Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Koalisi CekFakta Audiensi Pentingnya Perlindungan Pemeriksa Fakta ke Komnas HAM

Audiensi tim Koalisi Cek Fakta dengan Komnas HAM membahas perlindungan bagi pemeriksa fakta.

6 Maret 2025 | 13.34 WIB

Tim Koalisi Cek Fakta yang terdiri dari AMSI, AJI dan Mafindo, didukung oleh Google News Initiative melakukan audiensi terkait perlindungan bagi pemeriksa fakta dengan Komnas HAM di sekretariatnya, Jakarta, Senin, 3 Maret 2025.
Perbesar
Tim Koalisi Cek Fakta yang terdiri dari AMSI, AJI dan Mafindo, didukung oleh Google News Initiative melakukan audiensi terkait perlindungan bagi pemeriksa fakta dengan Komnas HAM di sekretariatnya, Jakarta, Senin, 3 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - KOALISI CekFakta bertemu dengan perwakilan Komnas HAM di sekretariat Komnas HAM, Jakarta, Senin, 3 Maret 2025 yang lalu. Koalisi yang terdiri dari yang terdiri dari AMSI, AJI dan Mafindo, didukung oleh Google News Initiative ini, membahas perlindungan bagi pemeriksa fakta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam audiensi itu, koordinator CekFakta, Adi Marsiela memaparkan hasil riset internal di jaringan pemeriksa fakta kepada Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM, Uli Parulian Sihombing. Riset dengan metodologi survei dan wawancara mendalam ini menunjukkan bahwa 21,05% pemeriksa fakta pernah mengalami intimidasi hingga doxxing di media sosial. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Salah satu temuan penting dalam riset itu, hanya setengah dari responden yang memiliki SOP perlindungan pemeriksa fakta di lembaga atau organisasinya. “Para pemeriksa fakta itu juga mengakui sudah mendapatkan pendampingan psikososial terkait intimidasi yang dialaminya,” ujar Adi. 

Di sisi lain, pemeriksa fakta semakin rentan lantaran belum adanya aturan hukum yang menjamin perlindungan bagi pemeriksa fakta berlatar belakang non jurnalis. Alih-alih memberikan perlindungan, aturan hukum seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik malah potensial mengancam pemeriksa fakta. 

Direktur Eksekutif AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia), Felix Lamuri menambahkan, dalam 5 tahun terakhir misinformasi sulit ditangkal karena persebarannya masif. Selain itu, warganet lebih percaya informasi di media sosial dibandingkan dengan informasi dari media arus utama. 

“Maka butuh pengembangan jejaring karena tsunami misinformasi sangat besar dan membutuhkan orang-orang untuk membongkar itu dan dibutuhkan keselamatan terhadap pemeriksa fakta,” kata dia.

Menanggapi temuan-temuan itu, Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM, Uli Parulian Sihombing menyatakan bahwa lembaganya memiliki mekanisme perlindungan bagi pembela HAM. Namun untuk memastikan apakah pemeriksa fakta dapat dikategorikan sebagai pembela HAM, pihaknya perlu melakukan asesmen terpisah. “Tidak harus mereka yang sudah menjadi korban namun bagi yang potensial menjadi korban juga bisa,” imbuh Uli. 

Apalagi Komnas HAM kerap menggunakan informasi yang ada di portal cekfakta.com untuk memastikan informasi yang beredar mengandung kebohongan atau tidak. Anggota Divisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Rifanti Laelasari menyatakan produksi dan penyebaran pembongkaran informasi bohong sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hal ini termasuk dalam ranah HAM. 

“Jika teman-teman ada kendala atau hambatan dalam pelaksanaan kerja teman-teman tentunya bisa mengadukan ke Komnas HAM melalui pengaduan sesuai dengan dokumen-dokumen dan juga bukti,” tuturnya.   

Koalisi CekFakta membuka peluang kerja sama dengan Komnas HAM dan jaringannya terkait peningkatan kapasitas sumber daya manusia terkait identifikasi dan pembongkaran informasi bohong. 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus