Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ASAP sudah mengebul-ngebul, namun sumber api tetap tak jelas, begitulah agaknya penyidikan kasus suap atas laporan pengusaha Probosutedjo. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sampai tulisan ini diturunkan, tampaknya masih repot mengungkap: betulkah gerangan jaksa dan hakim menerima suap, seperti dilaporkan Probosutedjo?
Sudah mendekati satu bulan, KPK masih berkutat memeriksa lima pegawai Mahkamah Agung (MA) dan seorang mantan hakim tinggi. Kelimanya ditangkap pada 30 September lalu, dan kini berstatus tersangka suap. Ke mana saja arus uang miliaran itu mengalir, masih wallahua’alam bissawab.
Pengacara tersangka Harini Wiyoso, yakni Yendrison, juga mengakui hal ini. ”Belum ada pemeriksaan soal aliran dana,” katanya, Kamis pekan lalu. Harini adalah orang yang menjanjikan kepada Probosutedjo mengurus perkara pidananya di tingkat kasasi. Kepada mantan hakim tinggi di Yogyakarta inilah uang US$ 400 ribu dan Rp 800 juta dikucurkan.
Sebelumnya, Probosutedjo juga sudah memercikkan uang miliaran rupiah demi bebas dari hukuman atas perkara korupsi dana reboisasi sebesar Rp 100,93 miliar. Ia berharap, di tingkat kasasi, majelis hakim yang diketuai Bagir Manan dengan anggota Parman Suparman dan Usman Karim membebaskannya.
Hanya, sekarang pembuktian jaksa dan hakim menerima suap, seperti diterangkan Probosutedjo, menjadi muskil berliku-liku. ”Kecuali tertangkap tangan,” kata Irawady Joenoes, koordinator pengawasan perilaku hakim di Komisi Yudisial.
Probosutedjo sendiri, sampai saat terakhir, masih bungkam soal pembuktian suap. Tetapi, menurut Irawady, adik tiri mantan presiden Soeharto itu memang menyerahkan seberkas dokumen ketika memberikan kesaksian di Komisi Yudisial, Senin pekan lalu. Hanya, ”Saya khawatir dokumen itu tidak asli,” kata Irawady seraya menolak menjelaskan isi dokumen.
Pengacara Probo dalam kasus suap, H.A. Boer, mengungkapkan memang ada beberapa dokumen yang akan diserahkan ke KPK. Misalnya kuitansi pemberian uang kepada seorang pengacaranya di tingkat banding senilai Rp 6,5 miliar. Kuitansi ditandatangani Probosutedjo dan pengacara berinisial AH itu pada 14 Agustus 2003.
Uang pelicin sebanyak itu dialamatkan majelis hakim banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta—Suparno, Samang Hamidi, dan R.R. Sri Sumartinah—agar pemilik PT Menara Hutan Buana itu bebas. Dalam kenyataannya, Probosutedjo dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Memang lebih ringan dua tahun dari vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Menurut Boer, Probosutedjo tidak mencari tahu apakah dana itu diterima majelis hakim, atau masuk ke kantong pengacara. ”Lha, dia dulu juga janji, kalau tidak bebas, potong lehernya,” kata Boer. ”Tapi, setelah putusannya tidak bebas, Pak Probo tidak melakukan apa-apa.”
Kini, semua nama yang disebut Probosutedjo membantah menerima uang pelicin. ”Tidak ada lobi, saya tidak kenal dengan pengacaranya,” kata Suparno, mantan hakim banding perkara Probosutedjo, Kamis pekan lalu. Sumber Tempo mengatakan, Suparno malah memperkuat putusan di tingkat pertama, yang menghukum Probosutedjo empat tahun penjara.
Bantahan juga datang dari jaksa I Ketut Murtika, yang dulu menuntut Probosutedjo tiga tahun penjara. Murtika malah balik akan menuntut Probosutedjo ke pengadilan karena telah mencemarkan nama baiknya.
Kalau situasinya sudah begini, menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki, KPK dan Komisi Yudisial perlu segera bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kerja sama ini untuk menelusuri aliran dana ke setiap rekening nama-nama yang menikmati uang Probosutedjo. ”Dari situ bisa dilihat akumulasi rekening mereka,” kata Teten, Rabu pekan lalu.
Hampir tak ada harapan membongkar kasus ini dengan mencoba menemukan bukti hukumnya. Mestinya, kata Teten, KPK jangan mencari perbuatan melanggar hukum, tetapi menelusuri lewat pendekatan kekayaan.
Seperti dalam salinan arus uang yang diperoleh Tempo, tak satu pun uang pelicin US$ 400 ribu dan Rp 800 juta itu masuk ke rekening hakim agung yang sedang menangani perkara kasasi Probosutedjo. Juga tidak ke para pengacara. Uang itu mengalir hanya di antara kelima pegawai MA itu—Sriyadi, Malam Pagi Sinuhadji, Pono Waluyo, Suhartoyo, Sudi Ahmad—dan Harini Wiyoso.
Dengan penelusuran seperti ini, Teten pesimistis jejak para jaksa atau hakim yang menerima uang suap akan terungkap. ”Tapi hanya sampai pada broker dan pengacara,” katanya.
Komisi Yudisial ternyata sependapat dengan Teten. Menurut Irawady, Komisi Yudisial sudah minta bantuan PPATK. ”Kami minta rekening jaksa, hakim banding, hakim agung, dan pengacara diperiksa semua,” ujarnya. Ia kesal karena tak seorang pun jujur mengaku telah menerima uang suap itu. ”Bagaimana kalau semua membantah?” katanya.
PPATK siap proaktif dalam kasus ini. ”Tanpa diminta pun kami akan jalan terus,” kata Yunus Husain, Ketua PPATK. ”Apalagi sudah ada tersangka. Kami akan support KPK.” Dengan kasus suap yang sudah ada nama tersangkanya, PPATK dan perbankan tidak punya hambatan melacak transaksi rekening mereka.
Dengan begitu, kata Teten, upaya membongkar praktek suap bisa sampai di tingkat jaksa, hakim, bahkan hakim agung. Artinya, ini momentum membongkar praktek mafia peradilan yang terbungkus rapi selama puluhan tahun.
Maria Hasugian, Edy Can, Agus Suprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo