UNTUK menuju kamarnya kita harus melalui pagar besi tujuh
rangkap. Di situlah, di kamar ke-5 dari 9 ruangan serba beton di
blok B-II penjara Kalisosok (Surabaya), Kusni Kasdut menunggu
akhir hidupnya -- yang agaknya sudah ditentukan tak lama lagi.
Ia sendirian. Ruangan lain belum berpenghuni. "Barangkali hanya
saya saja yang kuat membayar untuk kamar jenis ini," ujar Kusni
bergurau. Ia suka tetap berseloroh dan bersikap biasa-biasa
saja. Maklumlah terpidana mati ini hingga awal bulan ini belum
tahu perihal penolakan grasinya.
Bangun pukul 5 ia memulai kegiatannya dengan sembahyang pagi.
Agamanya Katolik. Setelah itu ia mendapat kesempatan "jalan
pagi" di halaman kamar, sebelum membenahi kamarnya sendiri.
Menyusul waktu minum kopi dan sarapan roti. Setelah itu,
seharian sampai malam, sepi. Tak ada teman ngobrol. Tak ada lagi
keroncong, langgam dan tiupan trompet Louis Amstrong
kegemarannya. "Saya ini memang orang masa lalu," kata Kusni.
Dulu ia boleh menikmati musik itu di penjara cipinang.
Kini ia tak boleh lagi memiliki radio atau televisi. Juga
dibiarkan menganggur -- suatu hal yang tak disukainya. Ia senang
mengerjakan berbagai pekerjaan tangan. Masih lumayan ada
kesempatan membaca Injil dan majalah ringan lainnya. Itupun
sekarang terhenti. Karena satu-satunya kacamata yang dipunyainya
sedang diperbaiki di luar.
Setiap 10 atau 15 menit sekali, sepanjang siang dan malam selalu
ada petugas penjara yang mengecek ke dalam sel Kusni. "Asal tahu
saja ia masih berada di dalam," kata Kepala LP (Lembaga
Pemasyarakatan) Kalisosok, Harry Marsudi. Dan bunyi pintu besi
bergerit, menggelisahkan Kusni. Bahkan di malam hari suara itu
membangunkannya dari tidur.
Ia tidak tenteram. Sorot dua lampu neon membuatnya susah tidur
telentang di atas "dipan" betonnya. "Saya senang tidur
remang-remang -- tapi maklumlah, demi pengamanan toh?" kata
Kusni sambil melirik kepala jaga penjara.
Memang berlaku "pengamanan penuh" bagi narapidana yang satu ini.
Menurut Marsudi ada "empat jangan" yang harus dijaga pada
Kusni: jangan sampai lari, sakit, bunuh diri dan terbunuh oleh
orang lain. Untuk itu, sampai makanannya pun diatur dan diawasi
dengan ketat. Ransum nasinya, setiap kali 500 gram, diperiksa
oleh dokter sebelum diantar ke kamarnya. Sebelum dan sesudah
makan badannya ditimbang. Ternyata berat badannya kini 50,
bertambah 3 kg dari sebelum ia di penjara ini, walaupun ia tak
selalu menghabiskan jatah makannya.
Apa yang tampak pada Kusni Kasdut, sebenarnya tidak persis
menggambarkan apa yang bergerak di dalam hatinya. Lihat saja.
Dalam perjalanan ke Malang ketika ia hendak dipindahkan ke
penjara Lowokwaru, ia bersikap manis walaupun cukup kesempatan
untuk lari. Tapi ia memilih kabur pada saat ia diawasi dengan
ketat.
"Selama ini sikapnya memang sukar ditebak, unpredictable," ujar
Dirjen Pemasyarakatan Ibnu Susanto. Ekspresi yang sebenarnya,
barangkali akan muncul pada saat ia diberitahu kapan pelaksanaan
hukuman matinya akan dilaksanakan. Yaitu 3 x 24 jam sebelum
eksekusi.
Hingga kini Kusni Kasdut memang belum tahu. Petugas Kalisosok
sangat berhati-hati mengenai hal itu. Jangan sampai bocor. Dari
Ninik anaknya yang datang membezuk bersama kedua anaknya bulan
lalu, Kusni juga tak dapat mendengar nasib apa yang sebenarnya
sudah ditentukan baginya.
Dia gembira sekali menyambut anak dan kedua cucunya. Ia banyak
berpesan, terutama untuk kedua cucunya. "Paling sedikit mereka
harus sekolah sampai SMA -- jangan sampai gagal hanya karena
alasan tak ada uang," katanya. Tak lupa ia juga mendesak Ninik,
seperti, "apa yang kamu dengar di luar tentang ayah?"
Ninik tentu saja tak bisa menjawab. Hanya air matanya saja yang
keluar, seperti yang terlihat di wajah ayahnya juga. "Bilang
saja, tak usah ragu-ragu, tak usah takut," desaknya. Tentu saja
Ninik diam. Juga tidak diutarakan keinginan hatinya: agar
ayahnya kelak, setelah dihukum mati, mau dikuburkan -- walaupun
hanya rambutnya -- di Bogor atau Jakarta. "Biar mudah
menziarahinya," kata Ninik. Tapi, "entah ia rela atau tidak,"
lanjutnya, karena Kusni pernah berpesan: kalau mati ia ingin
jenazahnya disumbangkan untuk penelitian di fakultas kedokteran.
Ada keinginan lain, yang juga tak bisa disampaikan kepada
ayahnya: Ninik berharap bisa merasakan tinggal serumah dengan
ayahnya, "walaupun hanya sehari." Yaitu, sebelum pelaksanaan
hukuman mati, yang didengarnya mungkin akan dilaksanakan
Februari mendatang. "Saya ingin ngobrol panjang, masak dan
mencuci pakaiannya sebelum ayah meninggal," harap Ninik.
Ngobrol panjang memang salah satu yang disukai Kusni Kasdut. Di
bawah ini beberapa cuplikan obrolannya dengan Slamet Djabarudi
dan Dahlan Iskan dari TEMPO:
Apa kabar?
O, baaaik! Semua baik. Betul. Bukan saya main sandiwara atau
takut kepada bapak-bapak penjaga. Sebenarnya, begini, kalau
dipercaya mulai dibaptis tahun 1969 saya betul-betul sudah
tobat. Mana saya pernah berbuat salah -- sedikit pun tidak
pernah. Saya tekun dalam agama. Tekun mengabdi pada hukuman
saya.
Kok lari?
Nah, begini soalnya. Oka Gunawan yang sudah saya bina akan
dipindah. Saya ingin agar Oka, yang pernah merampok toko emas
itu, bisa baik nanti setelah keluar. Kalau Oka dipindah, saya
juga minta dipindah.
Mengapa mengurusi Oka segala?
Kan, lembaga ini dasarnya pembinaan dan waktu itu tidak ada napi
lain yang menerima Oka.
Mengapa lari dari Malang?
Waktu dibawa dari Cipinang ke Malang saya nginap di Tretes.
Rantai saya dibuka. Bahkan Brimob yang mengawal saya tidur satu
kamar -- senjatanya tergeletak. Kalau saya mau lari 'kan mudah.
Tapi saya tidak lari. Karena saya berpikir, sesampai di Malang
saya akan diperlakukan dengan wajar. Ternyata tidak. Saya pusing
karena minta pekerjaan tidak diberi. Asal ngomong dengan
narapidana lain dicurigai. Saya ingin 'nyoba lari. Kebetulan ada
beberapa kawan yang ngajak. Tapi gagal. Tapi waktu saya tambah
pusing, maka saya lari saja.
Bagaimana menghadapi hukuman mati?
Hukuman saya 'kan sudah tidak karu-karuan. Ada yang 5« tahun, ada
yang 10 tahun, ada yang mati. Saya tidak pikir soal hukuman
lagi. Kalau dipikir mungkin 15 hari saya sudah mati. Yang
penting, kalau dibina di lembaga dengan baik, saya akan tobat
dan mengabdi pada dunia yang sempit ini kalau diberi kesempatan.
Cuma itu yang saya pikir. Kalau masih dipercaya, sekali lagi.
Kalau tidak diberi kesempatan?
Ya, terserah. Pasrah. Tapi namanya manusia, kalau terjepit
terus, daripada mati konyol ya lebih baik berusaha. . .
Bagaimana sistem pemasyarakatan -- bukankah Pak Kusni
diperlakukan dengan baik selama di Cipinang?
Ya, untuk pribadi saya. Tapi untuk kepentingan umum seperti di
Cipinang itu 'ndak bener! Misalnya soal sogok orang bisa kerja
asal bayar. Tapi yang seharusnya bekerja bisa 'nggak usah kerja
asal mampu bayar juga. Kasihan bangsa kita sendiri yang tidak
mampu.
Bapak-bapak di Cipinang secara tidak langsung mengizinkan main
judi. Karena saya diajak membantu pembinaan, hal itu saya
laporkan kepada petugas, tapi mereka tidak berani lapor ke atas.
Apa yang diharapkan pada Presiden?
Mudah-mudahan beliau diberi kekuatan oleh Tuhan. Mudah-mudahan
lewat Bapak Presiden kami diberi kesempatan mengabdi dan
menghabiskan sisa umur tua saya di luar. Betul-betul saya sudah
sadar. Saya minta kebijaksanaan pemerintah. Bukannya saya ingin
bebas lalu berbuat yang enggak-enggak. Saya ini sudah tua -- apa
sih gunanya saya dihukum?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini