Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUASANA hening langsung menyelimuti ketika ketua majelis hakim Efan Basuning memasuki babak terpenting pembacaan putusannya. Puluhan anggota Front Pembela Islam (FPI) yang berada di ruang sidang tegang. Pemandangan yang sama terpancar dari wajah Erwin Arnada, 42 tahun, Pemimpin Redaksi Majalah Playboy. ”Dakwaan jaksa penuntut umum terhadap Saudara Erwin Arnada tidak dapat diterima,” kata Basuning, Kamis pekan lalu. Erwin pun dinyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bebas dari dakwaan.
Para anggota FPI tersentak seperti tak percaya. Sejenak mereka berpandangan lalu segera berduyunduyun keluar ruang sidang. ”Allahu Akbar, Indonesia sudah jadi negeri porno,” teriak seorang anggota FPI. Sedangkan Erwin segera bangkit dari kursinya dan menyalami sejumlah wartawan dan rekanrekannya yang dari pagi mengikuti persidangan itu. Wajahnya tampak lelah. ”Terima kasih,” katanya lirih.
Pada April tahun lalu, Masyarakat Anti Pembajakan dan Pornografi (MAPPI) mengadukan Erwin ke Polda Metro Jaya. Menurut MAPPI, Playboy, majalah yang di Indonesia dipimpin Erwin itu, telah menyiarkan kecabulan dan merusak generasi muda. Polisi merespons pengaduan itu. Erwin dan sejumlah model majalah tersebut diperiksa. Belakangan Erwin dijadikan tersangka dengan tuduhan melakukan tindak pidana susila. Kasus ini pun sejak awal Desember lalu masuk ruang sidang.
Menurut Efan, jaksa penuntut umum tidak cermat menyusun dakwaannya atas kasus seperti ini. Kekeliruan jaksa, kata Efan, tidak memakai UndangUndang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai undangundang khusus (lex specialis). Dalam dakwaannya, jaksa Ardianto memang memakai pasal 282 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) untuk menjerat Erwin. Wartawan itu dituntut dua tahun penjara lantaran didakwa menyebarkan pornografi. ”Saya menghargai hakim yang menyatakan Playboy juga termasuk produk pers, sehingga masalah hukumnya harus diselesaikan lewat UndangUndang Pers,” ujar Erwin.
Kuasa hukum Erwin, Ina Rahman, mengatakan bila kliennya dituduh menyebarkan pornografi, seharusnya ia dijerat dengan undangundang antipornografi dan pornoaksi. Masalahnya, undangundang ini belum ada dan masih digodok di DPR. Soal fotofoto di Playboy yang menurut para penggugat vulgar, menurut Ina, Playboy mempertimbangkannya dari aspek seni, bukan aksiaksi vulgar. ”Kami tidak akan memuat orang telanjang bulat atau sedang bercinta seperti Playboy di Amerika,” kata Ina. Jadi, yang diproduksi Erwin, menurut Ina, murni produk pers yang berisi informasi kepada publik. Sebelumnya, dalam nota pembelaannya, Ina juga meminta hakim agar merujuk pada putusan kasasi majalah Tempo dan Matra. Dalam putusan kasasinya, Mahkamah Agung memang menyatakan bahwa kasus yang berkaitan dengan media seharusnya mengacu pada UndangUndang Pers.
Sejumlah tokoh pers menyambut gembira putusan hakim yang menyatakan kasus ini seharusnya ”diangkat” dengan UndangUndang Pers. ”Ini kemajuan sangat besar karena diputuskan di pengadilan negeri,” kata Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara. Jaksa Ardianto sendiri menerima putusan hakim. Menurut Ardianto, pihaknya tidak mencantumkan UndangUndang Pers karena memang tidak melihat adanya alasan memakai undangundang itu. ”Kami hanya mencantumkan berdasarkan laporan penyidik,” kata Ardianto.
Habieb Rizieq, Ketua Umum FPI, menyatakan dirinya tak kaget mendengar Erwin dibebaskan. ”Saya sudah memperkirakan pemimpin redaksi majalah asal Amerika Serikat itu bakal menang,” katanya. Pengadilan yang tertutup, misalnya, menurut Rizieq merupakan upaya hakim menutup akses masyarakat untuk mengetahui argumentasi di ruang sidang. ”Dakwaan jaksa juga sangat lemah karena menjerat hanya dengan satu pasal,” kata Rizieq. Kendati demikian, Rizieq menyatakan tak akan ”berhenti berperang” untuk menghentikan majalah ini. ”Kami akan mendesak kejaksaan mengajukan kasasi dan memilih hakim yang adil dan bersih,” katanya.
Ina Rahman sendiri tak gentar dengan siapa pun yang ingin menggugat Playboy. Hanya, ia mengingatkan, untuk urusan semacam ini, delik yang dipakai delik pers, bukan pidana. ”Siapa pun yang ingin menuntut Playboy silakan,” katanya. Jadi, urusan majalah berlogo kelinci itu dengan pengadilan, untuk sementara, sudah tutup buku.
I G.G. Maha Adi, Marlina M. Siahaan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo