Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerap benar telepon berdering di rumah Suparmin Sinuang Raharjo selama beberapa pekan terakhir. Hajat para penelepon ratarata serupa: memesan kompor buatannya. Dalam sehari bisa sampai belasan pemesan. Dari pengusaha sampai penjual jamu, semua kesengsem ingin segera memborong pulang kompor yang dijanjikan sungguh hemat energi itu. Seorang ibu, misalnya, naik motor dari Magelang, sembari mengempit duit Rp 3 juta di dalam tasnya. Ya, demi kompor made in Suparmin.
”Saya belum bisa memenuhi permintaan mereka karena kompor ini belum diproduksi,” ujar Suparmin kepada Tempo. Semua kehebohan ini bermula saat Suparmin, 49 tahun, seorang warga perumahan Kalibagor Indah, Banyumas, Jawa Tengah, mengklaim menemukan kompor berbahan bakar air. Penemuannya dimuat di beberapa media cetak di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ada koran yang bahkan menghitung kompor itu bakal memangkas biaya penggunaan minyak tanah atau elpiji hingga 75 persen.
Sang penemu kompor mengaku telah mendapat hak paten dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada 10 November 2003. Dia memperlihatkan cara kerja barang ini kepada Tempo dua pekan lalu. Mulamula, air dan minyak dimasukkan ke dalam tabung dengan perbandingan 10 dan 1. ”Sepuluh liter air plus satu liter minyak,” kata insinyur elektro ini.
Listrik berkekuatan 100 watt ini kemudian dialirkan untuk membakar air hingga menjadi uap. Melalui selang uap disemprotkan ke sarangan kompor yang terbuat dari jalinan kawat nikelin. Sebelum kompor digunakan, sarangan terlebih dulu dialiri listrik selama 15 menit. Dari sini uap yang disemprot menghasilkan api. Daya listriknya pun mengecil.
Menurut Suparmin, api mampu bertahan selama 15 jam. Dan nyala api, kata Suparmin, lebih panas dibandingkan pada kompor biasa karena semburan gas dihasilkan melalui penguapan. Api juga tak menimbulkan jelaga dan tak berbau. ”Dijamin kompor ini tak akan meledak,” ujarnya. Gas yang dihasilkan tabung tak menimbulkan percikan api. Aliran listrik yang membakar kawat nikelin juga sangat kecil sehingga tak menimbulkan efek setrum.
Selain minyak tanah, kompor buatan Suparmin bisa menggunakan spiritus, thinner, atau alkohol. ”Kalau pakai spiritus kuotanya separuh minyak tanah,” katanya. Dia mewantiwanti agar tak menggunakan air asin atau laut. ”Akan merusak dinding tabung,” katanya.
Bentuk alat pemasak buatan Suparmin ini mirip kompor gas biasa, termasuk juga tabung gasnya. Menurut dia, tabung tinggal diisi gas yang terbentuk dari minyak dan air yang disalurkan ke kompor dengan selang.
Ia juga tak khawatir bila listrik tibatiba mati. Kompor ini menyimpan gas cadangan yang bisa digunakan sekitar dua hari tanpa listrik. Cadangan berasal dari arus listrik 100 watt selama 15 menit pada saat awal kompor dinyalakan. ”Setelah itu hanya dibutuhkan daya 5 watt saja,” kata Suparmin yang mengaku menjual mobil dan motor untuk membiayai risetnya.
Klaim Suparmin ternyata belum meyakinkan Sudiartono, dosen Geofisika Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Menurut Sudiartono, air dan minyak tak mungkin bisa menyatu karena minyak pasti naik ke permukaan. Jika dipanaskan, pasti kerosinnya terbakar dan menguap. ”Jadi, tak memungkinkan menggunakan bahan seperti itu,” ujar pengelola Pusat Studi Energi UGM itu.
Secara teoretis, air atau H2O dapat menimbulkan energi. Pertamatama, zat hidrogen dan oksigen dipisah. Lalu hidrogen dikumpulkan sehingga melahirkan energi. Tapi, untuk mengumpulkan zat hidrogen butuh tabung yang suhunya minus derajat Celsius, bukan tabung dengan suhu ruang di rumah Suparmin. ”Jika dalam suhu ruangan bisa meledak. Ini menjadi semacam bom hidrogen,” Sudiartono menambahkan.
Menurut dia, sampai sekarang belum ada tabung yang bisa menyimpan hidrogen dalam suhu ruang. Perusahaan minyak dan gas Chevron, Amerika Serikat, melakukan riset energi hidrogen yang diambil dari air dengan dukungan energi surya. Saat ini, riset tersebut belum selesai.
Pendapat serupa datang dari dosen Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UGM, Kusminarto. Dia mengatakan, arus listrik yang mengalir ke sarangan kompor Suparmin itulah yang memicu munculnya api setelah disemprot uap minyak tanah, Nah, dalam bentuk cair minyak dan air tak bisa bercampur. Setelah dipanaskan, kedua zat cair menguap. Uapnya bisa bercampur tapi tak akan saling mengikat. Uap minyak membantu pemanasan api, sementara uap air? ”Uap air ya tetap uap air, tak akan dapat menimbulkan api,¨ ujarnya.
Lantas, bagaimana mungkin api mampu bertahan hingga 15 jam? Iip Izul Falakh tak merasa aneh dengan temuan Suparmin. Dosen Jurusan Kimia UGM ini berpendapat, api kompor bisa bertahan lama karena pembakaran berlangsung sempurna. ”Soal 15 jam amat tergantung pada pembakaran dan besarnya selang untuk mengalirkan uap,” ujarnya.
Menurut Iip, kehadiran oksigen dalam uap air bisa membantu meredam panas sehingga pembakaran yang dihasilkan juga bagus: ”Ada kemungkinan campuran itu hanya untuk membatasi panasnya penguapan.” Alhasil, ketiga dosen itu tak sepakat pada klaim bahwa kompor Suparmin berbahan bakar air. Mereka berkeyakinan air atau uap air tak akan pernah menimbulkan api. ”Dalam reaksi kimia, uap merupakan produk akhir air yang dibakar. Jadi, air ya tetap air, tak mungkin bisa terbakar,¨ ujar Iip.
Sudiartono menyebutkan, dulu, di Solo pernah muncul berita seorang warga yang mampu membuat mobil berbahan bakar air, tapi kelanjutan penelitian tersebut tak jelas. Ujungujungnya, berita di koran digunakan untuk mencari dana.
Ketua Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada itu mengaku senang jika riset Suparmin bisa dipertanggungjawabkan. Adapun Suparmin tak sedikit pun ragu dengan temuannya. Ia telah memperlihatkan cara kerja kompor itu pada banyak orang, dan kini tinggal menunggu pengusaha yang mau memproduksinya secara massal dengan harga murah. ”Kalau tak murah, percuma saya membikinnya,” kata dia.
Kini, Suparmin tengah mempertimbangkan tawaran seorang pengusaha Riau yang mengaku sanggup mengganti biaya risetnya senilai Rp 2,4 miliar.
Untung Widyanto, Ari Aji H.S., L.N. Idayanie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo