Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan bebas untuk guru Konawe Selatan Supriyani yang diadukan ke polisi karena mendisiplinkan siswanya..
Guru Supriyani layak mendapat rehabilitasi dan kompensasi sebagai korban kriminalisasi.
Tim pengacara bersiap menuntut orang-orang yang telah mengkriminalkan Supriyani.
SELANGKAH lagi Supriyani akan benar-benar bernapas lega. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Andoolo, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, pada Senin, 11 November 2024, jaksa penuntut umum menuntut bebas guru honorer Sekolah Dasar Negeri 4 Baito, Konawe Selatan, itu. Padahal, sebelumnya, jaksa menuduh Supriyani memukul seorang muridnya menggunakan gagang sapu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gara-gara tuduhan itu, perempuan yang sudah 16 tahun menjadi guru tersebut mendapat sorotan publik. Bahkan kasusnya viral di dunia maya. Adapun Kepala Sekolah Dasar Negeri 4 Baito, Sanaali, menyatakan tak ada saksi yang melihat Supriyani melakukan kekerasan terhadap muridnya. Dia menyebutkan Supriyani hanya menegur untuk mendisiplinkan siswa tersebut. Meski bukti-bukti atas tuduhan itu meragukan, orang tua siswa yang kebetulan polisi berpangkat ajun inspektur dua tetap memperkarakan Supriyani ke meja hijau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di persidangan, jaksa mendakwa Supriyani melanggar Pasal 80 ayat 1 juncto Pasal 76C Undang-Undang Perlindungan Anak. Jaksa berpendapat perbuatan pidana yang didakwakan itu dapat dibuktikan di persidangan. Namun mens rea (niat jahat) atas tindakan tersebut tidak dapat dibuktikan. “Kami menuntut agar terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan, mengingat hasil pertimbangan hukum yang ada," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, Dody.
Kuasa hukum Supriyani, Andri Darmawan, menemukan banyak kejanggalan dalam perkara ini. Ia yakin kliennya adalah korban kriminalisasi. “Karena itu, jika Ibu Supriyani divonis bebas, ini jelas sebuah kriminalisasi,” katanya melalui sambungan telepon, Rabu, 13 November 2024.
Menurut Andri, meski Supriyani dituntut bebas, jaksa tetap menyatakan guru honorer itu bersalah atas tindak kekerasan. Sikap jaksa ini menggambarkan kebingungan dan ketidakmampuan Korps Adhyaksa itu dalam merumuskan tuntutan yang benar. "Jaksa sepertinya gamang untuk memformulasikan tuntutannya,” kata Andri. “Mereka seakan-akan ingin menunjukkan berempati kepada Supriyani, tapi tetap berpegang pada dakwaan yang lemah.”
Andri berpendapat dakwaan terhadap Supriyani hanya didasarkan pada keterangan korban dan satu saksi anak tanpa sumpah. Padahal, secara hukum, kesaksian mereka bisa dianggap sebagai petunjuk, bukan bukti. Apalagi kesaksian ahli forensik menunjukkan bahwa luka pada korban lebih mungkin disebabkan oleh benda kasar, bukan akibat pukulan sapu sebagaimana dituduhkan.
Guru honorer SD Negeri 4 Baito, Supriyani, menjalani persidangan kasus dugaan penganiayaan kepada muridnya, di Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, 28 Oktober 2024. ANTARA/Jojon
Di persidangan, kata Andri, ahli psikologi forensik Reza Indragiri menilai keterangan korban dan saksi anak memberikan pernyataan yang persis sama dengan berita acara pemeriksaan di Kepolisian Sektor Baito. Hak itu menunjukkan indikasi bahwa kesaksian mereka mengarah pada memori semantik yang bisa jadi dipengaruhi oleh pihak lain atau suggestibility.
“Awalnya anak itu mengatakan dia jatuh di sawah,” kata Andri mengutip pernyataan anak saat diinterogasi ibunya. Namun, setelah beberapa kali didesak dan dimarahi sampai tiga kali, siswa itu mengubah keterangannya dan mengatakan bahwa ia dipukul oleh Supriyani. Perubahan pengakuan itu menguatkan kecurigaan bahwa kesaksian anak dipengaruhi oleh tekanan dari pihak tertentu.
Perkara ini pun makin pelik saat terungkap bahwa barang bukti telah diambil sebelum adanya laporan resmi. Hal ini menunjukkan adanya prosedur hukum yang tidak standar. “Penyidik tidak bisa lagi independen karena ada kepentingan pribadi yang bermain,” ucap Andri. Bahkan visum yang diajukan juga bukan hasil inisiatif penyidik, melainkan orang tua korban yang membawa surat visum ke puskesmas secara mandiri. Fakta ini memperkuat dugaan ada intervensi pribadi dalam penanganan kasus.
Bukan hanya itu, di luar pengadilan, kejanggalan lain muncul. Supriyani dan kuasa hukumnya mengungkap bahwa aparat kepolisian meminta sejumlah uang agar Supriyani tidak ditahan. “Ibu Supriyani sudah memberi uang Rp 2 juta, tapi kemudian ada permintaan Rp 50 juta untuk menghentikan kasus,” ujar Andri. “Permintaan itu tidak bisa dipenuhi Supriyani, dan kasus pun berlanjut ke meja hijau.”
Supriyani dan keluarga mengalami tekanan mental dan materiil akibat kasus ini. Karena itu, menurut Andri, bila pengadilan membebaskan Supriyani, tim pengacara berencana mengajukan tuntutan ganti rugi terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas dugaan kriminalisasi ini. Supriyani layak mendapatkan pemulihan nama, rehabilitasi, serta kompensasi atas kerugian materiil dan imateriil yang dialaminya. “Ini bukan hanya soal pembebasan, tapi juga keadilan untuk Supriyani,” katanya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, berpendapat sikap jaksa atas perkara Supriyani ini justru sudah tepat. “Kalau dakwaannya itu, setelah dibuktikan ternyata tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, jaksa secara obyektif harus melakukan requisitoir agar terdakwa dibebaskan,” katanya.
Menurut dia, jaksa berkewajiban menuntut bebas terdakwa jika dalam persidangan pembuktian atas dakwaan tidak cukup kuat. Sikap jaksa itu bukanlah kesalahan, melainkan bentuk profesionalisme dan tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya secara obyektif.
Dalam hukum pidana, kata Mudzakir, ada tiga opsi bagi jaksa saat merumuskan tuntutan. Pertama, jika bukti cukup kuat dan memenuhi unsur pidana, jaksa akan menuntut hukuman. Kedua, jika tindakan terbukti, tapi dianggap tidak memenuhi syarat pidana, jaksa dapat mengajukan tuntutan lepas (onslag) dari tuntutan pidana. Ketiga, jika tidak ada bukti yang cukup, jaksa dapat menuntut bebas. “Sah bagi jaksa menuntut bebas asalkan dilakukan secara obyektif,” ucapnya.
Dosen hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyatakan korban kriminalisasi dapat menuntut haknya atas pemulihan nama dan ganti rugi, baik materiil maupun imateriil. “Kerugian imateriil ini meliputi kehilangan nama yang patut diberi kompensasi. Nominalnya bisa mencapai miliaran rupiah,” ujarnya. Kerugian materiil yang bisa dituntut adalah biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses hukum serta kompensasi atas hilangnya kesempatan atau peluang lain yang ikut lenyap akibat kasus ini.
Ihwal prosedur tuntutan atas kriminalisasi, kata Fickar, ada dua hal yang bisa dilakukan. "Pertama, menggugat ganti rugi bersama-sama tuntutan jaksa pada perkara pidana. Lalu, menggugat secara perdata sendiri setelah putusan pidana berkekuatan hukum tetap," ujarnya.
Dalam hukum pidana Indonesia dikenal dua istilah penting yang kerap membingungkan masyarakat umum, yakni tuntutan lepas dan tuntutan bebas. Guru besar hukum tata negara UII, Mahfud Md., menjelaskan bahwa tuntutan bebas berarti terdakwa dinyatakan tidak bersalah sepenuhnya karena tak ada bukti perbuatan yang memenuhi unsur pidana. Sebaliknya, tuntutan lepas merujuk pada situasi yang di dalamnya terdakwa dianggap melakukan perbuatan tersebut, tapi tidak memiliki mens rea atau niat jahat yang menjadi syarat penting bagi pemidanaan.
“Dalam hukum pidana, ada kasus-kasus di mana meskipun suatu tindak pidana terjadi, pelaku tidak harus dihukum apabila tidak ada niat jahat atau mens rea. Ini termasuk alasan pemaaf, di mana perbuatan terjadi tanpa tujuan melukai atau melawan hukum secara jahat,” kata Mahfud dalam siniar di kanal YouTube yang diunggah pada Selasa, 12 November 2024.
Mahfud menegaskan bahwa setiap dakwaan dan tuntutan harus melalui proses pembuktian yang sah di pengadilan. Sebab, pada akhirnya, hakim akan menilai bukti-bukti dan menentukan apakah ada unsur yang cukup untuk memutuskan pidana.
Maka, meski jaksa menuntut Supriyani dilepas, hakim akan tetap mempertimbangkan bukti yang ada sebelum memberikan putusan akhir. Bagi Mahfud, kasus ini bukan sekadar soal benar atau salah dalam tuntutan pidana, tapi juga mencerminkan tantangan bagi para guru yang dihadapkan pada ekspektasi masyarakat yang makin tinggi terhadap hak-hak anak dan perlindungan hukum.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo