Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sebuah ruang di Kepolisian Daerah Metro Jaya, Noortjahjo Zunoor tampak serius mendengar pertanyaan polisi. Ia pun amat hati-hati memberikan jawaban. Namun, ketika ditohok dengan pertanyaan penting, lelaki 56 tahun itu buru-buru meladeninya dengan sikap tegas.
Noortjahjo adalah satu dari lima bekas pejabat Bank BNI Pondok Indah, Jakarta, yang ditahan sejak Jumat dua pekan silam. Sebelumnya, ia dikenal sebagai Wakil Kepala Wilayah 10 BNI. Empat tersangka lainnya adalah Mochammad Supedi (bekas Kepala Cabang BNI), Muklis Budianto, Moejibur Rahman (bagian pemasaran), dan Alfonsius Weheb (petugas appraisal). Tuduhan yang dilayangkan kepada mereka: terlibat dalam pembobolan BNI Pondok Indah senilai Rp 46, 5 miliar.
Penggangsiran itu berlangsung pada Mei 2002-Maret 2003, jauh sebelum kasus pembobolan BNI Kebayoran Baru senilai Rp 1,7 triliun mencuat. Modusnya tak baru. BNI Pondok Indah dibobol lewat pengajuan kredit yang dilakukan oleh Hendra Lee dan Indra Budianto.
Sekretaris BNI, Maruli Pohan, menjelaskan dua orang itu datang kepada Supedi, Kepala Cabang BNI Pondok Indah, dengan membawa sejumlah pengusaha. Mereka mengajukan kredit modal kerja dengan jumlah bervariasi, mulai Rp 1 miliar sampai Rp 88 miliar. Nama-nama perusahan yang dipakai antara lain Indo Seluler Primajasa, Intel Milan Elektronika, Sinar Surya Seluler, Tulus Sejati Motor, dan Anugrah Wiratama Mobilindo.
Nah, ketika jatuh tempo, 16 dari 23 pengusaha yang mengajukan kredit tak sanggup membayar. Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata dokumen para debitor yang dipakai untuk mendapatkan kredit juga tidak diverifikasi oleh pihak bank. Padahal dokumen itu fiktif. Inilah kesalahan pada pejabat BNI Pondok Indah. ?Akibat ketidaktelitian itu, bank pun rugi,? kata Maruli.
Kerugian itu baru diketahui ketika BNI Pondok Indah diaudit oleh divisi pengawas BNI pada April 2003. Saat itulah diketahui bank telah dibobol Rp 46,5 miliar dan 29 karyawan terlibat. Pihak perusahaan memberikan sanksi dari mutasi sampai pemecatan. Tak hanya berhenti sampai di situ, kasusnya pun dilaporkan BNI ke Polda Metro Jaya pada Juli tahun lalu.
Sesudah setahun laporan itu mengendap di meja penyidik, polisi memanggil para bekas pejabat BNI Pondok Indah. ?Karena mereka ada indikasi terlibat, akhirnya kami tahan,? ujar Komisaris Besar Edmon Ilyas, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.
Menurut polisi, Supedi dan Noortjahjo dianggap bertanggung jawab karena posisinya sebagai pemutus persetujuan kredit. Muklis dan Rahman diduga terlibat lantaran tidak melakukan verifikasi terhadap keaslian dokumen persyaratan pengajuan kredit. Alfonsius juga dianggap bersalah karena tidak melakukan taksiran harga dan jaminan.
Tentu para tersangka berusaha mengelak dari tuduhan. Noortjahjo pun mengaku tak tahu-menahu soal dokumen yang belum diteliti. ?Betul itu tanda-tangan saya, tapi saya tidak tahu jika persyaratan kredit itu belum diverifikasi,? katanya.
Di kalangan rekan sejawatnya, Noortjahjo dikenal sebagai orang yang sangat teliti dan tenang. Selama kariernya di BNI, dia tidak pernah terlibat kasus korupsi. Sehingga, ketika ia ditangkap polisi, teman-temannya kaget. ?Masa, sih, orang sebersih itu bisa terlibat,? kata Maruli Pohan, yang pernah sama-sama mengikuti pendidikan kredit di Universitas Indonesia.
Dua orang yang diduga sebagai dalang pembobolan, Hendra Lee dan Indra Budianto, masih buron. Menurut sumber Tempo di Mabes Polri, mungkin mereka sekarang berada di Singapura atau Vietnam. ?Kami sudah mencari Hendra sejak empat bulan lalu, tapi ha-silnya nihil,? kata Komisaris Besar Tjiptono, juru bicara Polda Metro Jaya. Apa boleh buat, sejauh ini baru orang dalam BNI yang mesti menghadapi ancaman penjara.
Eni Saeni, Yopiandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo