HARYONO tidak mati. Kedua tersangka, Suhambari dan Fox Marin,
juga selalu menyangkal tuduhan dalam berita acara: mereka bukan
pembunuh Haryono! Pengakuan terdahulu, kata mereka, dibuat
karena diperas dan dipaksa polisi.
Biasanya hakim sulit diyakinkan dengan penyangkalan demikian --
yang memang biasa didalihkan banyak tersangka. Tapi kali ini
para tersangka ditolong oleh sebuah berita teleks yang dibacakan
di Pengadilan Negeri Surabaya 16 Januari lalu: Haryono masih
hidup! Kali ini majelis hakim, yang dipimpin Nyonya Sri Suyanti
Suprapto, barangkali akan memperoleh cerita yang menarik.
Hari itu, 12 Januari 1979, Haryono dan Nanang Yuspriyanto (yang
terakhir ini, bukan awak kapal, mengaku pelayan sebuah rumah
makan yang biasa naik-turun kapal untuk urusan "dagang"), turun
dari Kapal Karana VIII milik P.T. Karana Line yang sedang
berlabuh di Pelabuhan Tanjungperak. Haryono (23 tahun) adalah
awak kapal, yang bertugas sebagai pelayan dan terikat kontrak
kerja dengan gaji sekitar US$ 100/bulan. Ia tak pernah kembali
ke kapal sejak ia kelihatan turun bersama Nanang. Ketika Karana
VIII harus bertolak, didampingi oleh pejabat kapal, petugas dari
Karana Line dan pejabat pelabuhan, Kapten S. Hadist membuat
berita-acara tentang menghilangnya Haryono.
Nanang diperiksa polisi setelah ternyata hingga tiga hari
berikurnya Haryono tidak muncul-muncul juga. Nanang bercerita
begini: Ia mengantar Haryono ke Jarak -- salah sebuah lokalisasi
pelacuran terkenal di Surabaya. Namun, katanya, ia tak pernah
bertemu Haryono lagi yang tiba-tiba menghilang setelah "ngamar"
dengan seorang pelacur. Nanang ditahan setelah ternyata tiga
bulan kemudian polisi menemukan sesosok mayat terbungkus karung
di alur Sungai Brantas yang kemudian diakui keluarganya dan
pejabat Karana Line sebagai jenazah Haryono.
Padahal, menurut Dansat Serse Kodak X Ja-Tim Letkol Pol.
Soetardjo, sebenarnya sejak semula polisi sudah menyatakan mayat
itu bukan Haryono. Katanya: "Dari pemeriksaan sidik jari memang
jelas mayat itu bukan Haryono. Tapi karena keluarganya ngotot
akan menguburkannya di Karet (Jakarta), ya kita berikan saja.
Waktu kita yakinkan bahwa itu bukan mayat Haryono, keluarganya
malah bilang: tidak ada salahnya, malah kami akan mendapat
pahala."
Namun demikian, polisi tetap mengejar para tersangka untuk
mengakui sebuah cerita pembunuhan. Sehingga dalam berita-acara
pemeriksaan pendahuluan terungkap sebuah cerita sederhana
Suhambari (28 tahun) bersama Martin (23) berangkat dari Jakarta
ke Surabaya dengan Kereta-api Gaya Baru. Besoknya, 13 Januari
1979, mereka bertemu Nanang (28) dan Solihin (26). Berempat
mereka membawa Haryono ke daerah Kupang, sebelah barat daya
kota, lalu menjagalnya di sebuah padang rumput. Mayatnya
dimasukkan ke dalam sebuah karung bersama senjata tajam yang
dipakai untuk membunuhnya. Diangkut dengan mobil lalu dilempar
ke Pintu-Air Jagir (Wonokromo).
Motifnya jelas: balas dendam, kata berita acara. Begini:
Suhambari dan Martin diberhentikan sebagai pelayan kapal Karana
VIII. Mereka sakit hati melihat tempat keduanya digantikan
Haryono yang kebetulan adik ipar kapten kapal itu sendiri. Maka
lahirlah sebuah tuduhan berat Suhambari dan Martin didakwa
melakukan pembunuhan yang direncanakan terhadap Haryono sehingga
patut diancam dengan hukuman mati. Nanang dan Solihin, yang
diajukan sebagai saksi mungkin pula diseret sebagai terdakwa
dalam perkara berikutnya.
Yang Saya Sesalkan
Begitulah tuduhan yang dibawa Jaksa Slamet Sugiarto. Pengadilan
berlangsung penuh sangkalan para tersangka terhadap pengakuan
yang sebelumnya pernah mereka berikan di hadapan polisi.
Pembela, Faruk Aldetta, sejak pagi-pagi sudah menemukan sesuatu
yang tidak beres dalam perkara tersebut. Beberapa alibi --
seperti tersangka ada di tempat lain pda waktu pembunuhan
diduga terjadi -- dikemukakannya. Misalnya Suhambari ketika itu,
12 Januari, menghadiri perhelatan keluarganya di Jakarta. Untuk
itu saksi bisa ditampilkan. Bahkan, Suhambari dan Martin
ternyta baru kenal dengan yang namanya Nanang setelah bersama
berada di kantor polisi.
Pengakuan mereka kepada polisi, katanya, karena dipaksa. Nanang,
seperti dikatakan pembela mula-mula -- karena tak tahan siksaan
(dipukul dan ditendang) -- asal menyebutkan beberapa nama orang
yang dikenalnya. Tapi polisi tak dapat menyangkutkan nama-nama
tersebut yang memang tak ada kaitannya dengan Haryono. Ketika
polisi menyodorkan foto Martin dan Suhambari, kontan Nanang --
yang makin jemu dengan sikap polisi -- "mengiyakan" kedua orang
tersebut sebagai "komplotannya" membunuh Haryono.
Dari situ polisi memperoleh alasan untuk menciduk Martin,
Suhambari kemudian Solihin. Dan dari mereka dengan paksaan pula
-- mereka juga dapat menunjukkan bekas luka akibat penganiayaan
dari pemeriksaan -- polisi dapat mengungkap kisah seperti dalam
tuduhan jaksa.
Dua orang pemeriksa, Letnan Pol. Cholil dan Moedjadi (dari Kodak
X JaTim), diundang ke pengadilan. Mereka menyangkal telah
memeras pengakuan para tersangka dengan kekerasan. Sikap
tersangka, menarik kembali pengakuan dengan alasan disiksa,
katanya biasa dilakukan oleh kebanyakan tersangka.
Benarkah? Teleks dari Karana Line yang menyebutkan Haryono masih
hidup, menimbulkan pertanyaan besar: mungkinkah tersangka dapat
memberikan pengakuan secara wajar, sementara pembunuhan dan
korbannya sendiri tidak pernah ada? Karena, setidaknya, sekarang
terungkap cerita lain: Haryono ternyata masih hidup.
Secara kebetulan seorang anggota polisi Bogor, 24 November lalu,
menemukan seorang pemuda kurus, dekil, kelaparan, tengah
kedinginan di Jalan Panaragan Kidul, Bogor. Karena iba, tamtama
polisi ini, Bharatu Djadjat, membawa pemuda tersebut ke
rumahnya. Oleh kebaikan hati Djadjat itu pulalah, yang rela juga
memberinya makan, diantarkanlah pemuda yang kemudian
diketahuinya bernama Haryono itu ke rumah orang tuanya di
Jakarta. Orang tua Haryono, tutur Djadjat kepada Harian Kompas,
terkejut dan gembira sekali memperoleh kembali anaknya yang
sebelumnya disangka telah menjadi korban pembunuhan.
Pihak Karana Line, yang sebelumnya sudah banyak mengeluarkan
uang untuk mencari dan kemudian mengongkosi biaya penguburan
"Haryono" (entah siapa pula sebenarnya dia) sebanyak Rp 300 ribu
dan membayarkan pesangon sebanyak 6 bulan gaji kepada
keluarganya, baru mengetahui keadaan Haryono yang sebenarnya 13
Januari lalu dari Kapten Hadist. "Saya dibuat terkejut olehnya,"
ujar Arifin Kadarisman dari Karana Line. "Yang saya sesalkan,"
sambung Erwin Siregar, pejabat Karana yang lain, "Kapten Hadist
baru sekarang melaporkannya" Sehingga pengecekan dan kemudian
laporan kepada yang berwajib baru dilakukan perusahaan pelayaran
tersebut setelah para tersangka pembunuhan "Haryono" mendekam
selama 10 bulan di penjara Kali sosok Surabaya.
Bisa Saja
Keluarga tersangka Martin sudah lebih dulu mengetahui. Tapi
menurut Henky Tupan, ipar Martin, orangtua Haryono menolak
ketika dimintai keterangan tertulis perihal anaknya untuk
kepentingan empat orang yang dituduh menjadi "pembunuh"-nya.
Alasannya, menurut cerita Henky kepada Konpas, mereka telah
melaporkannya kepada polisi.
Namun hingga minggu lalu, Nanang dkk masih berada dalam tahanan.
Tapi agaknya cerita lebih menarik lagi sedang ditunggu, seperti:
mengapa keluarga Haryono, khususnya kakak perempuannya (istri
Kapten Hadist), bersikeras mengakui mayat tak dikenal sebagai
keluarganya? Begitu pula, mengapa dan ke mana saja Haryono
selama ini menghilang?
Sementara itu polisi masih memandang Nanang dkk sebagai orang
yang berdosa. Seperti kata Letkol Soetardjo: "Cukup bukti untuk
mencurigai mereka melakukan penganiayaan." Sebab, katanya, "bisa
saja terjadi mereka berusaha membunuh, tapi Haryono dapat
meloloskan diri -- apalagi melihat keadaan Haryono sekarang
ini."
Keadaan Haryono, sekembalinya dari "berkelana" entah ke mana,
menurut keluarganya memang tidak sehat. Sebelum menghilang berat
badannya 55 kg. Ketika ditemukan di Bogor cuma 30 kg dan seperti
linglung. Dan dia belum bisa menceritakan pengalamannya. Jaksa,
hingga minggu lalu, juga belum berhasil membawanya tampil ke
muka hakim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini