Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR vonis dari Bali itu membuat kecewa seorang anggota Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi. ”Kami akan melayangkan protes,” ujar pria yang akrab dipanggil Kak Seto itu, tampak geram.
Pekan lalu, Pengadilan Negeri Amlapura, Karangasem, Bali, mengganjar Michel Rene Heller, pencabul anak (pedofil) asal Prancis dengan hukuman penjara 2 tahun 6 bulan. Artinya, vonis tadi hanya seperlima dari ancaman pidana penjara yang disediakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Heller diadili lantaran dianggap melakukan pelecehan seksual terhadap tiga anak berumur 16 tahun dari Desa Bunutan Abang, Karangasem. Dalam dakwaan jaksa disebutkan, kasus pencabulan ini terjadi pada 2001, 2002, dan 2003. Namun belakangan kejadian pada 2003 itu diabaikan karena lemahnya saksi-saksi.
Heller ditangkap atas permintaan Kedutaan Besar Prancis di Jakarta, yang menyebut bahwa yang bersangkutan merupakan buron Interpol. Permintaan senada juga diterima polisi Bali dari NCB Interpol di Jakarta. Interpol mengabarkan, Heller adalah buron dan diduga kuat terlibat kasus pedofilia di Prancis dan Amerika Serikat. Polisi pun memburu Heller dan membekuknya. Sekitar 20 hari setelah ditangkap pada 9 Maret 2005 di Villa Meditasi Karangasem, terungkap ulah warga Prancis ini selama di Bali: ia sudah mencabuli sedikitnya tiga bocah lelaki berumur belasan tahun.
Menurut Jaksa Putu Indriati, Heller akrab dengan anak-anak lantaran royal memberikan hadiah uang, pakaian, sepatu, dan sepeda kepada calon korbannya. Ini yang membuat tiga anak korbannya itu terpikat. Mereka, misalnya, jadi tak takut diajak mandi di pantai dan bercengkerama di kamar Heller setiap dia datang ke Karangasem dan menginap di Bungalow Meditasi. Saat di kamar itu, kata jaksa, Heller mencabuli ketiga bocah itu.
Ihwal lolosnya Heller dari jeratan UU Perlindungan Anak, dan hanya dijerat dengan pasal-pasal KUHP, kemungkinan lantaran adanya keraguan jaksa terhadap waktu kejadian. Jaksa Indriati menilai, fakta-fakta di persidangan tak bakal menguatkan ada kejadian pelecehan setelah Oktober 2001, saat Undang-Undang Perlindungan Anak resmi berlaku. ”Hanya ada satu saksi korban dari tiga saksi,” kata Indriati.
Indriati mengaku tak mau memaksakan penggunaan Undang-Undang Perlindungan Anak karena khawatir akan melanggar asas retroaktif. Kebijakan inilah yang disesalkan Seto Mulyadi. ”Meski kasusnya terjadi sebelum Oktober 2002, undang-undang itu harusnya juga tetap menjadi pertimbangan,” ujar Seto.
Adapun Heller sendiri menolak dirinya dituding sebagai pedofil. Mukanya tampak masam begitu hakim menyatakan dirinya diganjar 2 tahun 6 bulan penjara. ”Saya mengajukan banding terhadap putusan itu,” katanya. Menurut pengacaranya, Erwin Siregar, Heller menyatakan dirinya adalah penyayang anak. ”Pergaulannya dengan anak-anak yang disebut-sebut sebagai korban itu hanya sebatas canda tawa, karena mereka suka memegang dada dan tangan Heller yang berbulu lebat,” kata Erwin.
Vonis yang dinilai ringan oleh sebagian masyarakat ini juga membuat L.K. Suryani, psikiater yang juga pemimpin Committee Against Sexual Abuse, gregetan. ”Banyak kelemahan dalam persidangan itu,” ujarnya. Pertanyaan yang meminta ketegasan dan ketepatan waktu kejadian pada 2003, menurut dia, sulit dipahami saksi. Sebagaimana orang desa, kata Suryani, para korban memang tak terbiasa mengingat segala hal dalam satuan waktu. Tapi, kata Suryani, dalam wawancara yang ia lakukan, para korban itu umumnya bisa menguraikan kejadian hingga akhir 2002 secara runtut.
Menurut Seto Mulyadi, seharusnya Heller dihukum dengan hukuman maksimal. ”Pelaku pedofilia dihukum maksimal untuk memberikan efek jera,” katanya. Ia mengingatkan kasus yang menimpa William Stuart Brown, 52 tahun, pada 18 Mei tahun lalu, di pengadilan yang sama. Waktu itu hakim menjatuhkan vonis 13 tahun kepada bekas diplomat Australia yang akrab dipanggil Tony ini.
Vonis ringan kepada pedofil semacam Heller ini, menurut Seto, menunjukkan masih lemahnya komitmen para penegak hukum dalam menerapkan Undang-Undang Perlindungan Anak. ”Jika ini terus terjadi, undang-undang ini bisa menjadi sekadar macan kertas,” ujar Seto.
Abdul Manan, Rofiqi Hasan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo