Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung menyatakan keputusan hakim Cepi Iskandar yang mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto tidak bisa diganggu gugat. Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, menyebutkan lembaganya tidak bisa ikut campur soal aspek yudisial dalam putusan itu. “Itu kewenangan hakim dan tidak bisa diintervensi,” ucap Suhadi saat dihubungi di Jakarta, Senin, 2 Oktober 2017.
Karena sudah ada vonis, menurut Suhadi, putusan praperadilan itu sudah final and binding (final dan mengikat).
Baca:
Fadli Zon Minta Putusan Praperadilan Setya...
Setya Novanto Menang Praperadilan, Indonesia...
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat, 28 September 2017, memenangkan praperadilan yang diajukan tersangka korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP, Setya Novanto, terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Cepi mengatakan penetapan tersangka Setya tidak didasari prosedur serta tata cara yang tercantum dalam standard operating procedure (SOP) KPK dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Penetapan pemohon (Setya Novanto) sebagai tersangka tidak sah," ujar Cepi dalam persidangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Setya menjadi tersangka korupsi e-KTP sejak 17 Juli 2017. KPK telah menetapkan lima tersangka lain dalam kasus ini, yaitu Irman, Sugiharto, Andi Agustinus Narogong, Markus Nari, dan Anang Sugiana Sudihardjo. Dari semua tersangka, baru Irman dan Sugiharto yang sudah divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Selatan.
Baca juga:
Setya Novanto Menang, Doli Kurnia Minta KY Periksa Hakim Cepi
Gubernur Bali: Bila Gunung Agung Meletus, Aliran Listrik Aman
Adapun putusan hakim Cepi itu memang menimbulkan pro dan kontra. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat, putusan hakim Cepi sarat masalah. Peneliti ICJR, Erasmus Napitupulu, menuturkan salah satu kesimpulan yang janggal adalah ketika hakim Cepi menyatakan alat bukti dalam kasus Setya tidak boleh berupa bukti yang digunakan dalam perkara terdakwa lain, yaitu terdakwa Irman dan Sugiharto. Padahal, kata dia, Bab V Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur bahwa alat bukti dapat digunakan dalam dua pemeriksaan terpisah pada kasus pidana yang dilakukan lebih dari satu orang.
Suhadi menyebut pro dan kontra di masyarakat mengenai putusan praperadilan itu sebagai hal biasa. “Pasti ada yang menang dan yang kalah. Bagi kami sebagai hakim, itu biasa.”
FAJAR PEBRIANTO