Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kriminal

Koruptor Tata Kelola Timah Suparta Meninggal, Siapa yang Bayar Kerugian Negara Rp 4,5 Triliun?

Suparta, salah satu terpidana kasus korupsi tata niaga komoditas di PT Timah, meninggal. Ia divonis 19 tahun bui dan mengganti rugi Rp 4,57 triliun.

28 April 2025 | 23.31 WIB

Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah sekaligus Direktur Utama PT RBT, Suparta menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 9 September 2024. Jaksa penuntut hukum Kejaksaan Agung menghadirkan empat saksi, yakni Manager Keuangan PT Refined Bangka Tin (RBT) Ayu Lestari Yusman, penambang liar Liu Asak, Dika Sidik, dan Kurnia Efendi Bong. Sidang ini digelar untuk terdakwa Harvey Moeis, Dirut PT RBT Suparta dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT Reza Andriansyah. TEMPO/Imam Sukamto
Perbesar
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah sekaligus Direktur Utama PT RBT, Suparta menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 9 September 2024. Jaksa penuntut hukum Kejaksaan Agung menghadirkan empat saksi, yakni Manager Keuangan PT Refined Bangka Tin (RBT) Ayu Lestari Yusman, penambang liar Liu Asak, Dika Sidik, dan Kurnia Efendi Bong. Sidang ini digelar untuk terdakwa Harvey Moeis, Dirut PT RBT Suparta dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT Reza Andriansyah. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Terpidana kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada tahun 2015–2022, Suparta, meninggal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Benar (meninggal) atas nama Suparta pada hari Senin tanggal 28 April 2025 sekitar pukul 18.05 WIB di RSUD Cibinong Bogor,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar saat dikonfirmasi Antara di Jakarta, Senin, 28 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mengatakan bahwa Suparta meninggal ketika menjalani masa penahanan di Lembaga Pemasyarakatan Cibinong, Bogor.

Terkait penyebab meninggalnya, Kapuspenkum belum bisa membeberkannya. “Belum ada informasi mengenai penyebab meninggalnya. Mungkin sakit,” katanya.

Suparta merupakan salah satu terpidana dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada tahun 2015–2022.

Dia terbukti menerima aliran dana sebesar Rp 4,57 triliun dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari dana yang diterima.

Atas perbuatannya, Suparta dijatuhi hukuman penjara 8 tahun, denda Rp1 miliar subsider pidana kurungan 6 bulan, serta membayar uang pengganti Rp 4,57 triliun subsider 6 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.

Pada Februari 2025, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis pidana penjara yang bersangkutan menjadi 19 tahun setelah menerima permintaan banding dari penuntut umum dan Suparta.

Untuk pidana denda, hukuman terhadap Suparta tetap sebesar Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka akan diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 bulan.

Sementara pada pidana tambahan, Majelis Hakim menetapkan uang pengganti yang dibayarkan Suparta tetap sebesar Rp 4,57 triliun.

Tetapi hukuman pengganti apabila Suparta tidak membayarkan uang pengganti tersebut diperberat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjadi 10 tahun penjara.

Usai dijatuhi putusan banding, Suparta mengajukan kasasi di Mahkamah Agung. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Kapuspenkum Harli. Namun keputusan kasasi belum diambil.

Lantas siapa yang akan mengganti uang kerugian negara Rp 4,57 triliun itu?

Siapa yang Akan Melanjutkan Hukuman Pidana?

Dikutip dari laman Fakultas Hukum dan HAM, Fakultas Syariah IAIN Kediri, sesuai Pasal 132 KUHP 2023, kewenangan penuntutan pidana dinyatakan gugur apabila:

  • Ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap setiap orang atas perkara yang sama
  • Tersangka atau terdakwa meninggal
  • Kedaluwarsa

Artinya, ahli waris terpidana tidak perlu menanggung pidana yang belum dijalani oleh almarhum

Siapa yang Akan Menanggung Kerugian Negara?

Dalam Pasal 33 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat norma hukum bahwa “Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.

Dikutip dari laman Unes Law Review Volume 6 No. 4 Juni 2024, disebutkan bahwa Pasal 833 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat norma hukum yaitu ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang dari si pewaris.

Berikut bunyi pasal 833 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.

Bila ada perselisihan tentang siapa yang berhak menjadi ahli waris, dan dengan demikian berhak memperoleh hak milik seperti tersebut di atas, maka Hakim dapat memerintahkan agar semua harta peninggalan itu ditaruh lebih dahulu dalam penyimpanan Pengadilan.

Negara harus berusaha agar dirinya ditempatkan pada kedudukan besit oleh Hakim, dan berkewajiban untuk memerintahkan penyegelan harta peninggalan itu, dan memerintahkan pembuatan perincian harta itu, dalam bentuk yang ditetapkan untuk penerimaan warisan dengan hak istimewa akan pemerincian harta, dengan ancaman untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus