Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seorang remaja putri di Padangsidimpuan menjadi korban kekerasan seksual berbasis elektronik.
Undang-Undang TPKS belum diimplementasikan secara maksimal.
Kasus kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan di luar pengadilan.
HALO, Klinik Hukum Perempuan. Perkenalkan, saya Nurul. Saya baru membaca berita tentang remaja putri 14 tahun yang dikriminalkan setelah menerima konten asusila dari teman prianya. Saya bingung terhadap kejadian ini. Remaja putri, yang menurut saya adalah korban, kenapa justru bisa dikriminalisasi. Meski kedua pihak saat ini dikabarkan telah berdamai, hal itu belum menjawab persoalan yang membuat saya bertanya-tanya tersebut. Bisakah saya mendapat penjelasan tentang persoalan itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jawaban:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Halo, Kak Nurul. Terima kasih telah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Kami paham bahwa Kak Nurul dan banyak orang bertanya-tanya tentang korban kekerasan seksual yang justru dikriminalisasi. Bentuk kriminalisasi ini tentu sangat mengkhawatirkan. Terutama untuk korban yang menjadi takut dan enggan melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Yuk, pelan-pelan kita bahas persoalan ini.
Dilansir dari berbagai sumber berita, kekerasan seksual terhadap remaja putri 14 tahun itu terjadi di Padangsidimpuan, Sumatera Utara. Persoalan ini telah diselesaikan melalui mediasi yang dibantu oleh kepolisian setempat.
Bagi sebagian besar warganet, persoalan seperti ini sebenarnya tidak mengejutkan. Isu relasi kuasa “pejabat versus rakyat” menjadi perbincangan di media sosial sejak kasus ini viral. Jadi, kenapa sih korban bisa dikriminalisasi?
Pertama, masyarakat dan aparat penegak hukum gagal menempatkan korban sebagai korban kekerasan seksual. Fenomena ini yang kemudian menjadi pintu masuk kriminalisasi. Masyarakat dan aparat penegak hukum gagal memahami bentuk kekerasan yang terjadi serta yang dialami oleh korban. Bahkan, menganggap kekerasan seksual terhadap korban itu tidak pernah terjadi.
Dalam kasus di Padangsidimpuan tersebut, korban yang berinisial S adalah pelajar sekolah menengah pertama. Usianya masih di bawah umur. Dia mendapat konten bermuatan seksual dari teman prianya, M, yang dikirim melalui aplikasi WhatsApp.
Tindakan M tersebut jelas bukan kekerasan seksual secara fisik, melainkan kekerasan seksual berbasis elektronik yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Bunyinya adalah:
“Setiap Orang yang tanpa hak mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak dua ratus juta rupiah”.
Berdasarkan aturan itu, seharusnya pelaku dan/atau keluarga pelaku—apalagi kepolisian—paham siapa yang menjadi korban. Namun, karena pelaku dan keluarganya diduga memiliki status sosial yang lebih tinggi, penanganan kaus ini tidak sejalan dengan hukum yang berlaku. Alih-alih mendorong korban melaporkan kekerasan seksual yang dialami, kepolisian justru mendorong mediasi antara pelaku dan korban.
Kedua, pemahaman aparat penegak hukum tentang aturan kekerasan seksual masih minim. Persoalan ini yang melanggengkan praktik kriminalisasi terhadap korban kekerasan seksual. Pemberlakuan UU TPKS diharapkan mampu merespons fakta kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Faktanya, UU TPKS belum diimplementasikan secara maksimal, termasuk oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim. Masih banyak penyidik, penuntut umum, dan hakim yang belum memiliki kompetensi dalam menangani perkara kekerasan seksual yang berperspektif hak asasi manusia serta korban.
Perkara kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, kecuali terhadap pelaku anak. Selain itu, pihak kepolisian seharusnya bertindak secara aktif melindungi korban. Sebab, korban dan keluarganya memiliki hak untuk tidak dituntut pidana dan tak digugat perdata atas laporan tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 69 huruf g dan Pasal 71 ayat 1 huruf d UU TPKS.
Kembali ke kasus di Padangsidimpuan. Pelaku melaporkan korban menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Aturan ini memang kerap digunakan sebagai alat kriminalisasi. Sementara itu, korban melaporkan pelaku menggunakan UU Pornografi dan laporannya ditolak oleh kepolisian.
Dalam kasus ini, kedua aturan tersebut sebenarnya tidak tepat diterapkan. Sebab, ada aturan yang secara khusus mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual, yaitu UU TPKS. Dengan demikian, jika terjadi kasus yang serupa, kepolisian harus menunjukkan keberpihakan kepada korban. Di antaranya dengan mendorong korban melaporkan kekerasan seksual yang dialami sehingga tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.
Selanjutnya, kepolisian juga harus aktif menyampaikan kepada pelaku/keluarga pelaku yang ingin melaporkan korban bahwa korban memiliki hak atas pelindungan. Jika pemahaman aparat penegak hukum tidak ditingkatkan dalam menangani perkara kekerasan seksual yang berperspektif HAM dan korban, praktik kriminalisasi terhadap korban akan selalu muncul.
Lalu, apa yang dapat dilakukan masyarakat untuk menghentikan kriminalisasi terhadap korban kekerasan seksual?
- Masyarakat harus membudayakan literasi tentang kekerasan seksual kepada semua lapisan usia. Upaya ini penting untuk mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual. Dengan masifnya literasi tentang tindak pidana kekerasan seksual, diharapkan masyarakat mampu menempatkan korban sesuai dengan hak-hak yang dimiliki. Korban juga bisa terhindar dari reviktimisasi apalagi kriminalisasi.
- Mensosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual. Sosialisasi ini diharapkan mampu mengubah pola pikir masyarakat agar tidak melakukan tindakan kekerasan seksual dalam bentuk apa pun dan kepada siapa pun. Negara hadir untuk memberikan pelindungan kepada korban.
- Menciptakan kondisi lingkungan yang dapat mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual.
TUTUT TARIDA
Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender