Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Korban cinta nurbadiyah

Puluhan penduduk desa sungai kuruk tiga, aceh timur mengeroyok 14 anggota keluarga Muhammad Latif & 2 anggota polri, semuanya luka-luka. latif waktu itu menjemput anaknya, nurbadiyah, yang dilarikan rusli.

18 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Sungai Kuruk Tiga, di pesisir Aceh Timur, kini lengang. Hampir semua pemuda dan lelaki dewasa menghilang dari kampung itu. Yang tinggal hanya wanita dan anak-anak -- dengan wajah dicekam ketakutan. "Mereka kabur karena takut ditangkap polisi," kata Kepala Desa, Aliuddin. Tiga puluh tujuh orang lelaki warga desa itu memang diciduk polisi dan kini mendekam di tahanan. Itulah buntut pengeroyokan warga desa itu terhadap keluarga Muhammad Latif, penduduk Desa Rantau Panjang -- sekitar 35 km dari Desa Kuruk Tiga -- yang datang ke desa itu untuk menjemput anak gadisnya, Nurbadiyah, yang dilarikan pemuda dari desa itu, Rusli, 20 tahun. Akibat pengeroyokan itu, selain 14 anggota keluarga Latif terluka, juga dua anggota Polri -- yang mengawal rombongan itu -- terluka parah. Nurbadiyah, 19 tahun, yang dikenal sebagai kembang di desanya, juga tenar di desa-desa sekitarnya sebagai penyanyi orkes "Cado Namonyo". Tak heran kalau berpacaran dengan Rusli, yang berdiam di desa lain. Ternyata, hubungan itu tak disetujui ayah si gadis. "Saya tidak suka Rusli. Pemuda itu suka mabuk, suka minum. Ia tak cocok jadi menantu saya," kata Muhammad Latif kepada TEMPO. Tapi, akibat penolakan Latif itu pula, Nur kabur ke rumah Rusli. Keluarga Latif, pada 3 Februari sore, memutuskan menjemput Nur. Untuk pengamanan, mereka meminta pengawalan empat polisi dari Polsek Karang Baru dan Polsek Seruwy. Malam itu juga dengan sebuah mobil pikap sembilan belas anggota rombongan, menuju rumah Rusli di Desa Kuruk Tiga. Sambutan keluarga Rusli baik-baik saja. Tapi, ketika Nur diajak pulang, gadis itu lagi-lagi menolak. "Nikahkan dulu dengan Rusli, baru aku mau pulang," teriaknya sambil menangis. Tapi para penjemput sudah tak sabar. Nur, walau meronta-ronta, dibopong turun dari rumah panggung itu. Sampai di halaman rumah, ikat pinggang Nur, yang disangka ada guna-gunanya, dilepas. Ternyata, gadis itu melunak. Ia malah berjalan sendiri ke mobil pikap yang menjemputnya. Sekitar pukul 2 dinihari mobil pikap bergerak kembali ke Desa Rantau Panjang. Tapi, baru saja mobil itu melaju sekitar 100 meter, pengemudi kaget karena jalanan di hadapannya penuh rintangan batang pohon kelapa dan tong bekas tempat ikan. Pengemudi pikap mencoba membanting setir. Tapi mobil itu terperosok di parit. Ketika itulah, dari kegelapan malam, muncul puluhan orang bersenjata golok-diduga dipimpin Rusli. "Bunuh ...! Bunuh ...!" teriak mereka. Keempat polisi tadi -- dua di antaranya bersenjata pistol terpaksa lari, menyusul penumpang lainnya. Toh para pengeroyok mengepung mereka. "Kami polisi, jangan kalian bunuh," teriak Bharatu Usman Amin. Tapi kawanan penyerang itu lebih beringas. "Tidak peduli polisi. Nenek polisi pun hantam terus," teriak penyerbu itu. Tembakan peringatan dari seorang anggota polisi itu pun tak mempan. "Boleh saja kalian tembak kami. Tapi awas, peluru pistol kalian hanya dua belas butir. Jumlah kami ratusan," teriak penyerang. Setelah itu, yang berbicara hanyalah sadisme. Hampir semua anggota rombongan itu babak belur. Bahkan dua polisi Bharatu. Usman Amin dan Koptu. Zaman Koto terluka parah dibacok para penyerang. Itu pun belum cukup. Mereka mencabut kuku Koptu. Zaman dengan tang. Hanya Serda. Dalin Bujur dan Serda. Nurmansyah bisa meloloskan diri. Bantuan polisi baru tiba keesokan harinya. Dalam beberapa hari, polisi menangkap 37 orang tersangka. Tapi Rusli dan ketua LKMD setempat, Ibrahim, hingga kini masih buron. Akibat penangkapan itu pula hampir semua lelaki di desa itu kini melarikan diri. "Padahal, penduduk yang tidak bersalah dibebaskan," kata sumber polisi di Polres Aceh Timur. Ada dugaan, pengeroyokan itu bukan cuma soal Nurbadiyah, tapi soal sentimen kepada polisi. Desa itu, konon, dikenal sebagai sarang berandalan -- pemudanya banyak yang residivis. Gara-gara polisi belakangan ini giat memberantas penyelundupan, kabarnya, mata pencarian mereka selama ini sebagai pengangkut barang selundupan itu ikut kena sapu. Sementara itu, Nurbadiyah kini telah kumpul dengan keluarganya. Ia menyesal dan tak menyangka peristiwa itu berakhir tragis. Kini, cintanya kepada Rusli telah luntur. "Saya memilih ayah dan famili, ketimbang Rusli," katanya tersipu-sipu.WY dan Makmun Al Mujahid (Biro Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum