Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sertifikat HGB Pagar Laut Tangerang Melanggar Banyak Aturan. Apa Saja?

Penerbitan SHM dan HGB di sekitar pagar laut Tangerang melanggar sejumlah aturan. Dicurigai ada pemalsuan dokumen.

22 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pagar laut di kawasan pesisir Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, 17 Januari 2025. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Nusron Wahid membenarkan temuan Tempo soal sertifikat HGB dan SHM di sekitar pagar laut Tangerang.

  • Penerbitan sertifikat tersebut menyalahi sejumlah aturan.

  • Belum ada Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) di area pagar laut.

MENTERI Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid membenarkan temuan Tempo soal keberadaan sertifikat hak guna bangunan (HGB) dan sertifikat hak milik (SHM) di area pagar laut di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Tangerang, Banten. Politikus Partai Golkar itu menyatakan sertifikat tersebut sesuai dengan data aplikasi Bhumi milik Kementerian ATR/BPN. "Jumlahnya 263 bidang dalam bentuk sertifikat HGB," ujarnya dalam konferensi pers pada Senin, 20 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun Nusron meminta waktu untuk memastikan apakah area pagar laut pada sertifikat HGB dan SHM itu berada dalam garis pantai atau tidak. Sebab, menurut dia, ada dokumen pengajuan sertifikat kepada Kementerian ATR/BPN di kawasan tersebut dan diterbitkan pada 1982. "Karena itu, kami perlu cek mana batas pantai pada 1982, 1983, 1984, sampai 2024 untuk mengecek apakah lokasi yang dimaksudkan dalam peta bidang tanah yang tertuang pada SHGB atau SHM itu berada di dalam atau luar garis pantai," ucapnya. Pengecekan itu untuk memastikan apakah area tersebut dulunya tambak atau memang area laut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keberadaan sertifikat HGB dan SHM di sekitar lokasi pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan laut Kabupaten Tangerang itu terungkap dalam laporan investigasi Tempo edisi 20-26 Januari 2025. Dalam laporan berjudul "Siapa di Balik Pagar Laut Tangerang dan Apa Tujuannya" tersebut, Tempo menemukan sertifikat HGB dan SHM yang dikeluarkan Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang di Desa Kohod pada 2023. Luasnya mencapai 300 hektare. Sertifikat HGB dan SHM itu menjadi sorotan setelah masyarakat memprotes pemagaran laut tersebut.

Dari total sertifikat HGB yang ditemukan, 234 bidang milik PT Intan Agung Makmur, 20 bidang atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, dan 9 bidang lain milik perseorangan. Berdasarkan data akta hukum umum PT Cahaya Inti Sentosa, perusahaan ini dimiliki PT Agung Sedayu, PT Tunas Mekar, Pantai Indah Kapuk 2 atau PIK 2, dan beberapa orang lain. Salah seorang yang menduduki jabatan komisaris di sana adalah Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan 2004-2009. Ia juga menjabat komisaris di PT Intan Agung Makmur. 

Kantor perusahaan PT Cahaya Inti Sentosa, pemilik sertifikat HGB dan SHM atas area pagar laut Tangerang di Kawasan Pergudangan 100, Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, 21 Januari 2025. TEMPO/Andi Adam Faturahman

Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Doni Ismanto menyebutkan belum ada Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang dikeluarkan lembaganya untuk lahan tersebut. Undang-Undang Cipta Kerja memang mensyaratkan setiap kegiatan di laut wajib memiliki PKKPRL dari Kementerian Kelautan. "Sampai sekarang belum ada PKKPRL di area pagar laut," tuturnya dalam laporan tersebut.

Jika nanti terbukti area itu berada di kawasan pantai atau laut tapi sertifikat HGB dan SHM tetap diterbitkan, Nusron memastikan akan meninjau ulang penerbitannya dengan mencabut sertifikat tersebut. Ia pun berjanji akan menindak tegas pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan sertifikat itu.

Kuasa hukum Agung Sedayu Group, Muannas Alaidid, membantah tudingan bahwa sertifikat yang dimiliki kliennya itu menyalahi aturan. Dia menyatakan sertifikat tersebut terbit sesuai dengan prosedur. "Kami beli dari rakyat awalnya SHM, lalu dibalik nama resmi, bayar pajak, dan ada surat izin lokasi atau PKKPR," katanya kepada Tempo, Selasa, 21 Januari 2025.

Muannas menyatakan, jika mengacu pada Google Earth, kawasan di sekitar pagar bambu itu pada 1982 merupakan lahan warga yang terkena abrasi dan bukan kawasan laut. Pernyataan Muannas itu berbeda dengan Kementerian Kelautan. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Banten Eli Susiyanti mengatakan area itu berada di zona perikanan budi daya, perikanan tangkap, serta wilayah kerja minyak dan gas bumi.

Kondisi di dalam ruangan kantor perusahaan PT Cahaya Inti Sentosa, pemilik sertifikat HGB dan SHM atas area pagar laut Tangerang, di Kawasan Pergudangan 100, Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, 21 Januari 2025. TEMPO/Andi Adam Faturahman

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati membantah pernyataan Muannas itu. Pasalnya, berdasarkan penelusuran Kiara, tidak ada perubahan signifikan pada wilayah pesisir Desa Kohod. "Sehingga penerbitan sertifikat HGB dan SHM di atas laut jelas bertentangan dengan undang-undang," ujarnya.

Aturan yang dimaksudkan Susan itu adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 juncto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Atas dasar itu, ia menilai penerbitan sertifikat HGB dan SHM tersebut melampaui kewenangan Kementerian ATR/BPN.

Selain itu, Susan menyatakan penerbitan hak tanah di atas laut tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010. Putusan tersebut, menurut dia, menganulir konsep hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007. Kiara merupakan salah satu anggota koalisi masyarakat sipil yang mengajukan pengujian undang-undang tersebut kala itu.

Susan menjelaskan, dalam konsep HP3 berlaku skema kepemilikan ruang di laut seperti di darat. Artinya, siapa pun yang memiliki uang bisa memiliki lahan di atas laut melalui HP3. Jika sudah mengantongi izin penguasaan, jangka waktu HP3 periode pertama 20 tahun, periode kedua bisa diperpanjang 20 tahun, dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi. "Total 60 tahun. Ini kan konyol. Makanya kami mengajukan gugatan waktu itu. Kepemilikan hak individu ataupun korporasi adalah HP3. Itu merupakan bentuk privatisasi laut," ucapnya.

Dalam putusan itu, Kiara cs menilai HP3 dapat menghilangkan hak masyarakat di daerah pesisir pantai. Pasalnya, pemilik hak atas laut itu bisa saja melarang masyarakat pesisir beraktivitas, seperti menangkap ikan di wilayah yang mereka kuasai. Apalagi masyarakat dinilai tak memiliki modal untuk mendapatkan HP3 dari pemerintah. Dalam putusannya, MK menyatakan konsep HP3 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Sayangnya, kata Susan, upaya mengotak-ngotakkan ruang di atas laut itu kembali hidup dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, yang di antaranya mengatur zonasi laut. Dengan terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja, pengaturan ruang laut makin kompleks. Undang-Undang Cipta Kerja mendorong adanya integrasi di darat dan laut, dengan pemanfaatan ruang laut harus didasarkan pada izin PKKPRL dari Kementerian Kelautan. Contohnya, ketika wilayah pesisir diputuskan sebagai zonasi pelabuhan dan pariwisata, untuk membangun pelabuhan, perusahaan perlu mendapat izin Kementerian Kelautan berupa PKKPRL dan izin Kementerian ATR/BPN.

Polemik inilah yang menurut Susan menjadi salah satu pemicu kasus penerbitan sertifikat HGB atas area laut di Kabupaten Tangerang. Namun, di luar regulasi yang ada, ia meminta pemerintah mengusut pihak yang menerbitkan sertifikat HGB dan SHM tersebut karena jelas menyalahi regulasi.

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Maria S.W. Sumardjono mengatakan, jika Kementerian ATR/BPN terbukti menerbitkan sertifikat HGB untuk garis pantai yang bukan wewenangnya, penerbitan sertifikat itu melanggar aturan. Sebab, ada cacat administrasi. Karena itu, sertifikat tersebut bisa dibatalkan sebagaimana Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan Pasal 35.

Maria mengungkapkan, dalam kasus penerbitan sertifikat HGB dan SHM di Tangerang, hal yang perlu dipastikan adalah apakah sudah ada PKKPRL atau perizinan lain dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jika sudah, HGB bisa diajukan. Hal itu sesuai dengan regulasi dalam Undang-Undang Cipta Kerja. "Tapi, yang paling penting, itu sesuai atau enggak dengan tata ruang. Kalau tidak sesuai dengan tata ruang, bisa dibatalkan," ujarnya.

Maria menjelaskan, ada dua ketentuan yang membolehkan pemberian hak atas tanah untuk wilayah perairan. Pertama, tanah di bagian pasang-surut, yakni bidang tanah di titik pasang tertinggi sampai titik surut terendah. Kedua, tanah di bagian tertutup air yang bisa digunakan untuk mendirikan bangunan atau membudidayakan tanaman.

Alamat kantor PT Agung Intan Makmur, perusahaan pemilik sertifikat HGB dan SHM berupa tanah kosong di area pagar laut Tangerang, di Jalan Inspeksi PIK 2, Kosambi, Tangerang, Banten, 21 Januari 2025. TEMPO/Andi Adam Faturahman

Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria Benny Wijaya mengatakan, dalam penerbitan sertifikat HGB untuk area di atas permukaan laut, patut dicurigai adanya indikasi pemalsuan dokumen. "Karena dalam penerbitannya ada pengukuran dan pengecekan di lapangan. Enggak mungkin enggak tahu," tuturnya. Benny menyebutkan sertifikat HGB hanya bisa diterbitkan untuk wilayah pesisir pantai. Namun hanya garis sempadan pantai yang boleh disertifikatkan dengan batas minimal 100 meter dari titik surut.

Menurut dia, ada beberapa pelanggaran yang diduga terjadi jika benar sertifikat HGB dikeluarkan untuk area di atas laut, dari maladministrasi, pemalsuan dokumen, dan dugaan tindak pidana korupsi. Pelanggaran-pelanggaran itu bisa berupa pengubahan tata ruang darat dan laut yang mengakibatkan garis batas laut berubah, pemberian izin tata ruang baru, serta pembelokan data riwayat tanah dan dasar risalah yang menjadi dasar terbitnya SK.

Sependapat dengan Benny, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhamad Isnur mengatakan penerbitan sertifikat HGB untuk area di atas laut di Tangerang tidak bisa dilakukan. "Ini bentuk praktik mafia tanah," ujarnya saat dihubungi secara terpisah.

Isnur mendorong pengusutan tidak berhenti pada maladministrasi, tapi harus sampai tindak pidana yang mungkin terjadi. Bukan hanya penerbit sertifikat, menurut dia, pemilik HGB di sekitar pagar laut Tangerang juga perlu diperiksa untuk memastikan ada/tidaknya praktik suap dalam penerbitan perizinan tersebut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Jihan Ristiyanti

Jihan Ristiyanti

Lulusan Universitas Islam Negeri Surabaya pada 2021 dan bergabung dengan Tempo pada 2022. Kini meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus