Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perempuan yang menjadi korban perselingkuhan sering dikriminalisasi menggunakan aturan tentang pelindungan data pribadi.Â
Pengacara LBH Apik Jakarta menjelaskan ketentuan yang mengatur tentang pelindungan data pribadi.
Ada langkah-langkah hukum yang harus diperhatikan agar korban perselingkuhan dapat menghindar dari jerat pidana.
Halo Klinik Hukum bagi Perempuan. Perkenalkan saya Alien. Saya ingin meminta pendapat atas persoalan yang sedang saya hadapi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru-baru ini saya membaca berita tentang kasus Inara Rusli yang dilaporkan oleh mantan suaminya atas dugaan mengakses data pribadi secara ilegal. Masalah yang dihadapi Inara ini hampir sama dengan saya, yaitu menjadi korban perselingkuhan. Saya menggugat cerai suami karena ia berselingkuh dan sekarang sudah ada putusan hakim, yakni saya mendapatkan hak asuh anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah kasus Inara viral, saya khawatir mantan suami terinspirasi melaporkan saya dengan tuduhan mengakses data pribadi secara ilegal. Sebab, saat masih terikat pernikahan, saya pernah membuka WhatsApp suami dan men-screenshot komunikasi dia dengan perempuan lain sebagai bukti adanya perselingkuhan. Hasil tangkapan layar itu kemudian saya publish di status Facebook milik saya.
Pada saat itu suami sangat marah. Ia juga melakukan kekerasan fisik. Saya sudah menghapus status tersebut sebelum mengajukan gugatan cerai. Namun mantan suami lebih dulu meng-copy dan mencetak status tersebut. Dia pernah menunjukkan cetakan itu ketika kami sedang bertengkar. Bisakah mantan suami melaporkan saya dengan bukti tersebut walau itu terjadi satu tahun lalu dan kami sudah resmi bercerai?
Mohon penjelasannya. Terima kasih.
Alien, 34 tahun
Bandung
---------
Jawaban
Halo Ibu Alien, terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum bagi Perempuan. Kami turut prihatin atas persoalan yang Anda alami hingga terjadi perceraian. Semoga Anda dan anak-anak mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Mengenai kekhawatiran Anda akan dilaporkan oleh mantan suami, semoga saja tidak terjadi.
Berdasarkan catatan LBH APIK Jakarta, perempuan yang menjadi korban perselingkuhan memang sering dikriminalisasi oleh suami/mantan suami menggunakan aturan tentang pelindungan data pribadi. Apalagi korban sudah menyerbarluaskan bukti perselingkuhan—dalam bentuk tangkapan layar percakapan, foto, dan video—ke media sosial, seperti Facebook, Instagram, serta Twitter.
Sebelum membahas upaya penyelesaian hukum yang harus dilakukan, kami akan menjelaskan lebih dulu mengenai aturan tentang pencemaran nama dan akses ilegal data pribadi.
Secara hukum, mengambil atau menyalin data pribadi yang disimpan dalam ponsel—juga laptop, komputer, flashdisk, dan alat elektronik lain— tanpa seizin pemiliknya, termasuk perbuatan pidana. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 32 juncto Pasal 48 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang berbunyi sebagai berikut.
1. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik dipidana penjara paling lama 8 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2 miliar.
2. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik ke sistem elektronik orang lain yang tidak berhak dipidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3 miliar.
3. Terhadap perbuatan pada angka 1 yang mengakibatkan terbukanya suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana semestinya dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5 miliar.
Berdasarkan bunyi ketentuan pasal di atas, perlu dipahami penjelasan unsur-unsur sebagai berikut.
1. Unsur "dengan sengaja" ialah tahu dan menghendaki suatu perbuatan yang dilarang atau mengetahui serta menghendaki timbulnya akibat yang dilarang.
2. Unsur "tanpa hak" maksudnya tidak memiliki hak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun alasan hukum lain yang sah.
3. Unsur "melawan hukum" dapat bersifat formil ataupun materiil. Melawan hukum secara formil maksudnya melanggar peraturan perundang-undangan, sedangkan melawan hukum secara materiil maknanya tidak hanya terhadap pelanggaran menurut undang-undang, tapi juga melawan hukum yang tidak tertulis.
4. Unsur "mengakses" mengandung makna melakukan interaksi dengan sistem elektronik.
Penyebarluasan data pribadi—dalam bentuk informasi elektronik dan dokumen elektronik—milik orang lain yang diambil tanpa izin dengan tujuan mencemarkan nama pemiliknya juga dapat dipidana menggunakan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Lalu, apa yang dimaksudkan dengan data pribadi? Dalam Pasal 1 angka 1 UU PDP disebutkan, data pribadi adalah data tentang orang perseorangan yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lain, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik atau nonelektronik.
Apa saja yang tergolong data pribadi? Dalam Pasal 4 UU PDP dijelaskan bahwa data pribadi terdiri atas:
1. Data pribadi yang bersifat spesifik: meliputi data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi, dan/atau data lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Data pribadi yang bersifat umum, meliputi nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, status perkawinan, dan/atau data pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang.
Pelaku penyalahgunaan data pribadi orang lain diancam dengan Pasal 65 juncto Pasal 67 UU PDP sebagai berikut.
1. Setiap orang dilarang secara melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian subyek data pribadi dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5 miliar.
2. Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4 miliar.
3. Setiap orang dilarang secara melawan hukum menggunakan data pribadi yang bukan miliknya dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5 miliar.
Apabila dari penyalahgunaan data pribadi tersebut terdapat unsur pencemaran nama, pelaku dapat dijerat pasal penghinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP (lama) yang berbunyi sebagai berikut.
1. Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4,5 juta.
2. Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di muka umum, diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4,5 juta.
3. Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Kembali kepada pertanyaan Anda, apakah membuka dan/atau menyalin chat WhatsApp pada ponsel suami yang menjadi bukti perselingkuhan merupakan perbuatan pidana?
Secara hukum membuka ponsel yang bukan miliknya tanpa izin termasuk pelanggaran data pribadi. Namun untuk hubungan suami dan istri serta keluarga sedarah—anak dan orang tua serta adik dan kakak—yang tinggal serumah merupakan hubungan yang khusus. Dengan begitu, tidak bisa serta-merta tindakan itu dikategorikan perbuatan pidana.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dinyatakan perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia serta kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan pasal tersebut bisa dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang terikat tali perkawinan memiliki privasi yang menyatu sampai pada batas tertentu. Maksudnya, ada perbuatan-perbuatan yang menurut umum dan menurut batas kepatutan dapat dilakukan oleh suami atau istri dalam rumah tangga. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa istri ataupun suami yang membuka ponsel pasangannya tanpa izin, tidak termasuk perbuatan "tanpa hak".
Karena itu, dalam suatu hubungan pernikahan, sebaiknya ada kesepakatan suami-istri menyangkut hak mengakses perangkat elektronik milik masing-masing. Kesepakatan ini menyerupai perjanjian pranikah.
Selanjutnya, apabila istri atau suami menyebarluaskan data/informasi dari perangkat milik pasangannya dengan tujuan mempermalukan atau mencemarkan nama pasangannya tersebut, perbuatan itu termasuk perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam UU ITE, KUHP, dan UU PDP.
Untuk itu, apabila menemukan bukti perselingkuhan suami, sebaiknya data/informasi disimpan sebagai bukti laporan ke polisi. Jangan sekali-kali menyebarluaskan data tersebut di media sosial karena ada aturan hukumnya. Namun bila perbuatan itu sudah telanjur dilakukan, berikut hal-hal yang harus diperhatikan:
1. Cari pendamping hukum dari Lembaga Bantuan Hukum yang berfokus memberikan bantuan kepada perempuan korban kekerasan. Advokat pada lembaga-lembaga ini memiliki perspektif atau keberpihakan terhadap hak-hak perempuan. Jika didampingi oleh advokat profesional, pastikan mereka memiliki perspektif gender dan pengalaman mendampingi perempuan korban kekerasan berbasis gender. Hal ini penting agar hak perempuan sebagai istri yang mengalami KDRT diperhitungkan secara hukum.
2. Dorong penyidik (atau hakim apabila sudah sampai proses persidangan) untuk mengutamakan penyelesaian restorative justice (keadilan restoratif). Dengan restorative justice, penyelesaian perkara dijalankan melalui mekanisme dialog serta mediasi antara korban, pelaku, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang berkaitan. Hal ini bertujuan menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban ataupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula serta mengembalikan pola hubungan baik.
3. Pastikan agar penyidik (walaupun belum ada aturan pedoman memeriksa perempuan berhadapan dengan hukum) memperhatikan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana. Sedangkan, bila sudah memasuki tahap persidangan, pastikan hakim menggunakan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH).
Demikian jawaban kami untuk pertanyaan Ibu Alien. Semoga uraian tersebut dapat memberikan manfaat. Salam.
Sri Agustini
Advokat Probono LBH APIK Jakarta