Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Barang Tak Bertuan Versi Farid Faqih

Pengadilan mulai menyidangkan kasus Farid Faqih. Aktivis LSM ini berkukuh sekadar menyelamatkan barang telantar.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAHNYA kini kembali normal. Segar dan bulat. Tak terlihat lagi lebam biru akibat kekerasan aparat yang beberapa waktu lalu membuat matanya menyipit. Memasuki ruang sidang Pengadilan Negeri Kota Jatho—sekitar 50 km dari Banda Aceh—Farid Faqih terlihat percaya diri. Berbaju koko putih dan berpeci hitam, lelaki 52 tahun ini menebarkan senyum ke sejumlah orang yang dikenalnya.

Selasa pekan lalu, untuk pertama kalinya Farid diajukan ke depan meja hijau. Hari itu jaksa akan membacakan dakwaan. Sehari sebelumnya, koordinator lembaga swadaya masyarakat Government Watch (Gowa) ini masih sempat mengirimkan SMS ke sejumlah rekannya. "Doain saya sehat dan tidak seperti koruptor yang sering sakit," demikian ia menulis.

Cerita ini dimulai ketika Farid mendarat di Aceh dua hari setelah badai tsunami menyapu kawasan itu. Di Aceh, selain aktif mengawasi penyaluran bantuan, ia kerap mengikuti rapat yang digelar Satkorlak Bencana di kantor Gubernur Aceh. Di situ tak jarang ia melontarkan pernyataan pedas seputar penyaluran bantuan yang masuk ke Aceh.

Farid juga membuka kontak dengan sejumlah lembaga yang menggelontorkan sumbangan untuk korban tsunami. Salah satu yang dikontak Farid adalah Word Food Programme (WFP). Pada 2 Januari 2005, alumni Teknologi Pangan IPB ini bahkan menandatangani kontrak dengan WFP sebagai manajer operasi nasional di Banda Aceh selama enam bulan.

Untuk menjalankan programnya, Farid lantas menggandeng Front Pembela Islam. Dari organisasi ini, selain mendapat "pasukan" sukarela 23 orang, ia juga dipinjami gratis dua truk. Dengan modal inilah Farid lantas mendatangi pusat-pusat pengumpulan sumbangan untuk korban tsunami.

Nah, salah satu tempat yang didatanginya adalah Lapangan Udara Iskandar Muda. Beragam barang bantuan memang menggunung di situ. Dari baju, tenda, makanan kaleng, kursi, hingga obat-obatan. Ke tempat inilah Farid membawa beberapa anak buahnya untuk mengambil barang sumbangan tersebut. Anak buahnya mengangkuti semua barang yang ditunjuknya.

Aksi Farid ini membuat sejumlah aparat keamanan yang berada di tempat itu merasa geram. Soalnya, mereka melihat sejumlah barang yang ditujukan untuk Kodam Iskandar Muda raib. Pada 26 Januari lalu, setelah mengintai selama tiga hari, mereka pun membekuk Farid saat aktivis itu tengah memindahkan barang ke atas truknya.

Kapten Syuib, salah seorang anggota TNI-AU yang menjaga barang-barang itu, menghajar muka Farid bertubi-tubi. "Dia telah mencuri barang-barang milik negara," kata Syuib. Farid ditangkap, sementara Syuib belakangan diadili di Pengadilan Militer Banda Aceh dengan tuduhan melakukan penganiayaan. Maret lalu pengadilan memvonis Syuib tiga bulan penjara.

Tuduhan terhadap Farid tidak main-main. Jaksa Nur Albar mendakwanya telah melakukan pencurian barang-barang untuk korban tsunami. Barang itu, kata sang jaksa, diangkut Farid dan anak buahnya dari Lapangan Udara Iskandar Muda, Banda Aceh, dan disimpan di gudangnya. Di Aceh, Farid menyewa dua gudang, masing-masing milik PT Pelita Nusa Perkasa dan gudang Dolog, yang letaknya sekitar lima kilometer dari lapangan udara.

Jaksa Nur Albar membidik Farid melanggar Pasal 363 KUHP, melakukan pencurian kala terjadi bencana. Jika terbukti, perbuatan semacam ini bisa diganjar dengan penjara hingga tujuh tahun. "Dia mengambil barang tanpa izin dari pemilik barang dan aparat yang bertugas di sana," kata Nur. Barang yang diambil Farid, menurut Jaksa, antara lain 55 dos air mineral, 85 dos obat-obatan, 68 dos kaus dan celana bantuan dari pemerintah Korea, dua karung mantel plastik, serta 45 dos alat masak.

Nur juga menghadirkan dua karyawan Gowa sebagai saksi, Yulia Romida dan Leo Hira. Yulia mengaku bertugas mencatat barang yang masuk ke gudang. "Tapi saya tidak tahu barang itu dari mana. Pak Farid hanya bilang barang itu tak bertuan," kata Yulia.

Sementara itu, Leo menyatakan ia hanya memindahkan barang-barang yang ditunjuk Farid saat mereka di lapangan terbang. Barang itu, kata Leo, diambil dari lapangan terbuka, bukan dari dalam hanggar. "Jadi, ada yang baru, ada juga yang rusak," katanya.

Farid sendiri menampik semua tuduhan jaksa. "Dakwaan itu semuanya tidak benar, saya tolak," ujarnya. Menurut Farid, yang dilakukan itu semata menyelamatkan barang-barang tersebut dari kerusakan karena barang itu diperlukan untuk korban tsunami. "Bukan untuk memiliki barang-barang tersebut," ujarnya.

Kendati Jaksa Nur yakin tindakan Farid telah memenuhi unsur-unsur pencurian, sejumlah tokoh LSM di Aceh meminta hakim jeli dalam memutus kasus ini. "Kami tidak yakin dia melakukan pencurian. Karena itu, lebih baik dibentuk tim khusus untuk masalah ini," ujar Ketua Divisi Informasi dan Komunikasi Forum LSM Aceh, Syahrial.

Ketua Walhi Aceh, Bambang Antariksa, menilai Farid sengaja dikorbankan untuk menutupi kasus besar yang diketahuinya. "Dia hanya dijadikan kambing hitam. Sekarang tugas aparat hukum mencari apa yang terjadi dan siapa terlibat di balik kasus ini," kata Bambang.

L.R. Baskoro, Adi Warsidi (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus