JAKSA Anton Suyata SH, membawa drs ES ke pengadilan dengan
tuduhan membujuk pacarnya, Apit, menggugurkan kandungannya.
Anton tak segan-segan mundur selangkah setelah tak dapat
membuktikan tuduhannya. Jaksa ini meminta agar ES dibebaskan
dari tuduhan pertama.
Hukuman penjara 3 bulan, namun dengan masa percobaan 9 bulan,
inilah tuntutan jaksa terhadap tuduhan berikutnya: ES dianggap
telah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan Apit. Yaitu,
membawa pacarnya ke dokter satu ke dokter yang lain, sampai
terjadi apa yang oleh ilmu kedokteran disebut induksi haid. Atau
mengatur kembali menstruasi dengan cara penyedotan rahim.
Hakim Suwandono SH, dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, awal
bulan ini, tidak hanya membebaskan ES dari tuduhan pertama --
membujuk Apit untuk melakukan aborsi, seperti tuduhan jaksa.
Malah, walaupun pembuktiannya menyatakan memang ada kasus aborsi
terhadap kandungan Apit, tertuduh dibebaskan dari semua tuduhan
jaksa (vrijspraak). Pertimbangannya sekilas tampak bertentangan
dengan keputusannya. Tapi di situlah letak menariknya
pertimbangan hakim Suwandono ini.
Hubungan ES dengan Apit sudah terjalin sejak Juli 1975.
Perkenalan selanjutnya, menurut jaksa, "meningkat sehingga
mereka berdua beberapa kali melakukan hubungan persetubuhan." ES
hilang, hubungan hanya berdasarkan senang sama senang, tanpa ada
perjanjian apa-apa di balik keintiman mereka. Apalagi ES telah
mempunyai keluarga sendiri. Tapi Apit menyatakan kepada hakim,
sebenarnya ES telah berjanji hendak menikahinya secara resmi.
Hubungan berlangsung sampai kemudian Apit mengaku terlambat
menstruasi. Dia bilang telah hamil 2 bulan. Hasil test kehamilan
oleh Laboratorium Supra, 18 Juli 1977, negatif. Tapi pemeriksaan
berikutnya, 21 Juli, Laboratorium Supra menyatakan Apit positif
hamil.
dr Biran
Apit menuntut agar ES mengawininya. Tapi ES menolak. Dia
membujuk agar Apit menggugurkan kandungannya. Tak begitu jelas
apa jawab Apit. Namun 25 Juli tahun lalu ES berhasil membawa
pacarnya berkonsultasi kepada dr Biran Affandi, di Metropolitant
Medical Centre. Mereka datang, mengaku sebagai suami-isteri,
untuk konsultasi dalam rangka KB (keluarga berencana). Apit juga
hanya mengakui baru 2 minggu saja terlambat menstruasi.
Mula-mula dr Biran mengirim pasiennya untuk konsultasi dengan
sejawatnya, dr Wahyudi, seorang ahli jiwa. Hasilnya, seperti
terungkap di pengadilan dr Wahyudi berkesimpulan: Apit dalam
keadaan depresi. Anak yang akan dilahirkannya dari hubungan
gelap itu, kemungkinan tidak akan diterima oleh ke dua belah
pihak. Sebab ES telah mempunyai keluarga sendiri dan tak berniat
untuk menikah lagi. Keadaan itu, kata dokter, jelas tidak
menguntungkan perkembangan si bayi jika sudah terlanjur
dilahirkan.
Berdasarkan keterangan sejawatnya itulah dr Biran mulai
menangani Apit, 27 Juli 1977. Ketika pembantu dr Biran hendak
menyuntikkan sesuatu Apit menolak. Suster mendesaknya dengan
alasan suntikan itu hanya untuk menghilangkan rasa muak. Apit
menyerah. Apalagi, begitu katanya, ES mengancamnya hendak
meninggalkannya ke luar negeri, tak mau bertanggungjawab lagi,
apabila Apit bertingkah.
Dr Biran sendiri berpendapat ia tak melakukan aborsi.
"Pengguguran kandungan itu a moral," begitu pernah dikatakannya
baik kepada ES maupun Apit. Yang dilakukannya hari itu hanyalah
penyedotan rahim untuk mengatur kembali menstruasi. Apalagi Apit
mengaku baru 2 minggu terlambat datang bulan. Lagi pula cara
begitu, yang disebut suction curetage, katanya dibenarkan
oleh ilmu kedokteran.
Ketika sidang pengadilan tengah berlangsung muncul surat
keterangan tentang hasil pemeriksaan mikroskopik jaringan yang
dikeluarkan dari rongga rahim, yang diperoleh dari hasil induksi
haid oleh dr Biran dan diperiksa di laboratorium oleh dr Endy
Muhardin. Test jaringan dari rongga rahim merupakan cara terbaik
untuk menentukan kehamilan. Kesimpulannya: Apit memang tidak
hamil.
Diragukan
Berdasarkan keterangan dr Endy itulah, antara lain, jaksa berani
membebaskan ES dari tuduhan bersalah membujuk pacarnya
menggugurkan kandungan. Pertimbangan hakim lain. Surat
keterangan tentang pemeriksaan jaringan rongga rahim diragukan.
Pengajuannya ke persidangan terlambat. Mustinya diketengahkan
ketika dr Biran berbicara sebagai saksi di bawah sumpah.
Dari beberapa keterangan dan bukti lain, kata hakim, "kami
cenderung bahwa abortus telah terjadi." Misalnya, ada hasil test
Laboratorium Supra yang menyatakan Apit positif hamil. Dia
sendiri mengaku telah terlambat menstruasi 2 bulan -- bukan 2
minggu seperti yang diakuinya mula-mula di hadapan dr Biran.
Seharusnya dr Biran sendiri juga sudah maklum, Apit memang
hamil. Buktinya dokter ini sendiri yang mengirim Apit untuk
konsultasi kepada dokter ahli jiwa, untuk memperoleh jaminan dan
mempertanggungjawabkan penyedotan rahim pasiennya. Yaitu setelah
ES dan Apit memperoleh keterangan dokter bahwa kehamilannya itu
tak mereka sukai, dan akan berakibat buruk bagi bayinya kelak
dan kehidupan rumahtangga ES sendiri. Dalam persidangan dr Biran
juga pernah menyatakan kesehatan itu adalah kesejahteraan fisik,
mental dan sosial tidak hanya bebas dari suatu penyakit.
Namun hakimpun mempertimbangkan, "sekarang yang terpenting,"
setelah menanggapi kasus abortus memang telah terjadi, "kapan
abortus itu berwatak kriminalis dan medicinalis?" Pengadilan
mengajukan saksi ahli bidang pengguguran kandungan. Tampillah dr
Yoedono. Penyedotan rahim, katanya, memang bukan termasuk cara
yang diakui program KB di sini. Tapi induksi haid dengan cara
semacam itu tak dapat disalahkan. Hanya seyogyanya sebelum
menyerahkan rahimnya untuk disedot karena keterlambatan datang
bulan, berkonsultasilah dulu kepada dokter ahli jiwa atau
internist. Dalam kasus Apit setelah dr Wahyudi memeriksanya,
"kita harus menghormati hasil konsultasi tersebut." Jadi,
melakukan aborsi secara demikian, "harus dipandang sebagai
aborsi dengan indikasi medis."
Tuduhan ES telah memaksa pacarnya sehingga membuatnya tidak
senang juga tidak dianggap terbukti. Menurut hakim, kalau Apit
mau bisa saja ia menghindar sebelum penyedotan rahim oleh dr
Biran berlangsung. Dia harusnya dapat berkata kepada dr Biran,
kata hakim, begini: "Biarpun di luar nikah, illegal. saya mau
tetap mempunyai anak." Hal itu, lanjut hakim, dapat dengan tegas
dikemukakan kepada dokter. Dengan berpendidikan sekolah lanjutan
atas, sudah dewasa, janda pula, menurut hakim, seharusnya Apit
sudah tahu setelah test kencing, hasilnya pun positif hamil,
maka berangkat ke klinik genekolog tentunya untuk penyedotan
rahim --bukan sekedar kontrol kandungan semata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini