Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Warga Kampung Alar Jiban, Desa Kohod, mengajukan citizen lawsuit pembangunan pagar laut Tangerang.
Mereka menilai ada kelalaian pemerintah dalam masalah penerbitan HGB pagar laut yang belakangan diketahui bermasalah.
Warga lebih memilih mengajukan gugatan untuk melindungi haknya ketimbang meminta ganti rugi.
SEBANYAK 55 warga Kampung Alar Jiban, Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, menggugat Presiden Republik Indonesia, Kementerian Dalam Negeri, Gubernur Banten, Bupati Tangerang, hingga Kepala Desa Kohod melalui gugatan warga negara alias citizen lawsuit. Gugatan itu berhubungan dengan perkara pagar laut di desa mereka yang kini telah menyeret Kades Kohod Arsin bin Asip sebagai tersangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan hanya pemerintah, warga juga menyeret Agung Sedayu Group sebagai turut tergugat dalam perkara ini. Gugatan itu telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dijadwalkan menjalani sidang legal standing pada Selasa, 4 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuasa hukum warga, Henri Kusuma dari HK Law Firm, menjelaskan bahwa mereka menuntut pertanggungjawaban negara atas dugaan kelalaian dan pembiaran dalam melindungi hak-hak warga. Menurut dia, pemerintah abai dalam memberikan perlindungan kepada warga yang terkena dampak proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 milik Agung Sedayu Group.
Padahal, menurut dia, warga sudah membuat aduan hingga ke presiden soal pembangunan pagar laut itu jauh sebelum viral di media sosial. Namun aduan itu tak kunjung ditindaklanjuti. “Semua ini (pagar laut) baru terbongkar karena viral di media sosial. Kalau tidak viral, mungkin tidak akan ada tindakan sama sekali. Inilah yang membuat warga geram," kata Henri saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 1 Maret 2025.
Warga Kampung Alar Jiban mencukur rambut atas penahanan empat tersangka pagar laut oleh Bareskrim Polri, di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten, 24 Februari 2025. Dok. Tempo
Henri mengatakan warga memilih jalur citizen lawsuit karena fakta dan data yang mereka kumpulkan mendukung gugatan ini. Mereka berfokus pada kelalaian administrasi pemerintahan dalam menjalankan fungsinya. Ia pun menyebutkan gugatan ini diajukan agar ke depan nasib warga tidak perlu menunggu viral atau berteriak di media lebih dulu agar hak-hak mereka diperhatikan.
Kasus ini bermula dari polemik seputar pembangunan pagar laut di wilayah perairan Desa Kohod. Laporan Tempo yang berjudul "Siapa di Balik Pagar Laut Tangerang dan Apa Tujuannya" mengungkap adanya sertifikat hak guna bangunan (HGB) di perairan Desa Kohod. Proses penerbitan HGB itu pun bermasalah karena disinyalir berlandaskan dokumen palsu.
Belakangan, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menetapkan Kades Kohod Arsin bin Asip, Sekretaris Desa Kohod Ujang Karta, serta dua penerima kuasa, Septian Prasetyo dan Candra Eka—keduanya dari Septian Wicaksono Law Firm—sebagai tersangka. Bareskrim pun kini telah menahan keempatnya. Permainan penerbitan HGB di wilayah laut inilah yang memicu warga mengambil langkah hukum.
Henri menjelaskan, dalam gugatan warga negara ini, mereka mengajukan delapan petitum, mulai dari soal perlindungan hingga collateral atau agunan terhadap PT Agung Sedayu. Mereka meminta majelis hakim menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Mereka juga meminta para tergugat mengambil langkah konkret dalam perlindungan terhadap para penggugat.
Selain itu, warga meminta pemerintah melakukan aksi bersih-bersih dari pejabat korup pada instansi tergugat 3 dan 4 yang masih menjabat. Warga juga meminta pengadilan memerintahkan kepada tergugat untuk mencari, menemukan, dan mengambil collateral yang digunakan oleh turut tergugat dalam mendapatkan pinjaman yang selanjutnya digunakan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Aksi warga Alar Jiban di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Banten, 14 Februari 2025. Dok. Aliansi Masyarakat Anti Kezholiman
Henri menyatakan mereka juga meminta PT Agung Sedayu Group menyerahkan sertifikat tanah seluas 1.800 hektare yang telah masuk proyek strategis nasional (PSN) PIK 2 kepada negara sebelum proyek tersebut dimulai. Warga juga meminta pemerintah memastikan tidak ada praktik perampasan tanah warga oleh vendor atau pihak terkait dalam proyek ini. Terakhir, memerintahkan seluruh tergugat segera melakukan tindakan hukum untuk memastikan tidak ada lagi pelanggaran terhadap hak-hak warga di kemudian hari.
Henri mengungkapkan bahwa salah satu tuntutan terberat dalam petitum ini adalah permintaan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk membersihkan Pemerintah Kabupaten Tangerang dari pejabat korup. Selain itu, ia menyoroti sumber dana PT Agung Sedayu Group yang dianggap tidak transparan. "Kami meyakini sumber dana mereka berasal dari suatu bentuk kolateral atau jaminan yang patut dipertanyakan. Apakah ini berasal dari hasil tindak pidana korupsi atau sumber lain yang meragukan?" ujarnya.
Soal tuntutan agar PT Agung Sedayu Group menyerahkan sertifikat 1.800 hektare tanah kepada negara sebelum proyek dimulai, Henri menjelaskan, hal itu agar negara memiliki jaminan dan kepastian atas lahan lebih dulu. "Jangan sampai, setelah proyek selesai, baru diserahkan. Negara harus punya jaminan lebih dulu," kata dia.
Henri menekankan bahwa warga mengalami kerugian besar akibat tindakan pemerintah dan pihak swasta. Kalau masalah ini tidak viral, menurut dia, warga akan kehilangan hartanya, bahkan dirampas oleh vendor yang ditunjuk PT Agung Sedayu Group.
Ia pun menjelaskan, memang bukan PT Agung Sedayu Group yang secara langsung merampas, melainkan para vendor mereka. Hal tersebutlah yang dituntut oleh warga melalui citizen lawsuit. "Warga ini harus berlindung ke mana kalau kepala desa, camat, bahkan bupati, justru melindungi pelaku perampasan?" tanya dia dengan nada penuh keprihatinan.
Meski menyadari ada tantangan besar dalam proses hukum ini, Henri tetap optimistis. Ia pun mengaku akan terus melanjutkan perjuangan warga dalam menuntut hak-haknya. "Saya yakin Pak Prabowo concern terhadap perlindungan warga. Terlepas dari kontroversinya, saya percaya bahwa ada perhatian serius terhadap masalah ini.”
Pagar laut di kawasan pesisir Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, 17 Januari 2025. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Fadhil Alfathan menjelaskan, citizen lawsuit memang lebih cocok digunakan dalam perkara ini ketimbang gugatan kelompok atau class action. Dia menjelaskan, citizen lawsuit diajukan untuk memaksa negara mengeluarkan kebijakan tertentu sebagai upaya memenuhi hak-hak warga negara. "Gugatan ini tidak meminta ganti rugi, melainkan kebijakan," ujar Fadhil saat dihubungi secara terpisah.
Ia mencontohkan kasus yang pernah ditangani LBH Jakarta dengan mekanisme citizen lawsuit soal gugatan polusi udara dan pinjaman online, yang bertujuan mendorong pemerintah mengeluarkan regulasi guna melindungi warga. Dalam konteks Kampung Alar Jiban, ia berpandangan bahwa gugatan ini menuntut negara bertanggung jawab atas dugaan pembiaran terhadap perampasan lahan oleh korporasi besar.
Dengan kata lain, tujuan utama citizen lawsuit adalah meminta pemerintah mengambil tindakan konkret untuk melindungi warga dari praktik perampasan lahan yang masif. "Negara ditarik untuk bertanggung jawab agar melindungi warga dari perampasan lahan yang dilakukan," ujar Fadhil.
Sementara itu, class action atau gugatan perwakilan kelompok, Fadhil melanjutkan, diajukan ketika banyak orang mengalami kerugian yang sama akibat suatu tindakan, misalnya dalam kasus gagal ginjal akut akibat obat berbahaya. "Sementara citizen lawsuit menuntut kebijakan, class action menuntut ganti rugi.”
Mekanisme class action, kata dia, digunakan ketika ribuan orang memiliki kesamaan fakta dan permasalahan hukum, sehingga tidak perlu mengajukan gugatan satu per satu. Tujuan utamanya adalah pemulihan hak dalam bentuk kompensasi kepada korban. Namun, dalam kasus Kampung Alar Jiban, ia mengungkapkan bahwa gugatan ini tidak difokuskan pada ganti rugi individual, melainkan pada tindakan negara untuk melindungi hak warga.
Fadhil menuturkan, secara hukum, citizen lawsuit tidak memiliki aturan khusus yang secara eksplisit mengaturnya. "Dia berkembang dari konsep perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata," katanya. Meski demikian, mekanisme ini telah diterima dalam praktik hukum di Indonesia sebagai bagian dari kebiasaan hukum.
Menurut Fadhil, peluang dikabulkannya gugatan ini bergantung pada kemampuan penggugat membuktikan kelalaian negara. "Kalau bisa dibuktikan bahwa negara lalai melindungi warga dari perampasan lahan dan tidak ada kebijakan yang memproteksi warga, harusnya hakim mengabulkan," ujarnya. Namun keputusan akhir tetap berada di tangan hakim.
Jika hakim menolak gugatan citizen lawsuit ini, kata Fadhil, warga masih memiliki beberapa upaya hukum lain, termasuk mengajukan permohonan banding ke pengadilan tinggi, kasasi ke Mahkamah Agung, atau bahkan peninjauan kembali jika ditemukan bukti baru. Alternatif lain adalah menggugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara dengan dasar perbuatan melawan hukum oleh penguasa, meskipun mekanisme ini memiliki batasan waktu pengajuan yang lebih ketat.
Fadhil menekankan bahwa citizen lawsuit tidak hanya bertujuan untuk memenangi perkara di pengadilan, tapi juga untuk memberikan edukasi publik. "Target kita tidak hanya menang karena kita sering menang di atas kertas, tapi dari gugatan ini, ada edukasi publik. Warga jadi tahu bahwa mereka bisa menggugat negara ketika hak-haknya terancam," ujarnya.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) pun menilai gugatan warga negara ini sudah tepat. Peneliti bidang advokasi PBHI, Annisa Azzahra, menilai jenis gugatan ini lebih sesuai dengan konteks permasalahan yang mereka hadapi. "Ini soal kelalaian negara dalam melindungi hak-hak warga atas ruang hidupnya," ujarnya saat dihubungi secara terpisah.
Dalam kasus ini, PBHI menilai substansi perkaranya bukan sekadar soal ganti rugi, melainkan kelalaian negara dalam memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak warga dari perampasan tanah. Citizen lawsuit memungkinkan warga langsung menuntut tanggung jawab pemerintah, mulai dari presiden, menteri, gubernur, hingga bupati dan kepala desa.
Menurut Annisa, mekanisme ini memberikan tekanan lebih besar agar pemerintah segera mengambil tindakan. "Dengan gugatan ini, kita bisa mendesak negara membatalkan kebijakan atau praktik yang melanggar hak warga," kata Annisa.
Berbeda dengan class action yang lebih banyak digunakan dalam sengketa lingkungan, kasus konsumen, atau pelanggaran kontrak, dia melanjutkan, citizen lawsuit lebih menitikberatkan pada tanggung jawab negara. Sementara class action berorientasi pada ganti rugi, citizen lawsuit bertujuan untuk mendorong perubahan kebijakan yang lebih luas. "Warga Alar Jiban tidak sekadar ingin kompensasi, tapi mereka juga ingin perlindungan dari negara," ujar Annisa.
Selain itu, class action mengharuskan adanya kesamaan kepentingan dan fakta hukum yang jelas di antara para penggugat. Dalam kasus Alar Jiban, ia menilai kondisi warga yang terkena dampak pun beragam. Ada yang kehilangan tanah, ada yang terancam terusir, dan ada pula yang hak atas ruang hidupnya tergerus. Dengan citizen lawsuit, keberagaman itu tetap bisa terakomodasi karena gugatan ini tidak mensyaratkan kesamaan kepentingan sebagaimana class action.
Bagi PBHI, ucap Annisa, citizen lawsuit dalam kasus ini juga memiliki nilai strategis lain, yaitu menciptakan preseden hukum bagi perlindungan masyarakat pesisir dan pencegahan praktik perampasan tanah oleh mafia tanah. "Saat ini, maraknya kasus perampasan lahan harus disikapi dengan langkah hukum yang lebih progresif. Jika gugatan ini berhasil, maka bisa menjadi rujukan penting dalam kasus serupa di masa depan," ujarnya.
PBHI juga turut mengawal gugatan ini dengan mengumpulkan bukti-bukti kelalaian pemerintah, seperti surat audiensi soal pagar laut yang diabaikan dan laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sampai hari ini belum ditindaklanjuti.
Menyoal kerugian warga, ia juga berpendapat bahwa terdapat indikasi kerugian finansial yang bisa menjadi bahan pertimbangan lebih jauh dengan gugatan perbuatan melawan hukum atau PMH sebagai tambahan menuntut ganti rugi dari pihak swasta yang terlibat. ●
Ayu Cipta dari Tangerang berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo