Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum Richard Eliezer, Ronny Talapessy menyerukan istilah ex aequo et bono dan tatap hakim saat membacakan pleidoi atau nota pembelaan Richard Eliezer. Sebelumnya, Eliezer dituntut 12 tahun hukuman penjara atas kasus pembunuhan Brigadir J atau Yosua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Disarikan dari mh.uma.ac.id, ex aequo et bono berasal dari bahasa Latin. Kamus Juridisch Latin karya GRW Gokkel dan N van der Wal mendefinisikan secara singkat frase tersebut sebagai “menurut keadilan”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Istilah ini merujuk pada putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan. Tujuan petitum ini agar apabila tuntutan primer ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya gugatan yang didasari oleh kebebasan hakim serta keadilan, dalam putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Oleh karenanya kalimat ini karakternya tidak mutlak, bersifat alternatif, dan sangat tergantung pada kebebasan hakim.
Maka, penjatuhan putusan atas dasar nya merupakan putusan subsidair, bukan primair, dan putusannya disebut putusan ultra petita.
Guna menerapkan prinsip kebebasan hakim dalam mengadili dan memutus gugatan yang disertai petitum subsider, hakim perlu memperhatikan ketentuan di dalam Pasal 178 (2) HIR dan Pasal 67c UU No. 14 Tahun 1985, yang menentukan bahwa hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan.
Dikutip dari smartjudges.id, ex aequo et bono merupakan bentuk keberanian hakim untuk keluar dari belenggu pemahaman sempit dalam memaknai asas hakim bersikap pasif dan asas ultra petita. Penerapan asas ini sangat memungkinkan, sebab hakim dapat bersikap aktif dengan menggunakan pendekatan judicial activism. Putusan hakim mampu keluar dari ketentuan hukum yang bersifat kaku, sepanjang dilakukan untuk tujuan perlindungan hak asasi manusia dan perwujudan nilai keadilan.
Putusan yang dijatuhkan di luar petitum primair dinilai sebagai kemurahan dari hakim kepada terdakwa. Oleh karena itu putusan ultra petita dalam bingkai ex aequo et bono adalah putusan yang tidak sembarangan dapat dijatuhkan.
Hakim hanya akan menjatuhkan putusan ex aequo et bono apabila ia benar-benar melihat urgensi perlindungan hak asasi manusia dan pemenuhan rasa keadilan dalam perkara yang ditanganinya.
Putusan hakim dengan penerapan asas ex aequo et bono bukanlah sesuatu yang baru dalam peradilan Indonesia. Pada 2008 lalu, majelis hakim PN Jakarta Pusat menolak tuntutan dalam petitum primair, dan justru memutus sendiri dengan dasar asas ex aequo et bono.
Saat itu hakim memutuskan hak pedagang Pasar Tanah Abang untuk mendapatkan prioritas membeli kios. Sebab, majelis hakim menilai para pedagang adalah pemilik sah dari kios yang dibongkar oleh Pemda, sehingga tetap berhak mendapatkan ruko semula.
ANNISA FIRDAUSI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.