KALAU semakin banyak remaja yang terjangkit penyakit kelamin, apakah itu cukup diartikan sebagai meluasnya kebebasan seks? Tidak, tidak semata-mata itu. Banyaknya penderita sifilis di kalangan remaja harus juga ditafsirkan sebagai kurangnya pengetahuan mereka tentang seks. Dan dalam konteks ini, kurangnya pcngetahuan bisa berakibat fatal. Ini terungkap dari penelitian para ahli penyakit kelamin RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tidak kurang dari 648 remaja yang mengalami masalah seks, tapi cuma 16,2% di antaranya yang tahu seluk beluk seks. Selebihnya, mereka itu bagaikan prajurit yang diterjunkan ke medan perang tanpa senjata. Mereka berjibaku di sana, di kancah seks. Tiga ahli, dr. Hartuti A., dr. Andrys D., dan dr. Syaiful Fahmi Daili, yang melakukan penelitian itu berpendapat, masyarakat kita cenderung tidak terbuka mengenai seks. Akibatnya, remaja beroleh informasi yang sangat minimal tentang seks dan seluk beluknya. Penelitian ketiga ahli itu menunjukkan, dari kelompok yang tahu (16,2%), hanya 2,3% yang mendapat pengetahuan seks dari orangtua. Sebagian besar (61,5%) mendapatkannya darl media massa, yang tentu tidak lengkap. Berangkat dari kenyataan ini, para ahli penyakit kelamin awal pekan lalu menyelenggarakan simposium. Terbuka untuk umum, pertemuan itu, menurut ketua penyelenggaranya, dr. Sularsito, adalah bagian dari upaya menekan jumlah penderita penyakit kelamin "Bila mereka tahu akibat buruk penyakit ini, mereka akan menghindarinya," kata Sularsito. Diskusi yang bertema "Remaja dan Penyakit Hubunan Seksual" dan diselenggarakan Ahad pekan silam di Gedung Krida Bhakti, Sekretariat Negara, Jakarta, ternyata menarik perhatian banyak orang. Selain para ahli, nampak hadir sejumlah pelajar dan orangtua mereka. Menurut para ahli, secara umum saja sulit memperkirakan angka penderita penyakit kelamin. Apalagi secara lebih khusus di kalangan remaja. "Laporan-laporan yang masuk tidak akan bisa menggambarkan keadaan yang sebenarnya," kata pembicara dr. Kosasih. Kesulitan ini antara lain karena belum adanya undang-undang yang mewajibkan para penderita untuk melapor. Karena tidak adanya kewajiban melapor ditambah lagi kurangnya pengetahuan tentang seks -- pola penyebaran penyakit kelamin jadi sulit dikendalikan. "Para wanita yang tidak mengetahui penyakitnya, dan karena itu tidak berobat, tanpa sadar menyebarluaskan penyakit kelamin," kata Kosasih. "Melalui pergaulan seks yang terlalu bebas tentunya." Biang keruwetan memang, ya, kebebasan seks. Pembicara Fahmi Daili memperkirakan, hubungan seks pranikah di kalangan wanita remaja kini cenderung meningkat. Ada alasan-alasan medis di balik kenyataan ini. Masa aktif secara seksual sebelum menikah di kalangan wanita, kata ahli itu, menjadi semakin panjang. "Sekarang ini wanita mengalami menstruasi pertama pada usia lebih dini dibandingkan wanita generasi pendahulunya." Di sisi lain, kata ahli itu lagi, "ada kecenderungan untuk menikah pada usia relatif lebih tua." Maka, terdapat rentang waktu yang cukup panjang bagi seorang wanita untuk menunggu pemuasan dorongan seks melalui perkawinan. Dorongan seks yang muncul berulang-ulang pada masa panjang ini sangat potensial untuk memikat mereka agar melakukan hubungan seks pranikah. Kesediaan wanita melakukan hal itu secara langsung mempengaruhi meningkatnya hubungan seks di luar nikah. Lalu bagaimana? "Gonta-ganti pasangan dalam hubungan seks ini umumnya lebih tinggi," ujar Fahmi. "Dan gejala gonta-ganti ini berkaitan langsung dengan penyebaran, penyakit kelamin." Ahli lainnya, Jubianto Judanarso, mengamati secara khusus perilaku seksual remaja pria. Ia khususnya meneliti 100 pria yang berusia 15-29 tahun. Semuanya penderita penyakit kelamin dan pasien tetap Bagian Kulit dan Kelamin RS Cipto Mangunkusumo. Judanarso mempertanyakan, pada usia berapakah para remaia itu melakukan hubungan seks untuk pertama kalinya (coitarche). Ia juga meneliti, seberapa jauh para penderita itu tahu seluk beluk dan akibat penyakit kelamin. Ternyata, rata-rata remaja itu melakukan hubungan seks untuk pertama kalinya pada usia antara 17 dan 20 tahun. Hampir semua mengaku mengalami dorongan seks dan mimpi basah pada usia 14 tahun. Sebagian langsung mencobanya pada usia 15 tahun, karena dorongan ingin tahu. Namun, yang terbanyak masih bisa menahannya sampai usia 20 tahun (lihat grafik). Sebagian besar (88%) mengaku terdorong mencoba karena pornografi. Dengan siapa mereka melakukan coitarche? Hanya 38% yang melakukannya dengan teman sebaya. Selebihnya (79%) dengan pelacur. Hubungan dengan pelacur ini otomatis memperbesar kemungkinan mendapat -- juga menyebarkan -- penyakit kelamin. Menganggap onani sebagai hal yang tabu ternyata punya pengaruh juga pada kemungkinan terkena penyakit kelamin. "Frekuensi masturbasi relatif sangat kecil pada para penderita ini, bila dibandingkan dengan remaja pria yang sehat," kata Judanarso. Dari jawaban mereka, terungkap bahwa sebagian besar (72%) mempunyai tafsiran yang salah tentang masturbasi. Mereka berpendapat, masturbasi itu berbahaya bagi kesehatan. "Padahal, masturbasi adalah upaya alamiah melepas dorongan seks yang aman dan tidak mengandung risiko terkena penyakit," kata ahli penyakit kulit dan kelamin itu. "Citra masturbasi pada masyarakat kita memang masih harus diluruskan." Sebaliknya mereka berpendapat, daripada onani lebih baik melacur. Sementara itu, para remaja itu sama sekali tidak menyadari bahaya melacur dan risiko terjangkit penyakit kelamin. Kendati semua tahu apa sifilis, hanya 10% mengetahui seluk beluk penyakit ini. Sebagian besar (63%) juga tahu apa kencing nanah atau gonore (GO), tapi cuma separuh yang tahu gejala klinisnya. Dan yang mengejutkan, hanya 21% yang mengetahui bahwa penyakit kelamin bisa mempengaruhi kehamilan, mengakibatkan kebutaan pada bayi, bahkan cacat pada keturunan.Jim Supangkat, Gunung Sardjono (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini