lingkungan di bekas areal penambangan dan sekitarnya mengalami rusak berat (melanggar pasal 22 (2) Undang-Undang Lingkungan, juncto pasal 64 KUHP). Terdakwa juga dipersalahkan karena tidak mau menghentikan usaha tambangnya, padahal izin usahanya sudah habis masa berlakunya. Jaksa Nyonya Nazwarni semula menuntut hukuman 21 bulan dan denda Rp 1,5 juta. Dalam dakwaannya disebutkan, selaku direktur utama dua perusahaan penggalian pasir ia harus bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup yang rusak di Desa Pagelaran dan Desa Sukaresmi (Kecamatan Ciomas), Bogor. Firmansyah Adnan, penasihat hukum terdakwa, tak sependapat dengan kesimpulan jaksa dan hakim. "Di sekitar lokasi, masih banyak petani yang berhasil menanam palawija. Ini sebuah indikasi bahwa lahan tersebut tidak rusak," katanya. Tuduhan tidak melakukan reklamasi juga dibantah. "Klien kami sudah berupaya melakukan reklamasi, tapi memang belum selesai." Firman menyebut, penggunaan pasal UU Lingkungan terasa berlebihan. Jaksa Nazwarni menyebutkan, penggunaan pasal itu justru untuk memberi pelajaran bagi perusak lingkungan. Kejaksaan juga ingin menunjukkan bahwa pemerintah sangat serius menangani masalah kerusakan alam. "Jadi, ini semacam shock therapy bagi pengusaha bandel," kata Nazwarni. Selama ini, diakui oleh jaksa, masih terjadi perbedaan persepsi dalam mendefinisikan arti kerusakan lingkungan hidup. Disisi lain, kejaksaan juga mengalami kesulitan dalam menentukan ahli mana yang berhak menyatakan apakah suatu lingkungan rusak atau tidak. Itulah yang menyebabkan perkara kerusakan lingkungan jarang dijerat dengan UU Lingkungan. Bahwa akhirnya hakim sependapat dengan jaksa, "itu merupakan lompatan besar," ujar Nazwarni. Bagi Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan), yang terus memonitor perkembangan perkara tersebut, kasus Ciomas itu akan dijadikan semacam pegangan untuk penanganan masalah sejenis. Dan tampaknya, korban UU Lingkungan bakal bertambah. Sebab Bapedal telah bersiap-siap mempermasalahkan tujuh perusahaan penggali pasir liar di Jawa Barat. Sementara itu, di Pengadilan Negeri Tangerang, Sabtu dua pekan lalu, seorang pengusaha galian pasir juga diadili dengan pasal UU Lingkungan Hidup. Terdakwa dipersalahkan karena menyuruh 80 orang kuli mengambil pasir dari perut bumi di Desa Benda, Tangerang. Kulit bumi yang terkelupas mencapai kedalaman 7 meter. Setelah pasirnya tampak, disedot menggunakan diesel. Air dari galian itu pun dibuang ke sawah-sawah penduduk, mengakibatkan tanaman tak berproduksi. Pemerintah, seperti diungkapkan pejabat Bapedal, memang berniat secara serius menertibkan penggalian-penggalian pasir liar. Sebab, selama ini, galian liar tampak kian merajalela saja. Secara nyata, bahaya dari galian itu, selain merusak lingkungan, juga bisa meruntuhkan jembatan. Menurut data Bapedal, tak kurang dari 8 jembatan runtuh akibat penggalian pasir. Pelan tapi pasti, kerusakan lingkungan akibat galian pasir akan terus meningkat. Berbeda dengan kasus pencemaran lingkungan, untuk perkara perusakan lingkungan akibat galian pasir ini memang agak alot. Untuk bisa memperkarakan pengusaha galian liar, pihak Pemda dan Bapedal harus bekerja keras untuk bisa membuktikan kerusakan dan kerugian yang ditimbulkannya. Soalnya, tak seperti kasus pencemaran yang menimbulkan amarah penduduk sekitar, masalah penggalian pasir justru didukung oleh penduduk yang merasa diuntungkan secara ekonomis. Karena itulah, sejumlah pakar hukum yang dihubungi tak terlalu optimistis bahwa penerapan pasal UU Lingkungan - yang ancaman hakumannya lebih berat daripada perda - akan membuat jera penambang liar. Menurut mereka, masalah ini bukan sekadar urusan pasal-pasal hukum yang kaku, tapi menyangkut soal perut masyarakat kalangan bawah. Jadi, penanganannya, mau tak mau, memang harus melibatkan banyak pihak.Aries Margono, Taufik Alwie, G. Sugrahetty,dan Taufik Abriansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum