DIAM-diam di kalangan Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia-Amerika (LPKIA), nama Jusuf Randy sudah lama "rusak". Jauh sebelum ia ditahan. Julukan untuk Jusuf Randy bahkan sudah tidak lagi Raja Komputer, tetapi Raja Tega. Alasannya, sebagaimana diungkapkan seorang staf LPKIA, Jusuf tega main pecat tanpa alasan yang jelas. Bahkan tunjangan Hari Raya untuk karyawan di tahun 1988 hampir-hampir saja tak diberikan. Rencananya, dari uang itu, Jusuf akan membelikan istri mudanya mobil BMW. "Untung, ada Pak Deddy Toekan, yang keras memprotes, kalau tidak ...," kata staf LPKIA ini. Akibat protes Deddy Toekan itu, 350 karyawan baru menerima uang tunjangan. Seperti halnya grup lawak Srimulat yang pamornya pernah diselamatkan (almarhum) Gepeng dengan ungkapan "untung ada saya", di LPKIA kini ada pameo: "Untung ada Deddy Toekan". Insinyur teknik sipil lulusan Techniche Universitat di Essen, Jerman Barat, ini berhasil menempatkan dirinya sebagai juru selamat sementara. Ia, konon, diberi mandat oleh Jusuf untuk mengelola lembaga komputer ini. "Saya prihatin, jangan sampai LPKIA telantar," begitu alasan Jusuf memberi mandat pada Deddy, menurut Deddy sendiri. Maka, sejak 25 Januari lalu tongkat pimpinan LPKIA jatuh ke tangan Deddy. Dua hari setelah itu, Deddy menggebrak. Ia membentuk manajemen baru LPKIA di depan Notaris Mudofir Hadi, S.H. "Eksistensi LPKIA di masa mendatang adalah misi yang diemban manajemen baru ini," kata laki-laki kelahiran Halmahera, Ambon, 35 tahun lalu itu. Pada masa kepemimpinan Jusuf Randy, Deddy hanya sebagai wakilnya. Ia banyak tenggelam oleh ketenaran Jusuf. Walau begitu, Deddy merasa tak pernah dikecewakan Jusuf. Bahkan Deddy juga mengakui Jusuf Randy punya ide-ide yang brilyan. Sayangnya, "Pak Jusuf kurang konsisten pada idenya," kritik Deddy. Dua "tokoh" ini sudah berkawan intim sejak 1981 di Jerman. Ketika itu Deddy masih belajar di jurusan informatika, khususnya komputer, setelah menyelesaikan sarjana tekniknya. Ketika belajar komputer itulah Deddy diminta oleh Jusuf Randy agar bersedia pulang ke tanah air, ikut mengembangkan LPKIA. Deddy tergiur, dan pulanglah ia pada tahun 1986. "Saya jadi motor dalam manajemen LPKIA. Memang waktu itu saya tak mau diekspos, meskipun saya wakil Jusuf Randy," kata Deddy. Mengapa Jusuf menarik Deddy? "Boleh nyombong, ya. Potensi saya ada, kejujuran saya ada, itu sebabnya Jusuf memakai saya," jawab Deddy. Meski punya potensi besar, toh ayah tiga anak ini mengaku kalang kabut juga saat LPKIA ditinggal mendadak Jusuf Randy. Soalnya, walau manajemen ikut dimotori Deddy, perkara duit ia tak banyak berurusan. Justru masalah keuangan itu yang awut-awutan. "Kas yang ditinggalkan Pak Jusuf Rp 15 juta. Padahal, kewajiban kami membayar gaji, listrik, dan sebagainya sekitar Rp 120 juta," cerita Deddy Toekan. Namun, karena keuletannya mencari dana, kata Deddy, ia berhasil mengatasi kesulitan itu. Persoalan di dapur LPKIA tak berhenti di situ. Masih ada lagi kasus pendiri-pendiri LPKIA seperti Rochmani, Resi Suryaputra, dan Suharsono. Rochmani oleh Jusuf dipajang sebagai direktur --dan dua temannya itu menuntut hak. Mereka merasa namanya telah dipakai LPKIA selama enam tahun, tapi hasil yang diterimanya tak seberapa. Rochmani, misalnya, yang dipajang di akta pendirian sebagai direktur, tapi dipekerjakan sebagai resepsionis, mengaku hanya digaji Rp 150 ribu per bulan. Tiga orang ini memang didepak Jusuf Randy pada 1986. Secara sepihak, lewat Notaris Hidajati Ananta Nitisastro, Jusuf Randy mengambil alih kepemimpinan LPKIA dari Rochmani dan kawan-kawannya itu. Padahal, notaris ini pula yang menandatangani kepemimpinan Rochmani dkk. di tahun 1983, awal mula berdirinya LPKIA. Rochmani dkk. tak terima dan ia memperkarakan Jusuf melalui Pengacara Abraham Pakel. Kasus ini belum sampai ke meja hijau, tiba-tiba Jusuf Randy ditahan. Nah, kasus inilah yang harus dihadapi Deddy Toekan. Bos baru LPKIA ini lantas mengirimkan Bambang Sudibyo -- dalam manajemen baru LPKIA ia duduk sebagai wakil ketua badan pengurus -- untuk mendekati Rochmani. Kalau kasus ini tak tuntas, bisa mempengaruhi kelangsungan hidup LPKIA di Jalan Sisingamangaraja dan Jalan Jaksa -- keduanya di Jakarta -- yang izin operasionalnya hampir habis dari Departemen P dan K. Izin di kedua cabang LPKIA itu semuanya masih atas nama manajemen lama pimpinan Jusuf Randy, Rochmani, dan kawan-kawannya. Rochmani dihadapkan pada pilihan sulit. Tanda tangannya dibutuhkan untuk memperpanjang izin operasional di dua cabang LPKIA itu, namun jabatannya pada manajemen baru LPKIA tak ada apa-apanya. Malahan, Bambang mendesak agar Rochmani melimpahkan wewenangnya itu. Menurut Rochmani, ia juga takut ketika kepadanya disebutkan bahwa utang LPKIA saat itu berjumlah Rp 1,8 milyar. Dasar Rochmani orang kecil, ia keder juga. "Kalau saya bertahan terus, artinya saya harus ikut menanggung utang itu. Jadi, saya pilih mundur," kata Rochmani. Padahal, belum ada bukti utang LPKIA sebanyak itu. Singkat cerita, Rochmani bersedia mundur, tapi ia minta pesangon Rp 50 juta untuk bertiga -- Rocmani, Resi Suryaputra, dan Suharsono. Bambang keberatan karena LPKIA sedang kesulitan uang. Tawaran Rochmani turun menjadi Rp 18 juta. Jumlah ini pun ditolak Bambang. Akhirnya, tercapai kata sepakat Rp 5 juta, untuk bertiga. Selain soal pesangon, Bambang menawarkan pada Rochmani bekerja kembali di LPKIA. Kali ini, Rochmani yang menolak. "Untuk apa? Saya sudah cukup sakit hati," kata ayah tiga anak itu. Dengan begitu, soal Rochmani sudah beres. Tapi berapa, sih, jumlah utang LPKIA? Deddy keberatan menyebutkan jumlahnya. Ia hanya mengatakan, utang dan aset LPKIA perbandingannya satu dan dua. "Kami yakin bisa mengatasi utang itu," kata Deddy optimistis. Yang diketahui, LPKIA berutang kepada Obul Leasing Computer. Baik LPKIA maupun, pemasok komputer itu tutup mulut soal jumlahnya. "Kalau ternyata LPKIA ditutup, baru kami akan action. Bentuknya apa, saya nggak mau bilang, dong," kata Asisten General Manager Obul Leasing Computer, Wim Iskandar. Selain utang resmi, kata Deddy, ternyata ada utang siluman. Ini karena tak jelas, mana utang Jusuf Randy pribadi dan mana atas nama LPKIA. Bahkan ia mendengar ada instansi pemerintah yang akan menagih ke LPKIA Rp 70 juta. Itu sebabnya, manajemen baru LPKIA saat ini sedang menginventarisasi utang-utangnya. "Kami bertekad menerapkan manajemen yang lebih profesional," kata Deddy. Manajemen baru LPKIA tetap berupa yayasan. Selain Deddy dan Bambang di pucuk pimpinan, ada Jusuf Djemat suami-istri. Jusuf Djemat menjabat bendahara merangkap sekretaris, sedang istrinya, Chandra Motik, menjadi penasihat hukum. Kampus LPKIA tetap seperti dulu, dengan 8 cabang. Hanya saja, kantor pusatnya dipindah ke Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, sedang yang di Jalan Radio Dalam Raya dijadikan cabang. Muridnya, kini diperkirakan hanya 3.600 orang. Dulu, kata Jusuf, sampai 6.000. Turunnya Peminat kursus itu disadari Deddy sebagai ancaman. Itu sebabnya, sejumlah janji lama direalisasikannya. Misalnya, di tiap cabang LPKIA akan didirikan laboratorium bahasa Inggris. Juli mendatang, katanya, janji itu diwujudkan. Untuk meningkatkan mutu LPKIA, kata Deddy, sedang dirintis kerja sama dengan Fa. Luchsnoelle, sebuah perusahaan di Jerman Barat yang akan memasok software dan hardware. "Insya Allah, dalam enam bulan mendatang LPKIA akan kembali normal, bahkan berkembang lebih maju," kata Deddy. Juni mendatang dibuka kantor baru di Semarang. Akan halnya urusan cabang ini, ada yang diprihatinkan Deddy. Yaitu LPKIA Yogya. "Sejak manajemen baru ini, LPKIA Yogya tak mengirim setoran uang," kata Deddy. Juga tak melaporkan kewajibannya membayar cicilan utang ke bank. Ketika keluhan Deddy ini disampaikan ke pimpinan LPKIA Yogya, R.M. Nugroho Heru S. tak membantahnya. "Selama masalahnya belum jelas, saya memang tidak menyetor uang ke pusat," kata pimpinan LPKIA Yogya itu. Nugroho bahkan menyebutkan LPKIA Yogya itu otonom. "Kalau cabang dalam pengertian sebenarnya, segala sesuatunya harus ditanggung pusat, dong. Nyatanya, beban utang ke bank itu kami tanggung sendiri," katanya. Itu sebabnya, ia tak merasa perlu setor uang ke LPKIA Pusat. "Dasarnya apa? Wong, akta berdirinya LPKIA saja tidak di tangan saya dan belum pernah saya baca. Bagaimana saya bisa berhubungan dengan kantor pusat?" ujarnya melanjutkan. Nugroho menyebutkan LPKIA Yogya tak terpengaruh dengan situasi Jakarta. Peminat kursus malah naik. Ia membantah kalau ada yang menyebutkan LPKIA Yogya tak sehat. "Apanya yang tak sehat?" kata Nugroho. Bahwa sebuah usaha menanggung utang, katanya, itu pun lumrah. Saat ini LPKIA Yogya masih belum mencicil pokok utangnya pada Bukopin Yogya. Tapi kewajiban membayar bunga bank yang 23 persen setahun sudah dipenuhi dengan lancar dari pemasukan keuangan yang Rp 20 juta per bulan. Cicilan pokok memang belum jatuh tempo. Nugroho juga menolak anggapan orang bahwa istri kedua Jusuf Randy, Yanti, yang duduk sebagai direktur keuangan di LPKIA Yogya, seenaknya mengambili uang. "Semua pemasukan dan pengeluaran uang ada prosedurnya," tambah Nugroho. Katanya pula, tak ada satu pun barang milik Jusuf Randy di LPKIA Yogya. Tanah dan bangunan yang dipakai lembaga itu milik orangtua Yanti, sedang perangkat dan fasilitasnya dibeli dengan kredit bank. Untuk orangtua Yanti itu, LPKIA Yogya membayar 5% dari income bruto. "Wajar kalau pemilik tanah dan gedung mendapa bagian," kata Nugroho. Namun, Deddy Toekan tetap merasa bahwa LPKIA Yogya punya ikatan dengan LPKIA Pusat. Ikatan itu berkaitan dengan sejarah kepemimpinan Jusuf Randy, yang membentuk cabang di Kota Pelajar itu. Terhadap Jusuf, misalnya, manajemen baru pimpinan Deddy ini akan memberikan hak pensiun. Apa bentuk penghargaan pensiun itu, Deddy mengaku belum tahu persis. Kalau benar Jusuf akan diberi uang pensiun, masalahnya akan lebih rumit lagi untuk menentukan berapa besarnya. Sebab, besar modal yang ditanam Jusuf simpang-siur. Dalam brosur terbitan LPKIA disebutkan, Jusuf menanamkan uangnya Rp 500 juta pada saat pendirian. Namun, Deddy tak percaya. "Siapa yang bilang Pak Jusuf menginvest segitu," tanya Deddy. Setahu Deddy, aset pertama yang tertanam adalah: 30 komputer Commodore dan 30 TV monitor. Jadi sekitar Rp 60 juta. Perkembangan baru muncul. Jusuf Randy menunjuk Pengacara Mohammad Assegaf dan Hotma Sitompoel untuk mengurus permasalahannya di LPKIA. Sejauh mana wewenang yang diberikan Jusuf kepada kedua pengacara itu, memang belum jelas. Walau begitu, sebagai orang yang diberi kuasa Jusuf Randy, Assegaf menilai, langkah-langkah Deddy Toekan menggantikan manajemen LPKIA secara total dan membentuk manajemen baru dengan memberhentikan Jusuf itu kelewatan. "Ibarat saya mau pergi ke luar negeri dan perusahaan saya titipkan. Lalu, kalau saya pulang, masak saya nggak bisa ketuk pintu ke perusahaan saya lagi. Ya, nggak benar, dong," kata Assegaf. Namun, Deddy berkilah, tak ada kehendak meng-kup pimpinan LPKIA. "Lihat saja surat Jusuf Randy yang ditulis tangan. Siapa yang minta pensiun? Siapa yang menulis no more return? No more interest?" ujar Deddy, bersemangat membela diri. Perjalanan LPKIA ke arah normal agaknya masih panjang. Jusuf Randy sudah di luar tahanan. Semuanya bisa saja berubah.WY, Linda Djalil, Moebanoe Moera, I Made Suarjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini