Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LETAK tanah itu terbilang strategis, di pinggir jalan lebar di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Kendati kosong melompong, tak ada bangunan apa pun, tanah seluas 1.961 meter persegi itu terlihat terawat. Tak banyak semak belukar di sana layaknya lahan tak bertuan umumnya. Si empunya membatasi lahan tidur itu dengan pagar seng.
Tanah yang berada tepat di bibir Jalan Raya Cipete tersebut milik gubernur non-aktif Nanggroe Aceh Darussalam, Abdullah Puteh, 57 tahun. Beberapa hari terakhir ini, tanah itu kembali menjadi pembicaraan sejumlah orang. Soalnya, Puteh berniat menjual tanah tersebut untuk melunasi kewajibannya membayar ganti rugi sekitar Rp 6,5 miliar.
Puteh memang diwajibkan membayar ganti rugi ke negara sesuai dengan putusan MA, yang menolak kasasinya pada 13 September lalu. Dalam putusan kasasi MA yang dipimpin Hakim Ketua Artidjo Alkostar, mejelis hakim menguatkan vonis pidana penjara 10 tahun penjara kepada Puteh dalam kasus korupsi pembelian helikopter MI-2 Rostov, Rusia.
Selain itu Puteh juga diwajibkan membayar denda Rp 500 juta atau subsider enam bulan kurungan. Jumlah ini, menurut Artidjo, sebesar duit negara yang masuk ke kantong Puteh. ”Jika dalam waktu satu bulan sejak putusan dibacakan ganti rugi itu belum dibayarkan, jaksa penuntut umum diperintahkan menyita harta benda Abdullah Puteh,” ujar Artidjo kala membacakan putusan. Artinya, 13 Oktober ini seharusnya utangnya kepada negara itu harus dilunasi.
Putusan kasasi ini memang lebih ”maju” ketimbang putusan pengadilan tindak pidana korupsi tingkat pertama dan banding. Dalam pengadilan tingkat pertama, yang digelar 11 April silam, Puteh divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 3,687 miliar. Ketua majelis hakim, Kresna Menon, menyatakan seluruh unsur dugaan korupsi terbukti. Salah satunya lewat penyerahan duit Rp 750 juta kepada PT Putra Pobiagan Mandiri, yang menjadi rekanan Pemda Aceh untuk pengadaan pesawat heli pesanan Puteh.
Tindakan korupsi lainnya, kata Kresna, Puteh juga terbukti bersalah dengan menempatkan duit kas daerah Rp 7,75 miliar ke rekening pribadinya di Bank Danamon. ”Dana daerah seharusnya masuk kas daerah,” kata Kresna.
Di pengadilan tingkat banding, hukuman Puteh berkurang. Kendati tetap dihukum 10 tahun penjara, hakim mengurangi kewajiban Puteh mengembalikan uang negara menjadi Rp 1,7 miliar. Hakim menyatakan, dakwaan primer untuk Puteh soal memperkaya diri sendiri tak terbukti.
Banyak pihak melihat, ringannya hukuman Puteh di pengadilan tinggi tak lepas dari kasus upaya penyuapan yang dilakukan pengacara Puteh, Tengku Syaifuddin Popon, terhadap dua panitera pengadilan tinggi, Ramadhan Rizal dan M. Soleh. Berkaitan dengan kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Juni lalu menemukan tas berisi Rp 249 juta di kolong meja Rizal. Kasus ini kini sudah bergulir di pengadilan tindak pidana korupsi.
Untuk memenuhi kewajiban membayar denda bermiliar rupiah itulah, Marlinda Poernomo, istri Puteh, pekan lalu mendatangi kantor KPK. Linda meminta keringanan waktu pembayaran ganti rugi itu. Permintaan Linda ini rupanya tak ditampik KPK. ”Ini itikad baik Puteh, kami memberikan keleluasaan hingga usai Lebaran,” kata anggota KPK Khaidir Ramli seusai menemui Marlinda.
Puteh sendiri sebenarnya sempat menawar kewajibannya membayar ganti rugi itu. Ia, misalnya, meminta kewajibannya itu dicicil selama lima tahun. Tapi permintaannya itu ditolak. ”Menurut putusan MA, pembayaran itu tak boleh dicicil,” ujar Khaidir.
Marlinda kini tampak lebih sibuk dari biasanya. Selain setiap hari menjenguk Puteh di penjara Cipinang, ia juga rajin mengontak kenalannya untuk menawarkan tanahnya. Kamis pekan lalu, saat Tempo menunggu di rumahnya di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan, dari sore hingga malam, perempuan asal Yogya ini juga tak muncul-muncul. ”Ibu sangat sibuk, keluar dari pagi hingga larut malam,” ujar Rusdi, penjaga rumah Puteh, kepada Tempo.
Menurut data yang diperoleh Tempo, nilai tanah Puteh di Cipete itu Rp 4 juta per meter persegi. Thomas Sugiarto, salah satu anggota Era Ellyte, lembaga yang akrab dengan soal jual-beli tanah dan rumah, menyebut harga tanah di kawasan Cipete Rp 3,5-4 juta per meter persegi. ”Harga tanah di Cipete itu rata-rata di atas nilai jual obyek pajak,” katanya.
Kalau dihitung-hitung, nilai harta yang dimiliki Puteh agaknya lebih dari Rp 6,5 miliar, jumlah yang harus ia serahkan ke negara. Berdasarkan laporan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), nilai kekayaan Puteh mencapai Rp 13,3 miliar pada 2002. Kekayaan ini meliputi, antara lain, rumah seluas 800 meter persegi di atas tanah 3.286 meter persegi di Ciganjur, Jakarta Selatan. Tanah yang dibeli Puteh pada 1993 itu memiliki nilai jual obyek pajak (NJOP) Rp 2,5 miliar.
Pada 2002, menurut laporan itu, Puteh kembali membeli tanah seluas 1.961 meter persegi di Cipete, dengan NJOP Rp 3,5 miliar. Selain itu ia memiliki sedan Honda seharga Rp 205 juta, mobil BMW Rp 270 juta, dan Mercedes Benz Rp 230 juta. Puteh juga mengantongi logam mulia dan mengumpulkan barang seni yang total nilainya tak kurang dari Rp 473 juta, plus lembaran surat berharga senilai Rp 3,1 miliar.
Di luar Jakarta, Puteh memiliki kebun kelapa sawit di Aceh Barat dan Aceh Timur yang diperkirakan nilainya Rp 1,2 miliar. Dan di luar semuanya itu, ia juga memiliki tabungan dan giro, baik dalam rupiah (Rp 1,7 miliar) maupun dolar Amerika (US$ 38.462). Total kekayaan Puteh pada 2002 itu tak kurang dari Rp 13 miliar. ”Mungkin sekarang kekayaan itu telah menjadi berlipat,” kata Khaidir.
Puteh kini memang bak dikejar waktu. Sebab, jika ia tak bisa memenuhi kewajiban membayar ganti rugi sesuai dengan vonis hakim, hukumannya ditambah tiga tahun penjara. Meski memiliki harta kekayaan lebih dari Rp 13 miliar, tentunya tetap saja dibutuhkan waktu cukup untuk mencairkannya menjadi uang tunai.
Pengacara Puteh, Mohammad Assegaf, menuding putusan hakim yang memerintahkan Puteh membayar ganti rugi tersebut jauh dari rasa keadilan. ”Kalau Puteh harus membayar ganti rugi, artinya helikopter Rusia itu milik Puteh. Padahal kenyataannya tidak demikian,” kata Assegaf.
Assegaf juga mempertanyakan, kenapa aset pribadi Puteh yang harus dieksekusi untuk membayar utang, ”Kenapa bukan helikopter itu saja yang diambil negara. Nilainya kan jauh di atas Rp 6,564 miliar?” ujarnya.
Cahyo Junaedy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo