Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kisah Apit Terlambat 2 Bulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, apit hamil. Atas desakan pacarnya, es, terhadap apit dilakukan penyedotan rahim. Tapi hakim membebaskan es dari segala tuduhan jaksa.

25 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKSA Anton Suyata SH, membawa drs ES ke pengadilan dengan tuduhan membujuk pacarnya, Apit, menggugurkan kandungannya. Anton tak segan-segan mundur selangkah setelah tak dapat membuktikan tuduhannya. Jaksa ini meminta agar ES dibebaskan dari tuduhan pertama. Hukuman penjara 3 bulan, namun dengan masa percobaan 9 bulan, inilah tuntutan jaksa terhadap tuduhan berikutnya: ES dianggap telah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan Apit. Yaitu, membawa pacarnya ke dokter satu ke dokter yang lain, sampai terjadi apa yang oleh ilmu kedokteran disebut induksi haid. Atau mengatur kembali menstruasi dengan cara penyedotan rahim. Hakim Suwandono SH, dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, awal bulan ini, tidak hanya membebaskan ES dari tuduhan pertama -- membujuk Apit untuk melakukan aborsi, seperti tuduhan jaksa. Malah, walaupun pembuktiannya menyatakan memang ada kasus aborsi terhadap kandungan Apit, tertuduh dibebaskan dari semua tuduhan jaksa (vrijspraak). Pertimbangannya sekilas tampak bertentangan dengan keputusannya. Tapi di situlah letak menariknya pertimbangan hakim Suwandono ini. Hubungan ES dengan Apit sudah terjalin sejak Juli 1975. Perkenalan selanjutnya, menurut jaksa, "meningkat sehingga mereka berdua beberapa kali melakukan hubungan persetubuhan." ES hilang, hubungan hanya berdasarkan senang sama senang, tanpa ada perjanjian apa-apa di balik keintiman mereka. Apalagi ES telah mempunyai keluarga sendiri. Tapi Apit menyatakan kepada hakim, sebenarnya ES telah berjanji hendak menikahinya secara resmi. Hubungan berlangsung sampai kemudian Apit mengaku terlambat menstruasi. Dia bilang telah hamil 2 bulan. Hasil test kehamilan oleh Laboratorium Supra, 18 Juli 1977, negatif. Tapi pemeriksaan berikutnya, 21 Juli, Laboratorium Supra menyatakan Apit positif hamil. dr Biran Apit menuntut agar ES mengawininya. Tapi ES menolak. Dia membujuk agar Apit menggugurkan kandungannya. Tak begitu jelas apa jawab Apit. Namun 25 Juli tahun lalu ES berhasil membawa pacarnya berkonsultasi kepada dr Biran Affandi, di Metropolitant Medical Centre. Mereka datang, mengaku sebagai suami-isteri, untuk konsultasi dalam rangka KB (keluarga berencana). Apit juga hanya mengakui baru 2 minggu saja terlambat menstruasi. Mula-mula dr Biran mengirim pasiennya untuk konsultasi dengan sejawatnya, dr Wahyudi, seorang ahli jiwa. Hasilnya, seperti terungkap di pengadilan dr Wahyudi berkesimpulan: Apit dalam keadaan depresi. Anak yang akan dilahirkannya dari hubungan gelap itu, kemungkinan tidak akan diterima oleh ke dua belah pihak. Sebab ES telah mempunyai keluarga sendiri dan tak berniat untuk menikah lagi. Keadaan itu, kata dokter, jelas tidak menguntungkan perkembangan si bayi jika sudah terlanjur dilahirkan. Berdasarkan keterangan sejawatnya itulah dr Biran mulai menangani Apit, 27 Juli 1977. Ketika pembantu dr Biran hendak menyuntikkan sesuatu Apit menolak. Suster mendesaknya dengan alasan suntikan itu hanya untuk menghilangkan rasa muak. Apit menyerah. Apalagi, begitu katanya, ES mengancamnya hendak meninggalkannya ke luar negeri, tak mau bertanggungjawab lagi, apabila Apit bertingkah. Dr Biran sendiri berpendapat ia tak melakukan aborsi. "Pengguguran kandungan itu a moral," begitu pernah dikatakannya baik kepada ES maupun Apit. Yang dilakukannya hari itu hanyalah penyedotan rahim untuk mengatur kembali menstruasi. Apalagi Apit mengaku baru 2 minggu terlambat datang bulan. Lagi pula cara begitu, yang disebut suction curetage, katanya dibenarkan oleh ilmu kedokteran. Ketika sidang pengadilan tengah berlangsung muncul surat keterangan tentang hasil pemeriksaan mikroskopik jaringan yang dikeluarkan dari rongga rahim, yang diperoleh dari hasil induksi haid oleh dr Biran dan diperiksa di laboratorium oleh dr Endy Muhardin. Test jaringan dari rongga rahim merupakan cara terbaik untuk menentukan kehamilan. Kesimpulannya: Apit memang tidak hamil. Diragukan Berdasarkan keterangan dr Endy itulah, antara lain, jaksa berani membebaskan ES dari tuduhan bersalah membujuk pacarnya menggugurkan kandungan. Pertimbangan hakim lain. Surat keterangan tentang pemeriksaan jaringan rongga rahim diragukan. Pengajuannya ke persidangan terlambat. Mustinya diketengahkan ketika dr Biran berbicara sebagai saksi di bawah sumpah. Dari beberapa keterangan dan bukti lain, kata hakim, "kami cenderung bahwa abortus telah terjadi." Misalnya, ada hasil test Laboratorium Supra yang menyatakan Apit positif hamil. Dia sendiri mengaku telah terlambat menstruasi 2 bulan -- bukan 2 minggu seperti yang diakuinya mula-mula di hadapan dr Biran. Seharusnya dr Biran sendiri juga sudah maklum, Apit memang hamil. Buktinya dokter ini sendiri yang mengirim Apit untuk konsultasi kepada dokter ahli jiwa, untuk memperoleh jaminan dan mempertanggungjawabkan penyedotan rahim pasiennya. Yaitu setelah ES dan Apit memperoleh keterangan dokter bahwa kehamilannya itu tak mereka sukai, dan akan berakibat buruk bagi bayinya kelak dan kehidupan rumahtangga ES sendiri. Dalam persidangan dr Biran juga pernah menyatakan kesehatan itu adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari suatu penyakit. Namun hakimpun mempertimbangkan, "sekarang yang terpenting," setelah menanggapi kasus abortus memang telah terjadi, "kapan abortus itu berwatak kriminalis dan medicinalis?" Pengadilan mengajukan saksi ahli bidang pengguguran kandungan. Tampillah dr Yoedono. Penyedotan rahim, katanya, memang bukan termasuk cara yang diakui program KB di sini. Tapi induksi haid dengan cara semacam itu tak dapat disalahkan. Hanya seyogyanya sebelum menyerahkan rahimnya untuk disedot karena keterlambatan datang bulan, berkonsultasilah dulu kepada dokter ahli jiwa atau internist. Dalam kasus Apit setelah dr Wahyudi memeriksanya, "kita harus menghormati hasil konsultasi tersebut." Jadi, melakukan aborsi secara demikian, "harus dipandang sebagai aborsi dengan indikasi medis." Tuduhan ES telah memaksa pacarnya sehingga membuatnya tidak senang juga tidak dianggap terbukti. Menurut hakim, kalau Apit mau bisa saja ia menghindar sebelum penyedotan rahim oleh dr Biran berlangsung. Dia harusnya dapat berkata kepada dr Biran, kata hakim, begini: "Biarpun di luar nikah, illegal. saya mau tetap mempunyai anak." Hal itu, lanjut hakim, dapat dengan tegas dikemukakan kepada dokter. Dengan berpendidikan sekolah lanjutan atas, sudah dewasa, janda pula, menurut hakim, seharusnya Apit sudah tahu setelah test kencing, hasilnya pun positif hamil, maka berangkat ke klinik genekolog tentunya untuk penyedotan rahim --bukan sekedar kontrol kandungan semata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus