Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Perlu Perubahan Kebijakan Ekonomi

18 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Perlu Perubahan Kebijakan Ekonomi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Iman Sugema
  • Direktur Indef

    Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden mengingatkan kita pada kemenangan Thaksin Shinawatra atas Perdana Menteri Chuan Leekpai melalui pemilu yang demokratis. Chuan ketika itu dianggap gagal mengatasi kemiskinan dan pengangguran di Thailand dan hanya mengandalkan resep-resep kebijakan ekonomi neo-liberal yang disponsori Dana Moneter Internasional (IMF). Presiden Megawati menganut kebijakan yang hampir mirip, dan akhirnya harus menerima kenyataan pahit.

    Survei Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi-Sosial (LP3ES) menunjukkan bahwa mayoritas pemilih SBY-JK (Jusuf Kalla) adalah mereka yang merasa kehidupan ekonominya tidak bertambah baik dan malah kian buruk selama pemerintahan Megawati. Ini bisa diartikan sebagai bentuk protes terhadap kebijakan ekonomi pemerintah Mega. Kini masyarakat menunggu perubahan yang dijanjikan SBY-JK. Lantas, perubahan kebijakan ekonomi seperti apa yang harus dilakukan pemerintah baru?

    Paling tidak, ada tiga prinsip dasar yang harus ditempuh. Pertama, pemerintah harus memposisikan dirinya sebagai akselerator atau pemacu kegiatan ekonomi. Dalam tiga tahun terakhir, investasi swasta terus-menerus menurun. Gross domestic investment (GDI) hanya 19 persen dari produk domestik bruto (PDB), lebih rendah dua persen dibandingkan dengan zaman Abdurrahman Wahid. Kalau kita menargetkan tingkat pertumbuhan di atas enam persen, investasi swasta harus didorong sampai 27 persen dari PDB.

    Tapi mengharapkan investasi swasta dalam jangka pendek sama saja dengan menggantang asap. Karena itu, pemerintah harus take the lead melalui kebijakan fiskal yang lebih ekspansif. Stiglitz (2003) mengungkapkan, kebijakan fiskal kontraktif dan pengetatan moneter model IMF merupakan paket kebijakan yang tidak pernah diterapkan di negara-negara maju, sekalipun ketika resesi. Kebijakan seperti itu tidak pernah berhasil dan justru menimbulkan bencana sosial (social misery) yang parah berupa kemiskinan, pengangguran, dan instabilitas sosial-politik.

    Pengangguran di Indonesia terbuka naik dari 8 juta orang (2001) menjadi 10,3 juta orang pada tahun ini. Jumlah mereka yang berada di bawah garis kemiskinan bertambah menjadi 38,4 juta orang, dibandingkan dengan tiga tahun lalu yang hanya 34 juta orang. Kebijakan stabilisasi makroekonomi telah dibayar mahal dalam bentuk kemiskinan dan pengangguran yang lebih besar.

    Kedua, kebijakan ekonomi harus menyentuh akar dua masalah di atas. Dalam penanganan dua masalah itu utamanya mengejar pertumbuhan yang lebih tinggi disertai kualitas yang lebih baik. Dalam soal pengangguran, misalnya. Untuk menahan tingkat pengangguran agar tidak naik, diperlukan pertumbuhan ekonomi minimal sembilan persen per tahun. Hanya mukjizat yang memungkinkan itu terjadi.

    Karena itu, anggaran pemerintah sebaiknya secara langsung harus dapat menciptakan lapangan kerja ketika swasta belum mampu melakukannya. Proyek pembangunan infrastruktur, selain dapat mendorong pertumbuhan dan daya saing, juga menyerap tenaga kerja. Proyek padat karya ini bisa dibiayai secara penuh tanpa harus menciptakan defisit anggaran melalui realokasi anggaran.

    Pada pemerintahan Mega, anggaran konsumsi pemerintah naik menjadi 8,7 persen dari PDB. Pada dua pemerintahan sebelumnya, anggaran itu cuma 7,2 persen. Sebaliknya, anggaran belanja modal (termasuk infrastruktur) turun dari 3,5 persen menjadi hanya 2 persen. Kalau kebijakan anggaran dikembalikan seperti semula, ada peluang menaikkan anggaran proyek padat karya sampai 1,5 persen dari PDB (sekitar Rp 30 triliun).

    Kalaupun defisit anggaran perlu diciptakan, pembiayaannya bisa sepenuhnya bersumber pada tabungan domestik. Setiap tahun, ada lima persen tabungan masyarakat yang tidak terserap investasi swasta. Dana itu kini hanya berputar-putar di sektor keuangan, dari bank masuk ke SBI dan kemudian masuk lagi ke bank.

    Austin (2004) mengungkapkan buah pemikiran Goh Keng Swee (arsitek ekonomi Singapura era 1960-1980-an): "Meskipun kita percaya modal asing merupakan sumber pembiayaan yang murah bagi pembangunan, pemupukan dan pemanfaatan tabungan domestik merupakan sumber pembiayaan yang lebih aman dan berkesinambungan." Untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan, Goh mendorong pemerintah dan BUMN Singapura memanfaatkan sumber daya keuangan domestik. Dampak positifnya ada dua, yakni penciptaan lapangan kerja dan berkembangnya industri keuangan domestik.

    Ketiga, seperti yang dilakukan Goh, penciptaan struktur ekonomi yang kukuh dimulai dengan membangun kelembagaan ekonomi yang bersih, prudent, dan berorientasi pada kinerja. Hasilnya, dua bank BUMN, yaitu DBS dan POS Bank, berhasil menjadi pemain global yang andal. Dalam memoarnya, Goh menyatakan selama kita bisa menempatkan orang yang berkompeten dan diikat aturan dan kelembagaan yang prudent dan ketat, pemerintah dan BUMN bisa dibuat efisien dan efektif seperti perusahaan swasta bertaraf internasional. Kuncinya adalah governance dan regulasi.

    Tentang ini pun, bola sudah digulirkan pimpinan MPR. Mereka menolak fasilitas yang berlebihan berupa mobil mewah. Mungkin secara nominal penghematan yang terjadi sedikit, tapi dampak psikologis dan sosialnya cukup besar, terutama dalam mencegah pemborosan dan meningkatkan efektivitas anggaran. Untuk melakukan reformasi kelembagaan, perlu ada teladan yang mendasar dari para elite negara.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x600
    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    close

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus