LIDAH memang tak bertulang. Karena itu, tak ada orang yang tak pernah berbohong. Namun, di samping bohong ringan sehari-hari, ada bohong yang gawat dan parah. Dan tak bisa dikendalikan. Kebohongan jenis ini, kata para psikiater, adalah bagian dari kelainan kepribadian. Beberapa pekan lalu, pecah berita besar tentang seorang pengusaha kursus komputer, yang terbukti adalah pembual besar. Tokoh terkenal ini memalsukan hampir seala hal. Mulai dari latar belakang pendidikan dan asal-usulnya yang sangat fantastis, sampai kepada kariernya di pelbagai perusahaan asing terkenal di mancanegara. Publikasi itu begitu nekat, tapi juga begitu meyakinkan. Walhasil, rangkaian kebohongan itu telah menjadi dasar penipuan besar-besaran. Tak kurang dramatisnya adalah kebohongan yang dilakukan seorang wanita -- seperti yang pekan-pekan terakhir ini disidangkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia dinilai tidak layak membesarkan anaknya, karena dianggap pembohong besar. Setahun setelah bercerai, bekas suaminya mengajukan gugatan agar ia melepaskan hak perwalian atas anaknya, yang kini berusia dua tahun. Adapun surat keterangan psikiater yang dilampirkan pada gugatan itu memberatkan. Ia disebutkan punya kelainan kepribadian. Karena itu, selain ia tak pantas membesarkan anak, kepribadian menyimpang ini dianggap sebagai penyebab hancurnya perkawinan mereka. Syahdan, pasangan itu menikah pada tahun 1985 -- nyaris tanpa melalui masa pacaran. Calon suami, seorang sarjana lulusan luar negeri, tidak menyangsikan kondisi sosial calon istrinya. Ia yakin, wanita yang akan dinikahinya itu wanita baik-baik. Kurang apa lagi, ia seorang sarjana tekstil dan anak pejabat direktorat pajak. Namun, perkawinan itu ternyata penuh sengketa. Si suami, setahun setelah menikah, menyadari bahwa istrinya pembohong yang parah. Wanita itu berdusta nyaris tentang apa saja. Munculnya anak pada perkawinan itu, Februari 1987, tidak membuahkan kedamaian. Malah sebaliknya. Si suami, yang belakangan menjadi giat menyelidik sana-sini, menemukan kesarjanaan istrinya ternyata sebuah bual besar. Dan pemalsuan itu tidak tanggung-tanggung. Di samping ijazah palsu, ada pula sebuah skripsi yang juga mencantumkan cap institut dan tanda tangan pembimbing. Entah bagaimana pemalsuan ini dilakukan. Pihak perguruan tinggi yang bersangkutan menyatakan tidak tahu-menahu. Dijelaskan juga bahwa si istri itu mahasiswa drop out, yang cuma dua tahun mengikuti kuliah. Lima bulan setelah ijazah palsu terbongkar, si suami memutuskan untuk menceraikan istrinya. Seberapa parah kebohongan si istri ? "Kelainan patologis ini sulit sembuh," jawab psikiater yang telah lama dikonsul untuk merawatnya. "Wanita itu berasal dari keluarga yang kacau balau." Ayahnya seorang pejabat, yang sejak usia relatif muda sudah memegang posisi yang sangat penting. Si ayah yang terbilang kaya sering meninggalkan rumah dan hidup berpindah-pindah dari satu hotel ke hotel lain. Oleh ibunya si anak diperalat untuk meminta uang, melalul telepon atau datang ke hotel. "Saya kira, sejak itu ia mulai belajar berbohong, mula-mula untuk mendapatkan uang," ucap psikiater itu. Namun, menurut pakar ini, kebiasaan berbohong itu hanya sebagian dari kerusakan kepribadian yang kompleks. "Yang lebih mempengaruhi adalah rusaknya hubungan kekeluargaan." Catatan pengadilan memang menunjukkan, keluarga si bekas istri itu penuh dengan sengketa dan perkelahian. Terjadi pertengkaran antarsaudara, perkelahian antara anak lelaki dan ayahnya, sementara sang ibu tak mampu mengendalikan anak-anaknya. Seorang anak wanita dalam keluarga itu hamil di luar nikah, sementara anak lelakinya juga terpaksa dikawinkan karena menghamili pacarnya. Psikiater ternama dr. Dadang Hawari membenarkan, "Kebiasaan berbohong bisa berpangkal pada masalah keluarga." Keluarga yang harusnya menjadi tumpuan perkembangan jiwa anak, karena berbagai hal, mengalami disfungsi. Dari situ, kata Dadang, bangkit kepribadian antisosial yang manifestasinya antara lain kebiasaan berbohong, menipu, bahkan kecenderungan melakukan tindakan kriminal. "Menurut penelitian," kata Dadang lebih lanjut, "sudah terbukti buruknya hubungan orangtua dengan anak sangat memungkinkan tumbuhnya kepribadian antisosial ini." Ahli posikologi sosial, Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, berpendapat bahwa dewasa ini banyak anak yang berkembang jadi pribadi-pribadi antisosial. "Khususnya pada keluarga di mana ayahnya menyalahgunakan kekuasaan atau melakukan manipulasi untuk mengejar keuntungan materi." Dalam lingkungan yang korup semacam ini, menurut psikolog itu, rasa tanggung jawab mengalami erosi, sementara kebohongan malah menjadi hal biasa. Dan anak-anak ini tidak bisa mengembangkan basic trust, yakin kepercayaan pada kebaikan orang lain." Seorang psikolog di Semarang yang tak mau disebutkan namanya mengemukakan sebuah contoh lain. Seorang pasiennya berumur 20 tahun, sebut saja Marni, juga menderita dusta yang parah. Marni datang untuk konsultasi, setelah mengalami depresi karena terjebak kebohongannya sendiri. Di lingkungan pondokannya, Marni yang mahasiswa mengaku seorang keturunan ningrat. Ayahnya, yang sudah almarhum, seorang pengusaha kaya di kota lain. Kini perusahaan keluarga, yang tentunya digambarkan sangat maju dan besar, dikelola ibunya, seorang wanita karier. Tapi siapa sebenarnya Marni? Gadis ini ternyata anak seorang pejabat, tapi bukan anak resmi. Ibu Marni adalah wanita desa yang menjadi peliharaan ayahnya. Sang ayah, pejabat yang memang kaya. Dengan wewenang perizinan yang ada di tangannya ayah itu bisa membuka usaha sampingan tidak resmi, yaitu sebuah pelacuran. "Marni," kata psikolog yang merawatnya, "berdusta bukan cuma karena ingin menutupi aibnya." Ia berbohong sejak kecil, untuk menarik perhatian kedua orangtuanya. Suatu ketika ia berhasil. Sejak itu bohong menjadi alat ampuh baginya, dan Marni tak segan-segan meningkatkan kadar kebohongannya. Perhatian memang harus didapatkannya dengan susah payah. Di samping itu, dusta baginya adalah hal biasa. Ibunya, misalnya, tahu bahwa ayahnya punya istri resmi dan sejumlah peliharaan. Namun, ketika sang ayah menyangkal, kebohongan tak pernah digali. Marni juga tahu, gaji ayahnya tidak besar. Tapi ia tak pernah mencoba mengungkit-ungkit, dari mana uang berlimpah yang dinikmatinya. Ayahnya berbohong tentang hal itu, dan Marni tak peduli. "Asal tetap dikasih uang saja," katanya selalu. Psikiater terkenal Mikail Bharya menyatakan, berbohong adalah bagian dari kepribadian psikopatik. Kebohongan, misalnya, bisa merupakan alat bagi pribadi-pribadi yang histeris, juga pribadi yang narcissistic (sangat cinta pada diri sendiri). Pribadi semacam inilah yang demi penghargaan menjual dusta-dusta yang fantastis -- biasanya tentang latar belakang mereka. Mengaku sarjana, malah mengaku mempunyai IQ tinggi, mengaku kaya raya, dan sebagainya. Kebohongan itu sendiri, menurut Bharya, sebenarnya tidak berbahaya. "Namanya saja membual." Yang mungkin berbahaya ialah perilaku kepribadian psikopatik di baliknya. Namun, Bharya tak sependapat bahwa bohong tak bisa disembuhkan. "Saya tidak yakin," kata psikiater itu kepada Yudhi Soeryoatmojo dari TEMPO. Bharya berkisah, ia pernah mempunyai pasien, seorang anak yang juga punya kebiasaan berbohong. Penyebabnya sudah tegas patologis. Kerusakan neurologis di otak, karena ibunya pernah berusaha menggugurkannya ketika bayi itu masih dalam kandungan. "Anak itu bisa sembuh," kata Bharya. "Saya sendiri jadi ragu dengan istilah pembohong patologis itu. Dalam standar penyakit jiwa di mana pun, saya tidak menemukan kategori itu." Psikiater Prof. Daldiri Mangoendiwiryo dari Surabaya sependapat dengan Bharya, kelainan jiwa yang mendasari perilaku bohong, bisa disembuhkan. Apalagi bila latar belakangnya sudah jelas psikologis. Karena itu, ia sangat tidak setuju bila seorang istri yang diketahui tegas mengalami kelainan mental, menurut diagnosa psikiatris, lalu disisihkan. Bahkan disudutkan di pengadilan. "Dia sakit, dia justru perlu pertolongan seorang suami," katanya "Jangan dia ditinggalkan." Jim Supangkat, Sri Pudyastuti (JAkarta), Naik Ismiani (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini