Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Saya ini orang masa lalu kata ...

Masih mengharapkan ampunan dan belum tahu bahwa grasinya ditolak presiden. (hk)

12 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK menuju kamarnya kita harus melalui pagar besi tujuh rangkap. Di situlah, di kamar ke-5 dari 9 ruangan serba beton di blok B-II penjara Kalisosok (Surabaya), Kusni Kasdut menunggu akhir hidupnya -- yang agaknya sudah ditentukan tak lama lagi. Ia sendirian. Ruangan lain belum berpenghuni. "Barangkali hanya saya saja yang kuat membayar untuk kamar jenis ini," ujar Kusni bergurau. Ia suka tetap berseloroh dan bersikap biasa-biasa saja. Maklumlah terpidana mati ini hingga awal bulan ini belum tahu perihal penolakan grasinya. Bangun pukul 5 ia memulai kegiatannya dengan sembahyang pagi. Agamanya Katolik. Setelah itu ia mendapat kesempatan "jalan pagi" di halaman kamar, sebelum membenahi kamarnya sendiri. Menyusul waktu minum kopi dan sarapan roti. Setelah itu, seharian sampai malam, sepi. Tak ada teman ngobrol. Tak ada lagi keroncong, langgam dan tiupan trompet Louis Amstrong kegemarannya. "Saya ini memang orang masa lalu," kata Kusni. Dulu ia boleh menikmati musik itu di penjara cipinang. Kini ia tak boleh lagi memiliki radio atau televisi. Juga dibiarkan menganggur -- suatu hal yang tak disukainya. Ia senang mengerjakan berbagai pekerjaan tangan. Masih lumayan ada kesempatan membaca Injil dan majalah ringan lainnya. Itupun sekarang terhenti. Karena satu-satunya kacamata yang dipunyainya sedang diperbaiki di luar. Setiap 10 atau 15 menit sekali, sepanjang siang dan malam selalu ada petugas penjara yang mengecek ke dalam sel Kusni. "Asal tahu saja ia masih berada di dalam," kata Kepala LP (Lembaga Pemasyarakatan) Kalisosok, Harry Marsudi. Dan bunyi pintu besi bergerit, menggelisahkan Kusni. Bahkan di malam hari suara itu membangunkannya dari tidur. Ia tidak tenteram. Sorot dua lampu neon membuatnya susah tidur telentang di atas "dipan" betonnya. "Saya senang tidur remang-remang -- tapi maklumlah, demi pengamanan toh?" kata Kusni sambil melirik kepala jaga penjara. Memang berlaku "pengamanan penuh" bagi narapidana yang satu ini. Menurut Marsudi ada "empat jangan" yang harus dijaga pada Kusni: jangan sampai lari, sakit, bunuh diri dan terbunuh oleh orang lain. Untuk itu, sampai makanannya pun diatur dan diawasi dengan ketat. Ransum nasinya, setiap kali 500 gram, diperiksa oleh dokter sebelum diantar ke kamarnya. Sebelum dan sesudah makan badannya ditimbang. Ternyata berat badannya kini 50, bertambah 3 kg dari sebelum ia di penjara ini, walaupun ia tak selalu menghabiskan jatah makannya. Apa yang tampak pada Kusni Kasdut, sebenarnya tidak persis menggambarkan apa yang bergerak di dalam hatinya. Lihat saja. Dalam perjalanan ke Malang ketika ia hendak dipindahkan ke penjara Lowokwaru, ia bersikap manis walaupun cukup kesempatan untuk lari. Tapi ia memilih kabur pada saat ia diawasi dengan ketat. "Selama ini sikapnya memang sukar ditebak, unpredictable," ujar Dirjen Pemasyarakatan Ibnu Susanto. Ekspresi yang sebenarnya, barangkali akan muncul pada saat ia diberitahu kapan pelaksanaan hukuman matinya akan dilaksanakan. Yaitu 3 x 24 jam sebelum eksekusi. Hingga kini Kusni Kasdut memang belum tahu. Petugas Kalisosok sangat berhati-hati mengenai hal itu. Jangan sampai bocor. Dari Ninik anaknya yang datang membezuk bersama kedua anaknya bulan lalu, Kusni juga tak dapat mendengar nasib apa yang sebenarnya sudah ditentukan baginya. Dia gembira sekali menyambut anak dan kedua cucunya. Ia banyak berpesan, terutama untuk kedua cucunya. "Paling sedikit mereka harus sekolah sampai SMA -- jangan sampai gagal hanya karena alasan tak ada uang," katanya. Tak lupa ia juga mendesak Ninik, seperti, "apa yang kamu dengar di luar tentang ayah?" Ninik tentu saja tak bisa menjawab. Hanya air matanya saja yang keluar, seperti yang terlihat di wajah ayahnya juga. "Bilang saja, tak usah ragu-ragu, tak usah takut," desaknya. Tentu saja Ninik diam. Juga tidak diutarakan keinginan hatinya: agar ayahnya kelak, setelah dihukum mati, mau dikuburkan -- walaupun hanya rambutnya -- di Bogor atau Jakarta. "Biar mudah menziarahinya," kata Ninik. Tapi, "entah ia rela atau tidak," lanjutnya, karena Kusni pernah berpesan: kalau mati ia ingin jenazahnya disumbangkan untuk penelitian di fakultas kedokteran. Ada keinginan lain, yang juga tak bisa disampaikan kepada ayahnya: Ninik berharap bisa merasakan tinggal serumah dengan ayahnya, "walaupun hanya sehari." Yaitu, sebelum pelaksanaan hukuman mati, yang didengarnya mungkin akan dilaksanakan Februari mendatang. "Saya ingin ngobrol panjang, masak dan mencuci pakaiannya sebelum ayah meninggal," harap Ninik. Ngobrol panjang memang salah satu yang disukai Kusni Kasdut. Di bawah ini beberapa cuplikan obrolannya dengan Slamet Djabarudi dan Dahlan Iskan dari TEMPO: Apa kabar? O, baaaik! Semua baik. Betul. Bukan saya main sandiwara atau takut kepada bapak-bapak penjaga. Sebenarnya, begini, kalau dipercaya mulai dibaptis tahun 1969 saya betul-betul sudah tobat. Mana saya pernah berbuat salah -- sedikit pun tidak pernah. Saya tekun dalam agama. Tekun mengabdi pada hukuman saya. Kok lari? Nah, begini soalnya. Oka Gunawan yang sudah saya bina akan dipindah. Saya ingin agar Oka, yang pernah merampok toko emas itu, bisa baik nanti setelah keluar. Kalau Oka dipindah, saya juga minta dipindah. Mengapa mengurusi Oka segala? Kan, lembaga ini dasarnya pembinaan dan waktu itu tidak ada napi lain yang menerima Oka. Mengapa lari dari Malang? Waktu dibawa dari Cipinang ke Malang saya nginap di Tretes. Rantai saya dibuka. Bahkan Brimob yang mengawal saya tidur satu kamar -- senjatanya tergeletak. Kalau saya mau lari 'kan mudah. Tapi saya tidak lari. Karena saya berpikir, sesampai di Malang saya akan diperlakukan dengan wajar. Ternyata tidak. Saya pusing karena minta pekerjaan tidak diberi. Asal ngomong dengan narapidana lain dicurigai. Saya ingin 'nyoba lari. Kebetulan ada beberapa kawan yang ngajak. Tapi gagal. Tapi waktu saya tambah pusing, maka saya lari saja. Bagaimana menghadapi hukuman mati? Hukuman saya 'kan sudah tidak karu-karuan. Ada yang 5« tahun, ada yang 10 tahun, ada yang mati. Saya tidak pikir soal hukuman lagi. Kalau dipikir mungkin 15 hari saya sudah mati. Yang penting, kalau dibina di lembaga dengan baik, saya akan tobat dan mengabdi pada dunia yang sempit ini kalau diberi kesempatan. Cuma itu yang saya pikir. Kalau masih dipercaya, sekali lagi. Kalau tidak diberi kesempatan? Ya, terserah. Pasrah. Tapi namanya manusia, kalau terjepit terus, daripada mati konyol ya lebih baik berusaha. . . Bagaimana sistem pemasyarakatan -- bukankah Pak Kusni diperlakukan dengan baik selama di Cipinang? Ya, untuk pribadi saya. Tapi untuk kepentingan umum seperti di Cipinang itu 'ndak bener! Misalnya soal sogok orang bisa kerja asal bayar. Tapi yang seharusnya bekerja bisa 'nggak usah kerja asal mampu bayar juga. Kasihan bangsa kita sendiri yang tidak mampu. Bapak-bapak di Cipinang secara tidak langsung mengizinkan main judi. Karena saya diajak membantu pembinaan, hal itu saya laporkan kepada petugas, tapi mereka tidak berani lapor ke atas. Apa yang diharapkan pada Presiden? Mudah-mudahan beliau diberi kekuatan oleh Tuhan. Mudah-mudahan lewat Bapak Presiden kami diberi kesempatan mengabdi dan menghabiskan sisa umur tua saya di luar. Betul-betul saya sudah sadar. Saya minta kebijaksanaan pemerintah. Bukannya saya ingin bebas lalu berbuat yang enggak-enggak. Saya ini sudah tua -- apa sih gunanya saya dihukum?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus