MEMANG tidak setenar Kusni Kasdut. Namun sejarah kejahatan yang
dibuatnya cukup panjang. Setidaknya Henky Tupanwael bukan orang
asing bagi penjara.
Ia memulai debutnya sebagai pencuri kecil masuk bui khusus
anak-anak karena mencuri sepotong celana. Pada usia muda,
sekitar 17 tahun, ia menembak seorang polisi militer. Karena
kejahatannya tersebut Henky mulai berkenalan dengan penjara yang
sebenarnya di Sukamiskin, Bandung, 1951.
Beberapa tahun kemudian, 1957, anak muda kelahiran Ende (Flores)
46 tahun lalu itu meningkatkan kadar kejahatannya. Ia melakukan
perampasan hingga harus masuk penjara lagi selama tiga tahun.
Lepas dari hukuman, tidak kapok, ia berbuat sesuatu "yang lebih
berarti": merampok Bank Ekonomi Nasional di Bandung. Kali ini ia
tidak betah menghabiskan masa hukuman yang harus dijalaninya
selama 4 tahun 6 bulan. Ia kabur, 1963, dari penjara Banceui.
Ia tertangkap dan masuk bui lagi, karena terlibat peristiwa
penggarongan di rumah seorang hakim di Bandung. Akibat peristiwa
tersebut Henky dijebloskan ke penjara Nusakambangan. Mestinya ia
harus mendekam di sana 11 tahun. Tapi belum lagi setahun, ia
dapat lari dengan berenang menyeberangi Segara Anakan.
Selepas dari Nusakambangan Henky kembali bergabung dengan
teman-temannya di Jakarta. Dari Kebayoran Lama (Jakarta) Henky
dkk. merencanakan merampok mobil Bank Nusantara. Dan perampokan
mereka itu memang berhasil. "Omset" Henky kali ini kakap: Rp 21
juta lebih. Ia juga menembak mati dua orang.
Itulah kejahatan Henky terakhir. Ia tertangkap. Mula-mula ia
memang kembali dapat melarikan diri dari tempat tahanan polisi:
Tapi 13 hari kemudian, ia diringkus kembali di suatu tempat di
Tanah Abang Jakarta.
Duduk terakhir kalinya sebagai terdakwa, Henky diadili oleh
Hakim Thamrin Manan (sekarang advokad), di Jakarta. Di situ,
menurut Thamrin, ia tidak rewel. Malah, dengan caranya sendiri,
pernah membantu kelancaran sidang. Inilah kisah Thamrin Manan
yang menjatuhkan hukuman mati atasnya.
Ketika itu Henky dihadapkan ke muka hakim tunggal (waktu itu
belum ada ketentuan harus hakim majelis) dengan tangan masih
terborgol. Hakim, tentu saja, tak menghendaki yang demikian itu.
Tapi perintahnya agar borgol dibuka tak dapat dituruti sebab
petugas lupa membawa kuncinya. Hakim, yang tak sudi mengadili
pesakitan dengan tangan tergari, hampir saja menunda
persidangan. Tapi tiba-tiba Henky angkat tangan kalau diizinkan
ia dapat membuka borgol tanpa kunci. Thamrin Manan tercengang
tapi mengangguk juga. Dan, benar saja: dengan mudah Henky
membebaskan borgol dari tangannya.
Pun ketika di penjara Pamekasan belakangan ini, ia konon dengan
mudah bisa minggat. "Bagi anak saya, melarikan diri dari
penjara sesuatu yang mudah" ujar ayahnya, Jacob Mathias
Tupanwael di Bandung. Ia baru pulang dari membezuk Henky untuk
yang terakhir kalinya. Ayah ini selalu mengancam: "Bila
melarikan diri, (dari penjara terakhir) yang menembak bukan
polisi, tapi saya sendiri, ayahnya."
Selain daripada itu, menurut sang bapak, selama 14 tahun di
penjara Henky sudah benar-benar tobat. Yang disesali oleh
Tupanwael sekeluarga bukanlah hukuman matinya itu sendiri, tapi
kenyataan, bahwa harapan yang muncul pada Henky selama berbuat
baik di penjara ternyata tidak menolongnya.
Apa boleh buat. Sebagai ayah, kata J.M. Tupanwael, pendeta
Gereja Prorestan pensiunan tentara ini, ia sudah berusaha
berbuat sebaik-baiknya bagi anak-anaknya, termasuk Henky. Di
lingkungan keluarganya Henky termasuk anak yang penurut.
Wataknya periang dan suka menolong saudara-saudaranya. "Tapi
lingkungan pergaulannya di luar ternyata menyebabkan Henky jadi
orang jahat," katanya. Nasihat bukannya tak sering dituturkannya
-- terutama bila diketahui Henky habis berbuat sesuatu
kejahatan. Tapi, ya, "kelemahan saya, sebagai ayah, tidak tahu
dengan siapa ia bergaul."
Sekarang semuanya sudah terjadi. Betapa pun hatinya lapang.
Apalagi tampak olehnya Henky menghadapi pelaksanaan hukuman
matinya dengan tabah. "Itu menyebabkan kami berbesar hati,"
kata Tupanwael, "saya yakin pada diri Henky ada sesuatu yang
menguntungkan -- dia sudah pasrah dan tobat kepada Tuhan."
Meskipun, dalam kenyataan, Henky menolak untuk berdoa.
Pesan Henky tak banyak. Ia minta agar jenazahnya dikuburkan di
Bandung -- "biar dekat sama papa, mama dan saudara-saudaraku
[ibu kandungnya wafat 1978 -- Red]," katanya. Barangkali ini tak
bisa dipenuhi lekas-lekas. Sebab, menurut Tupanwael, kejaksaan
hanya mengizinkan pemindahan makam 5-6 bulan lagi, atau mungkin
malah setahun kemudian.
Pesan lain kepada keluarganya tak ada. Hanya kepada adiknya,
Benny (39 tahun), Henky yang banyak bergurau berkata serius.
Kata Henky menurut Benny: "Hukuman mati terhadap diri saya, saya
kira efeknya positif biar penjahat takut dan bertobat. Sebab
risiko dari kejahatannya adalah hukuman mati. Biarlah saya jadi
tumbal. Asal setelah saya jangan ada lagi kejahatan yang bisa
menyebabkan jatuhnya hukuman mati . . . "
Dan inilah catatannya yang dibuat tengah malam, beberapa jam
sebelum mati:
Megah-megah dalam penjara
hingga segalanya harus ditentang
Nyisih dari segala kegelapan
akan pudar
Megah-megah dalam penjara
hingga datang kemenangan jiwa
Aku bangga aku bangga
Karena kelelahan jerih payahku
Kan kuperuntukan hanya bagi kemulyaan Tuhan
Di mana tanah tandus di situlah aku bercocok tanam.
Sebuah sajak, mungkin sebuah doa, yang tak begitu jelas
artinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini