Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kisah si 'nomor satu' dan ...

Sosok jusuf randy yang diduga pernah mempunyai sejumlah perusahaan palsu di jerman barat. ia menggelapkan pajak di jerman & mempunyai utang dengan commerz bank. ia diduga terlibat manipulasi di perumtel.

18 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA memang contoh satu ego dengan ukuran XL. "Emas bagaimanapun tetap emas," begitu katanya ketika dipotret bersama rekan tahanan lainnya di Polres Jakarta Selatan. Jusuf Randy, yang ditahan polisi dan kini dilepas kembali, memang ingin serba menonjol. Prinsip yang dipegangnya: "Nomor satu, atau tidak sama sekali." Kini "Si Nomor Satu" itu, yang jadi warga negara Jerman Barat sejak 19 Agustus 1971, dan bernama Robert Nio atau Nio Tjoe Siang atau Thomas Tamzil dengan panggilan Tompel, disebut-sebut meninggalkan sejumlah utang di negaranya nun jauh di Eropa. Kata Direktur Serse Mabes Polri Brigjen. Koesparmono Irsan kepada TEMPO, "Dia itu menggelapkan pajak di Jerman dan punya utang dengan Commerzbank sana." Dalam siaran pers yang dikeluarkan Dinas Penerangan Polri Jusuf disebutkan berutang pada Commerzbank di Munchengladbach 400.000 DM atau sekitar Rp 400 juta. Utangnya pada kantor pajak setempat sebesar 400 ribu DM. Ia pinjam uang di Commerzbank dengan paspor Indonesia bernomor F 038522, yang berlaku dari tahun 1981 sampai 1983. Ah, Si Tompel. Perjalanannya untuk mukim di Jerman saja menarik. Lepas sekolah menengah di Bandung, pada usia 18 tahun, ia jadi kelasi kapal line luar negeri. Dari Singapura ia ke Jerman, dan menetap di sana dengan bekerja menjadi kuli angkut barang. Lalu jadi loper koran. Kisahnya berubah lagi setelah, dalam pengakuannya, ia diangkat anak oleh seorang pendeta. Akhirnya ia mengawini gadis Jerman, Elisabeth. Ia memang gampang bergaul. Ia suka disko. Menurut seorang bekas temannya di Jerman, Thomas dan Elisabeth pernah dinobatkan sebagai raja dan ratu rock 'n roll. Kelebihan Si Tompel tak cuma itu. Menurut sumber TEMPO di Jerman, ia gemar menolong mahasiswa Indonesia di sana. Bila ada perubahan peraturan untuk orang asing, Jusuf rajin memberitahukannya kepada orang Indonesia. Bahkan bila ada anak Indonesia yang butuh surat referensi dari perusahaan di Jakarta? Jusuf siap membantu. Tentu saja dengan kop surat palsu. "Jusuf juga suka mencarikan pekerjaan," kata sumber itu pula. Kemudian datang masa komputernya. "Ketika tahun 1970-an orang datang ke Jerman untuk belajar komputer, ia sudah kerja di bidang komputer," kata sumber di atas. Tapi sumber ini tak membantah bahwa Jusuf, "suka ngomong gede." Jusuf memang pernah mengaku ber-IQ 149 dan bisa 17 bahasa komputer. Belum ada bukti tentang itu. Lagi pula satu sumber lain punya kisah lain. Jusuf di Jerman sebenarnya, "cuma jualan bumbu dapur," kata sumber itu. seorang pengurus Keluarga Besar Alumnus Jerman Barat di Jakarta. Jualan Jusuf juga rendang dan cabe yang dibeli dari Belanda. Itu di tahun 1974. Nah, sembari jualan bumbu dapur di kiosnya berukuran 3x4 meter itulah Jusuf ikut kursus komputer enam bulan. Kemudian Jusuf rupanya memang pernah bekerja di perusahaan komputer, tapi tidak sebagai manajer seperti yang dicantumkannya dalam brosur Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia-Amerika (LPKIA) yang didirikannya di Jakarta kemudian. Sumber di IBM mengatakan bahwa seorang bernama Robert Nio pernah bekerja di satu kantor IBM di Jerman Barat sebagai system engineer. Selain itu, sebagai usaha sampingan ia jualan bumbu dan tahu. Tapi setahun kemudian, kata sumber tadi, tokonya bubar. Tahu-tahu ia sudah jadi mekelar rumah bekas. Rumah bekas itu dibeli, direnovasi, dan kemudian dijualnya kembali. Sejak itu, bisnis Tompel melonjak. Kisah sumber kita: "Dia didewakan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di sana. Suka ngasih uang anak-anak. Tidak banyak, ya, 25 mark, misalnya. Tapi uang sebegitu bagi mahasiswa Indonesia, yang jauh dari sanak famili, sangat berarti." Maka, nama Thomas jadi beken. Ada udang di balik Tompel? Yang jelas, beberapa sumber mengatakan Jusuf sering menitipkan berkopor-kopor barangnya kepada mahasiswa yang pernah ditolongnya. "Mereka disuruh pulan ke Indonesia, diberi tiket gratis pulang-pergi, serta ditambah uang saku. Siapa tidak senang." kata sumber ini yang pernah nyngking kopor-kopor itu. Apa isinya? "Katanya alat-alat komunikasi." Cerita barang bawaan ini juga dibenarkan sumber TEMPO di Jerman Barat. "Jusuf suka menjanjikan upah 1.000 DM untuk membawa barang-barangnya itu, sekali jalan," katanya. Upah itu dijanjikan akan diberikan bila yang bersangkutan kembali dari Indonesia -- meskipun nyatanya upah itu nihil. "Barang bawaan itu kebanyakan berupa magnetik komputer," kata sumber ini. Sebuah sumber lain, yang tinggal di Munchengladbach tahun 1973 dan mengenal Jusuf secara dekat, punya kisah tambahan. Di sekitar tahun itu, Jusuf dan Elisabeth menempati rumah flat ala "perumnas" di Ahrenerfeld Strasse. "Setelah duitnya banyak, di kota yang sama, Jusuf pindah rumah ke Sternenfeld, sebuah flat yang keren," katanya. Jusuf mulai hidup senang sejak tahun 1977. Mumbulnya kesejahteraan Jusuf, kata sumber ini, berkat kerja samanya dengan adik kandungnya di Indonesia, Boy Tamzil. Jusuf sendiri tak pernah menyebutkan hal itu. Kepada harian Masa Kini pada 28 Februari 1988. Jusuf antara lain membeberkan kisahnya begini: ia jadi semacam leveransir untuk beberapa instansi pemerintah di Amerika dan Afrika, "sehingga uang yang mengalir begitu deras ke kantung saya." Tahun 1983 Jusuf kembali ke Indonesia. Tujuan yang paling utama, kalau kita dengar katanya, bukan untuk menipu, tapi untuk melawan penipuan. "Saya melihat bangsa saya kok ditipu terus-terusan. Saya katakan ditipu karena antara lain mesin-mesin yang di Eropa dan Amerika sudah out of model, malah diberikan ke Indonesia untuk didirikan pabnknya," kata Jusuf kepada Masa Kini. Di Indonesia ia sukses dengan LPKIA. Meskipun ada stafnya yang menjulukinya sebagai "Raja Tega." Artinya, suka memecat. Jusuf memang menyatakan punya satu prinsip bisnis: "Sukses itu hanya untuk mereka yang brutal." Tentu saja kisah Jusuf harus diteliti. Benarkah bisnis Jusuf membubung karena ia jadi leveransir instansi pemerintah di Amerika dan Afrika? Sumber TEMPO yang mengaku pernah bekerja di perusahaan adiknya, Boy Tamzil di Fa Marathon, mencibirkan bibir. "Jusuf dan Boy sukses karena kelicikannya dengan Perumtel," katanya. Benar atau tidak tuduhan itu, Jaksa Agung Sukarton dua pekan lalu mengungkapkan adanya kasus manipulasi di Perumtel Pusat. Berkasnya sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Bandung. Di situ disebutkan pemerintah dirugikan sekitar Rp 2,3 milyar atas 34 kontrak pengadaan barang pada 1979-1981. Sebagai tertuduh adalah dua bekas Direktur Perlengkapan Perumtel, Sumardi dan I Gusti Ngurah Oka, serta Direktur Fa. Marathon, Boy Tamzil. Dalam berkas acara pemeriksaan, disebutkan Fa. Marathon telah jadi rekanan Perumtel sejak 1977. Tapi, dalam tuduhan pemerintah, baru pada periode 1979-1981 terungkap bahwa Boy Tamzil "main" dengan dua Direktur Perlengkapan Perumtel. Mesin fotokopi merk Marathon atau mesin penghancur kertas yang disebut buatan pabrik Giessen di Jerman Barat ternyata -- menurut tuduhan - pabriknya tak ada. Begitu juga mesin stensil DF Rex Rotary. Merk itu hanya tempelan. Tuduhan menyebutkan pula bahwa rekan bisnis Fa. Marathon di Jerman secara tak langsung menyangkut nama Jusuf Randy. Misalnya perusahaan Giesen Buro Und Industriemaschinen Export Import oHG. Setelah diselidiki, ternyata perusahaan itu dimiliki Joseph Giesen, Elisabeth Nio, dan Nio Tjoe Siang alias Jusuf Randy (kakak Boy Tamzil). Dua nama sebelumnya adalah mertua dan istri Jusuf. Artinya, masih ada hubungan keluarga dengan Boy Tamzil. Selain perusahaan itu, Boy juga berhubungan dengan perusahaan Rex Rotary Head Of fice, Speed Wrap Wire Wrapping, Hewlett Packard Gmbh, Oldelft, dan Wilhelm Dreusicke & Co. Perusahaan-perusahaan itu ternyata fiktif. Tak aneh bila proforma invoice -- harga yang dikeluarkan pabrik dan masih bisa ditawar yang disampaikan ke Perumtel juga palsu. Dengan dokumen palsu itu, harga bisa dipermainkan hingga dua kali lipat. Contoh: mesin stensil DF Rex Rotary eks Jerman tipe D.490 Electronix, termasuk perlengkapannya, dijual ke Perumtel dengan harga Rp 4,64 juta. Padahal, barang yang sama dijual oleh Java Store di Bandung -- toko milik ayah si Boy, Awat Tamzil -- Rp 2,92 juta. Contoh lain: mesin stensil Encle Folio tipe 1100 S buatan Jerman Barat, termasuk perlengkapannya, dijual ke Parumtel Rp 4,517 juta. Di toko Java Store, merk sama buatan Denmark dijual Rp 1,67 juta. Begitu juga untuk mesin perekam sheet stensil. Barang ini dijual Fa. Marathon ke Perumtel Rp 4,5 juta, sedangkan Java Store menjualnya kepada umum Rp 1,89 juta. Dengan begitu, dari nilai kontrak Rp 3,964 milyar, Boy Tamzil dituduh mengantungi biaya kemahalan itu Rp 2,388 milyar. Dalam perkara ini, akan diajukan 31 orang saksi, termasuk di antaranya bekas Direktur Utama Perumtel Ir. Willy Munandir. Jusuf Randy juga disinggung-singgung terlibat manipulasi itu. Sejauh mana keterlibatannya keduanya, Jaksa Agung masih belum mau mengungkap. "Saya harus menangani satu per satu. Adapun nantinya ada keterkaitan, ya, kita lihat lagi," katanya. Dari pelacakan wartawan TEMPO di Jerman, perusahaan Giesen itu ternyata punya banyak nama. Misalnya, ada Giesen Office And Industrial Equipment Supplies -- juga di Kota Munchengladbach. Ada pula Giesen Buro Technik Computer Systeme Borobedarf. Perusahaan-perusahaan itu punya kop surat berlainan, walau ditandatangani oleh satu orang yang bernama Giesen. Yang menarik: paling sedikit ada 3-4 tanda tangan Giesen yang berbeda. Dari tiga perusahaan Giesen itu, hanya Giesen Buro Industriemaschinen Export Import oHG (milik Jusuf, mertua, dan istrinya) saja yang teregistrasi. Perusahaan ini disebutkan bergerak dalam ekspor alat-alat telekomunikasi ke Asia, terutama ke Indonesia itu. Omsetnya di tahun 1981 tercatat sekitar Rp 10 milyar. Tapi September 1984 usaha ini bubar. Hal ini terjdi karena Jusuf pindah ke Bandung, Maret 1983. Selain itu, Joseph Giesen telah meninggal dunia -- berdasarkan surat yang dikirim oleh Nio Soen Hoat (nama ini diduga Boy Tamzil). Lain lagi mengenai perusahaan Speed Wrap Wire Wrapping -- juga penyuplai barang-barang Perumtel tersebut -- yang punya kop surat beralamat Ahrenerfeld Gladbach 2 telepon 02-166-88000. Ternyata, Kota Gladbach tidak ada, yang ada adalah Munchengladbach. Anehnya, perusahaan ini punya nomor telpon sama dengan milik perusahaan Giesen. Alhasil, perusahaan ini memang fiktif. Kantor Rex Rotary Head Office, yang disebut rekan bisnis Boy, ternyata juga palsu. Memang benarada perusahaan Rex Rotary di 61 Elsenheimstr 8000 Munchen 21. Perusahaan itu didirikan pada 1921 dengan direktur Anthony C. Sharland, bergerak di bidang penjualan alat dan mesin kantor. Menurut pihak kepolisian di Munchengladbach, perusahaan Rex Rotary Head Office itu tidak terdaftar di IHK (Kadin Jerman Barat). Anehnya, lagi-lagi, perusahaan ini beralamat sama dengan perusahaan Giesen Office And Industrial Equipment Supplies di Am Sternfeld 52 dengan nomor telepon 021-66-88000. Selain ada perusahaan fiktif, ada pula perusahaan yang dicatut, yaitu Hewlett Packard. Hewlett asli berkantor di Berliner Str 17 6000 Frankfurt. Tapi yang gadungan beralamat di Berner Strase 117. Di samping itu, Hewlett asli selalu mencantumkan penawaran (Angebot NR) dengan huruf, baru angka. Dan jika melakukan penawaran barang selalu dengan DM bukan dolar AS. Sedangkan yang palsu mencantumkan Angebot NR dengan huruf, baru disusul angka, dan penawaran harga dengan dolar AS. Berkat pemalsuan ini, harga signal generator atas dasar daftar harga pada Februari 1979 dari Hewlett asli adalah 16.124 DM (sekitar US$ 8.400). Sedang pada formulir Hewlett palsu mencapai US$ 1.600, atau dinaikkan sekitar US$ 3.000. Di hadapan pengadilan Hamburg, seorang staf Hewlett asli memberi kesaksian, "Tidak pernah menemukan satu penawaran pun ke Firma Marathon di Indonesia." Oldelft asli juga berteriak perusahaannya dipalsukan. Seorang pimpinan perusahaan Oldelft asli memberi kesaksian bahwa invoice yang diperlihatkan kepadanya palsu. Penandatangan pada invoice itu tak dikenal. "Biaya airfreight jelas dinaikkan sedikitnya 10 kali untuk mengiriman barang itu." Sementara itu, pihak Kadin Jerman Barat yang dihubungi TEMPO dengan tegas mengatakan bahwa mesin fotokopi Marathon bukan buatan Jerman. Kesimpulan ini diambil setelah pihaknya menghubungi percetakan Info Markt di Cacilien Allee 76, 6000 Dusseldorf. Juga dari buku Ratgeber Kopierer disebutkan, mesin fotokopi itu tak ada. Atas tuduhan itu, Direktur Fa. Marathon Boy Tamzil, yang dua pekan lalu dinyatakan buron oleh Jaksa Agung Sukarton, pernah membantahnya. Mesin fotokopi Marathon itu milik Joseph Giesen. Pabrik Giesen itu, katanya, ada di Munchengladbach, Jerman Barat. Tapi perusahaan itu bangkrut pada 1984. "Semuanya asli, tak ada yang palsu atau dipalsukan," kata Boy Tamzil, 39 tahun, kepada TEMPO (TEMPO, 10 September 1988). Berkait dengan kaburnya Boy Tamzil, pihak Kejaksaan Tinggi juga menyita dua buah rumah milik Boy Tamzil di Jalan Naripan Nomor 44 (gabungan dua persil dengan nomor lama 42) dan Nomor 51 Bandung. Selain itu? juga disita rumah dan tanah seluas 1.702 meter milik Awat Tamzil di Geger Kalong, Bandung. Penyitaan ini? kata Humas Kejati Ja-Bar, Azhar Harun, karena kaitannya dengan Fa. Marathon. Merasa bahwa rumah itu dibeli dengan hasil keringatnya bekerja selama 60 tahun, plus tambahan penjualan barang-barang warisan orangtuanya, Awat mempraperadilan Kejati lewat pengacaranya, Dullah Sudarso. Tapi Selasa pekan lalu praperadilan itu digugurkan oleh Hakim Zaid Sungkar di Pengadilan Negeri Bandung. Ke mana Boy Tamzil kabur? Itulah yang tak diketahui. Ayah tiga anak berpostur tinggi besar -- tinggi sekitar 175 sentimeter -- berkulit putih dan berkaca mata itu sudah sebulan lebih tak pernah muncul di rumahnya. Istrinya, Joyce, juga tak mengetahuinya. Diduga, Boy sudah berada di luar negeri dan kemungkinan ada di Jerman Barat. Sebab, menurut sumber TEMPO, Boy Tamzil dan Joyce mempunyai rekening di Commerzbank di Munchengladbach. Dugaan adanya keterlibatan Boy dengan Jusuf pada kasus Marathon tak diragukan oleh sumber TEMPO. Sumber yang pernah bekerja pada Boy Tamzil ini tahu persis bagaimana Jusuf Randy terlibat, juga beberapa pejabat tinggi Perumtel periode 1979-1981 itu. Cara Boy Tamzil mengikat para pejabat tu, katanya, macam-macam. Misalnya, Boy mau saja mengantarkan pacar seorang pejabat Perumtel ke Frankfrut, hanya untuk berobat. Pejabat itu juga sering berkunjung ke rumah Boy, katanya. Saking dekatnya Boy dengan orang-orang Perumtel, teleponnya ke Jerman bisa bebas pulsa. Yang lebih seru adalah cara pengadaan barang kebutuhan di Perumtel. Mesin fotokopi dan mesin stensil yang dibilang buatan Jerman merk Marathon, kata bekas karyawannya, adalah mesin fotokopi merk Sharp. "Semua tulisan Jepang diganti dengan stiker tulisan Jerman. Bahkan dosnya, master box-nya, khusus bikin baru dan selalu buru-buru diganti," katanya. Kelihaian lain: agar keterkaitan Perumtel dengan Fa. Marathon -- sebagai penyuplai barang -- tetap ada, Boy punya cara: ia mengupah orang untuk merusakkan mesin yang telah dipakai Perumtel itu. Dengan begitu, operator khusus dari Fa. Marathonlah nantinya yang memperbaiki. "Maksudnya agar Fa. Marathon bisa unjuk gigi bahwa mesin rusak itu tak bisa dipakai tanpa onderdil khusus miliknya." Pernah, suatu kali, teknisi Perumtel berhasil memperbaiki fotokopi rusak tersebut. Tapi Boy tak kehabisan akal. Ia mengupah oknum Perumtel untuk merusakkannya lagi. Dengan begitu, untuk pengadaan fotokopi Marathon dan servisnya saja firma Boy Tamzil bisa beromset Rp 6 milyar setahun. Tentang Joseph Giesen, mertua Jusuf Randy, sumber ini menyebut sebagai orang Jerman "kampung" yang tak tahu apa-apa. Termasuk pemanfaatan namanya oleh Jusuf Randy. "Jadi, Giesen itu tak lain, ya, Jusuf Randy. Dia otaknya. Kantornya, ya, di rumahnya itulah! Bahkan Jusuf Randylah yang sengaja membuat kop-kop surat palsu. Dicetak khusus di Jerman, agar sulit diketahui," kata sumber TEMPO pula. Jika semua itu terbukti benar Republik Indoresia memang kena kibul besar. Tapi bukan cuma republik kita. Jusuf Randy juga tercatat mengambil kredit pada Commerzbank 800.000 DM. Hanya saja sebelum pinjaman itu lunas, Maret 1983, Nio Tjoe Siang pindah ke Jalan Kelenteng 14, Bandung. Alamat kepindahannya ini tercatat pada kantor kependudukan di Jerman. Namun, pihak Commerzbank Munchengladbach yang memburu ke Bandung menghadapi kenyataan lain. Nio Tjoe Siang alias Robert Nio tak ditemukan. Pada alamat tersebut tinggal seorang perempuan. Commerzbank terkecoh. Untuk mengatasi kredit macet itu rumah Jusuf seluas 200 m2 yang berdinding marmer hitam itu disita dan kemudian dilelang, laku 200 ribu DM. Dari perhitungan yang ada, kata sumber di Jerman, Jusuf masih berutang 400 ribu DM. Sayangnya, pihak Commerzbank yang dihubungi TEMPO tak mau menjawab. "Peraturan bank melarang kami memberitahukan siapa-siapa klien kami, kecuali pihak Kejaksaan Jerman Barat yang memintanya," kata Direktur Bagian Kredit Commerzbank, Wohrman. Direktur Bundeskriminalamt yang mengurus persoalan kriminal, Dr. Heinrich Boge, yang ditanya mengenai kejahatan Nio Tioe Siang, tak mau mengomentari. "Itu masalah khusus yang tak bisa saya komentari," katanya. Humas Der Polizeiprasident di Munchengladbcah, Ulrich Palluck, hanya bisa menduga bahwa Nio Tjoe Siang juga menggunakan nama-nama lain di Jerman Barat. Tapi sejauh mana nama itu dipakai untuk tindak pidana, Palluck belum tahu. "Dalam catatan kami, orang tersebut telah meninggalkan Jerman Barat lima tahun silam, dan tidak mempunyai catatan tindak kriminal di Jerman Barat," katanya. Dari cerita ini tampaknya Jusuf Randy akan lepas dari jerat polisi Jerman Barat. Tapi siapa tahu, Jusuf Randy akan "terjebak" di sini. Kalau terbukti.Widi Yarmanto, Linda Djalil, Moebanoe Moera, Muchsin Lubis, Tommy Tamtomo, Sapta Adiguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum