Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Haryono, mengapa ia "mati"?

Suhambari, martin, nanang dan solichin mendekam selama 10 bulan di penjara kali sosok surabaya. dituduh sebagai pembunuh haryono. har. ditemukan oleh djadjat. (hk)

2 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARYONO tidak mati. Kedua tersangka, Suhambari dan Fox Marin, juga selalu menyangkal tuduhan dalam berita acara: mereka bukan pembunuh Haryono! Pengakuan terdahulu, kata mereka, dibuat karena diperas dan dipaksa polisi. Biasanya hakim sulit diyakinkan dengan penyangkalan demikian -- yang memang biasa didalihkan banyak tersangka. Tapi kali ini para tersangka ditolong oleh sebuah berita teleks yang dibacakan di Pengadilan Negeri Surabaya 16 Januari lalu: Haryono masih hidup! Kali ini majelis hakim, yang dipimpin Nyonya Sri Suyanti Suprapto, barangkali akan memperoleh cerita yang menarik. Hari itu, 12 Januari 1979, Haryono dan Nanang Yuspriyanto (yang terakhir ini, bukan awak kapal, mengaku pelayan sebuah rumah makan yang biasa naik-turun kapal untuk urusan "dagang"), turun dari Kapal Karana VIII milik P.T. Karana Line yang sedang berlabuh di Pelabuhan Tanjungperak. Haryono (23 tahun) adalah awak kapal, yang bertugas sebagai pelayan dan terikat kontrak kerja dengan gaji sekitar US$ 100/bulan. Ia tak pernah kembali ke kapal sejak ia kelihatan turun bersama Nanang. Ketika Karana VIII harus bertolak, didampingi oleh pejabat kapal, petugas dari Karana Line dan pejabat pelabuhan, Kapten S. Hadist membuat berita-acara tentang menghilangnya Haryono. Nanang diperiksa polisi setelah ternyata hingga tiga hari berikurnya Haryono tidak muncul-muncul juga. Nanang bercerita begini: Ia mengantar Haryono ke Jarak -- salah sebuah lokalisasi pelacuran terkenal di Surabaya. Namun, katanya, ia tak pernah bertemu Haryono lagi yang tiba-tiba menghilang setelah "ngamar" dengan seorang pelacur. Nanang ditahan setelah ternyata tiga bulan kemudian polisi menemukan sesosok mayat terbungkus karung di alur Sungai Brantas yang kemudian diakui keluarganya dan pejabat Karana Line sebagai jenazah Haryono. Padahal, menurut Dansat Serse Kodak X Ja-Tim Letkol Pol. Soetardjo, sebenarnya sejak semula polisi sudah menyatakan mayat itu bukan Haryono. Katanya: "Dari pemeriksaan sidik jari memang jelas mayat itu bukan Haryono. Tapi karena keluarganya ngotot akan menguburkannya di Karet (Jakarta), ya kita berikan saja. Waktu kita yakinkan bahwa itu bukan mayat Haryono, keluarganya malah bilang: tidak ada salahnya, malah kami akan mendapat pahala." Namun demikian, polisi tetap mengejar para tersangka untuk mengakui sebuah cerita pembunuhan. Sehingga dalam berita-acara pemeriksaan pendahuluan terungkap sebuah cerita sederhana Suhambari (28 tahun) bersama Martin (23) berangkat dari Jakarta ke Surabaya dengan Kereta-api Gaya Baru. Besoknya, 13 Januari 1979, mereka bertemu Nanang (28) dan Solihin (26). Berempat mereka membawa Haryono ke daerah Kupang, sebelah barat daya kota, lalu menjagalnya di sebuah padang rumput. Mayatnya dimasukkan ke dalam sebuah karung bersama senjata tajam yang dipakai untuk membunuhnya. Diangkut dengan mobil lalu dilempar ke Pintu-Air Jagir (Wonokromo). Motifnya jelas: balas dendam, kata berita acara. Begini: Suhambari dan Martin diberhentikan sebagai pelayan kapal Karana VIII. Mereka sakit hati melihat tempat keduanya digantikan Haryono yang kebetulan adik ipar kapten kapal itu sendiri. Maka lahirlah sebuah tuduhan berat Suhambari dan Martin didakwa melakukan pembunuhan yang direncanakan terhadap Haryono sehingga patut diancam dengan hukuman mati. Nanang dan Solihin, yang diajukan sebagai saksi mungkin pula diseret sebagai terdakwa dalam perkara berikutnya. Yang Saya Sesalkan Begitulah tuduhan yang dibawa Jaksa Slamet Sugiarto. Pengadilan berlangsung penuh sangkalan para tersangka terhadap pengakuan yang sebelumnya pernah mereka berikan di hadapan polisi. Pembela, Faruk Aldetta, sejak pagi-pagi sudah menemukan sesuatu yang tidak beres dalam perkara tersebut. Beberapa alibi -- seperti tersangka ada di tempat lain pda waktu pembunuhan diduga terjadi -- dikemukakannya. Misalnya Suhambari ketika itu, 12 Januari, menghadiri perhelatan keluarganya di Jakarta. Untuk itu saksi bisa ditampilkan. Bahkan, Suhambari dan Martin ternyta baru kenal dengan yang namanya Nanang setelah bersama berada di kantor polisi. Pengakuan mereka kepada polisi, katanya, karena dipaksa. Nanang, seperti dikatakan pembela mula-mula -- karena tak tahan siksaan (dipukul dan ditendang) -- asal menyebutkan beberapa nama orang yang dikenalnya. Tapi polisi tak dapat menyangkutkan nama-nama tersebut yang memang tak ada kaitannya dengan Haryono. Ketika polisi menyodorkan foto Martin dan Suhambari, kontan Nanang -- yang makin jemu dengan sikap polisi -- "mengiyakan" kedua orang tersebut sebagai "komplotannya" membunuh Haryono. Dari situ polisi memperoleh alasan untuk menciduk Martin, Suhambari kemudian Solihin. Dan dari mereka dengan paksaan pula -- mereka juga dapat menunjukkan bekas luka akibat penganiayaan dari pemeriksaan -- polisi dapat mengungkap kisah seperti dalam tuduhan jaksa. Dua orang pemeriksa, Letnan Pol. Cholil dan Moedjadi (dari Kodak X JaTim), diundang ke pengadilan. Mereka menyangkal telah memeras pengakuan para tersangka dengan kekerasan. Sikap tersangka, menarik kembali pengakuan dengan alasan disiksa, katanya biasa dilakukan oleh kebanyakan tersangka. Benarkah? Teleks dari Karana Line yang menyebutkan Haryono masih hidup, menimbulkan pertanyaan besar: mungkinkah tersangka dapat memberikan pengakuan secara wajar, sementara pembunuhan dan korbannya sendiri tidak pernah ada? Karena, setidaknya, sekarang terungkap cerita lain: Haryono ternyata masih hidup. Secara kebetulan seorang anggota polisi Bogor, 24 November lalu, menemukan seorang pemuda kurus, dekil, kelaparan, tengah kedinginan di Jalan Panaragan Kidul, Bogor. Karena iba, tamtama polisi ini, Bharatu Djadjat, membawa pemuda tersebut ke rumahnya. Oleh kebaikan hati Djadjat itu pulalah, yang rela juga memberinya makan, diantarkanlah pemuda yang kemudian diketahuinya bernama Haryono itu ke rumah orang tuanya di Jakarta. Orang tua Haryono, tutur Djadjat kepada Harian Kompas, terkejut dan gembira sekali memperoleh kembali anaknya yang sebelumnya disangka telah menjadi korban pembunuhan. Pihak Karana Line, yang sebelumnya sudah banyak mengeluarkan uang untuk mencari dan kemudian mengongkosi biaya penguburan "Haryono" (entah siapa pula sebenarnya dia) sebanyak Rp 300 ribu dan membayarkan pesangon sebanyak 6 bulan gaji kepada keluarganya, baru mengetahui keadaan Haryono yang sebenarnya 13 Januari lalu dari Kapten Hadist. "Saya dibuat terkejut olehnya," ujar Arifin Kadarisman dari Karana Line. "Yang saya sesalkan," sambung Erwin Siregar, pejabat Karana yang lain, "Kapten Hadist baru sekarang melaporkannya" Sehingga pengecekan dan kemudian laporan kepada yang berwajib baru dilakukan perusahaan pelayaran tersebut setelah para tersangka pembunuhan "Haryono" mendekam selama 10 bulan di penjara Kali sosok Surabaya. Bisa Saja Keluarga tersangka Martin sudah lebih dulu mengetahui. Tapi menurut Henky Tupan, ipar Martin, orangtua Haryono menolak ketika dimintai keterangan tertulis perihal anaknya untuk kepentingan empat orang yang dituduh menjadi "pembunuh"-nya. Alasannya, menurut cerita Henky kepada Konpas, mereka telah melaporkannya kepada polisi. Namun hingga minggu lalu, Nanang dkk masih berada dalam tahanan. Tapi agaknya cerita lebih menarik lagi sedang ditunggu, seperti: mengapa keluarga Haryono, khususnya kakak perempuannya (istri Kapten Hadist), bersikeras mengakui mayat tak dikenal sebagai keluarganya? Begitu pula, mengapa dan ke mana saja Haryono selama ini menghilang? Sementara itu polisi masih memandang Nanang dkk sebagai orang yang berdosa. Seperti kata Letkol Soetardjo: "Cukup bukti untuk mencurigai mereka melakukan penganiayaan." Sebab, katanya, "bisa saja terjadi mereka berusaha membunuh, tapi Haryono dapat meloloskan diri -- apalagi melihat keadaan Haryono sekarang ini." Keadaan Haryono, sekembalinya dari "berkelana" entah ke mana, menurut keluarganya memang tidak sehat. Sebelum menghilang berat badannya 55 kg. Ketika ditemukan di Bogor cuma 30 kg dan seperti linglung. Dan dia belum bisa menceritakan pengalamannya. Jaksa, hingga minggu lalu, juga belum berhasil membawanya tampil ke muka hakim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus