SEBUAH lembaga, The Veteran Administration, selama empat tahun meneliti 3,1 juta veteran Perang Vietnam. Kesimpulannya: satu dari tiga bekas tentara itu menderita kelainan mental (cripping disorder). Gejala ini merupakan bayangan perang yang terus-menerus menghantui para veteran itu, yang sering juga disebut sebagai shell shock (guncangan roket) atau combat stress (tekanan perang). "Angka ini mengejutkan," ucap Senator Alan Cranston, ketua komite urusan veteran. Dan yang lebih mengejutkan lagi, veteran yang sudah dan sedang menjalani pengobatan selama ini baru 70.000 orang, sebagian malah masih tercatat dalam daftar tunggu untuk memperoleh pemeriksaan. Tanpa pemeriksaan serius, menurut seorang ahli, trauma mereka akan berlarut-larut, termanifestasi dalam kecanduan obat bius, alkohol tindak kekerasan, bunuh diri, dan hidup sebagai gelandangan. Tapi beberapa bulan terakhir ini, sejumlah veteran mencoba untuk mengorganisasikan perjalanan napak tilas ke Vietnam. Ada apa? Mereka berpendapat, perjalanan itu perlu sebagai satu terapi penyembuhan. Dan Rabu pekan lalu, untuk pertama kalinya, delapan orang veteran berangkat ke Vietnam. Rencananya, mereka akan menelusuri daerah-daerah bekas pertempuran. Gangguan mental yang diderita kedelapan veteran ini -- dalam pemeriksaan oleh Pusat Pengobatan Veteran di Tacoma -- muncul bagaikan bayangan "setan" gentayangan. Seorang di antaranya, merasa tiap kali tidur dengan pistol kaliber 38, yang penuh berisi pelor di mulutnya. Yang lain mengaku tak bisa merayakan Natal tanpa pikirannya melayang kembali pada kejadian di Vietnam, ketika pada suatu hati dengan terpaksa ia membunuh seorang anak perempuan. Umumnya para veteran itu didiagnosa sebagai pasien yang menderita post-traumatic stress syndrome, gejala yang baru resmi dikenal oleh psikiater Amerika pada tahun 1980. Rata-rata penderita itu memiliki kenangan yang mengerikan dari medan peperangan. Memori buruk ini telah membawa mereka ke perilaku yang cenderung menyukai kekerasan, obat bius, alkohol, kecenderungan ingin bunuh diri, dengan segala mimpi-mimpi buruk yang terus hinggap selagi tidur. "Semuanya ini tak pernah membuat kami bisa sembuh," ujar Bill Koutrouba, 46 tahun, veteran yang pernah bertugas sampai tiga kali di Vietnam sebagai tim kesehatan. "Saya pernah mencoba bunuh diri. Saya hanya ingin menemukan cara terbaik untuk hidup, dengan segala kenangan perang yang saya miliki sekarang ini. Dan trip ke Vietnam ini akan bisa membantu," lanjutnya begitu yakin. Lantas apa yang diharapkan dari Vietnam, negeri yang tidak pernah dilihatnya lagi selama dua dekade ini? Sebagian di antara veteran itu menjawab dengan penuh semangat tentang keinginan untuk melihat anak-anak, daun-daun hijau yang karena peperangan sempat rusak. "Saya menyukai negeri itu, orang-orangnya, bahkan juga Vietkong," kata Mary Branham, 44 tahun, seorang bekas perawat militer. "Buat saya, perjalanan ini merupakan sebuah kesempatan melihat negeri itu dalam keadaan tidak perang, dan mengucapkan selamat tinggal untuk kawan-kawan saya yang sudah meninggal di sana." Ms. Branham, mulanya tak ambil pusing dengan persoalan perang, sampai ia pensiun setelah bekerja 20 tahun di sebuah rumah sakit swasta. Tapi anehnya, baru setelah pensiun, tiba-tiba saja memorinya di Vietnam, 1966 -- ketika bertugas di kesatuan 93 rumah sakit darurat, di Long Binh menyebabkan dirinya sakit secara fisik. "Ketika di Vietrlam, saya pernah lupa membawa peralatan. Dan karenanya orang-orang pada mati di sekeliling saya. Selama ini tak pernah ada waktu untuk merenungkan kejadian itu, karena saya sibuk dengan pekerjaan. Sekarang, saat saya pensiun, bayang-bayang kejadian itu tiba-tiba datang kembali," ucap Ms. Branham, memelas. Ia juga merasa, persepsi perang antara wanita dan pria berbeda. "Bagi kaum kami, peperangan adalah trauma dan rasa bersalah. Kami tak melihat sesuatu yang kami perbuat itu benar. Kami hanya melihat apa yang kami lakukan itu salah," ujar Branham penuh penyesalan. Tapi ia tidak yakin bahwa lawatan ke Vietnam akan bisa menghilangkan trauma perang. Grup pertama yang sudah berangkat itu didampingi dua orang dokter perawat, termasuk Raymond Scurfield, direktur program pengobatan penderita stres dari American Lake, satu dari 89 program serupa di AS yang merawat veteran yang terkena gangguan mental. "Bagi sebagian dari mereka, trip ini akan membukakan banyak memori yang selama ini tersimpan, sementara bagi lainnya, trip ini akan mengakhiri segalanya," ujar Dokter Scurfield. Cara pengobatan dengan langsung menghadapkan penderita kepada behas pertempuran, tempat mereka mendapat trauma, menurut Scurfield, bukan tak mengandung risiko. Tapi terapi langsung ke sumber trauma telah muncul sebagai salah satu pengobatan yang paling berhasil, yang selama ini dilakukan melalui film atau simulasi. "Semua memori itu telah beku di benak para vetaran itu dalam perjalanan waktu," ujar Scurfield lagi, "dan dengan pergi ke Vietnam, kami berharap bisa mengguncangnya sehingga terlepas, atau menggantikannya dengan citra baru tentang Vietnam yang lain, yang damai." Perjalanan diatur ke beberapa tempat bekas pertempuran, seperti Da Nang, Hue, Delta Mekong. Di sana bahkan dipersiapkan pertemuan dengan Vietkong dan veteran Perang Vietnam. Dan semua disetujui oleh pemerintah Vietnam. Ide ke Vietnam semula timbul dari grup veteran, seusai menyaksikan film Platoon, karya Oliver Stone, yang memenangkan Oscar tahun 1987. "Sayang, mereka tak punya pil untuk trauma itu," ujar Koutrouba, yang bertugas 20 tahun sebagai tentara dan memperoleh tiga bintang perak dan dua bintang tembaga dari Perang Vietnam. "Saya tidak mencari perawatan, yang saya cari adalah suatu cara, di mana saya bisa hidup dengan semua rasa bersalah dan seluruh memori yang saya miliki." Veteran Perang Vietnam ternyata sangat sensitif bila ada yang mencoba membandingkannya dengan veteran Perang Dunia II. Sejumlah ahli melihat veteran Perang Vietnam ketika bertugas berumur rata-rata 19 tahun, sembilan tahun lebih muda dari veteran PD II ketika mereka masih bertempur. Selain veteran PD II lebih dewasa, mereka pun ketika pulang disambut sebagai pahlawan. Sebaliknya, Veteran Perang Vietnam yang pulang disambut dengan sikap acuk tak acuh, malah ada jUgd yang mmberlakukan mereka dengan sikap bermusuhan. Ini jelas menambah beban mental, dan merasuk ke jiwa sebagai trauma tak tersembuhkan.Yusril Djalinus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini