Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Masyarakat Adat Sihaporas Laporkan Polres Simalungun ke Komnas HAM, Ini Poin-poin Pengaduannya

Berikut merupakan poin-poin yang diadukan kuasa hukum masyarakat adat Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas ke Komnas HAM.

28 Juli 2024 | 17.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komunitas masyarakat adat Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas mengadukan anggota Polres Simalungun ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Rabu, 24 Juli 2024. Melalui kuasa hukum dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara Adat Taman Nusantara, mereka mengadukan tindakan aparat penegak hukum yang tidak profesional dalam melakukan penangkapan terhadap komunitas masyarakat Adat di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Simalungun, Sumatera Utara, pada Senin, 22 Juli dini hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perwakilan Kuasa Hukum Masyarakat Adat Sihaporas, Judianto Simanjuntak, menjelaskan poin-poin pengaduan mereka kepada Komnas HAM. “Beberapa hal diadukan ke Komnas HAM baik kekerasan, dugaan penculikan, pelanggaran prosedur penangkapan, dan lain-lain,” ujar Judianto ketika dihubungi, Ahad, 28 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Judianto menyebut, anggota Polres Simalungun masuk ke dalam rumah warga sambil melakukan kekerasan. Mereka membentak, menendang, memukul, dan meminta masyarakat adat untuk jongkok dengan tangan ke belakang. Bahkan, mereka menendang, memiting, menyetrum, menodongkan pistol, serta menembak atap rumah anggota Komunitas Masyarakat Adat Lamtoras Sihaporas. “Ini jelas jelas penyiksan. Ini merupakan dugaan pelanggaran HAM,” tuturnya. 

Selain orang dewasa, kata dia, kekerasan juga dialami perempuan adat dan anak. Judianto menyebut, anggota Polres Simalungun melakukan kekerasan dan mengancam anak laki-laki berusia 10 tahun. Anak yang berusaha menolong ayah dan ibunya itu justru menjadi korban pembekapan dan pengancaman pihak kepolisian. “Anak tersebut serta ayah dan ibunya trauma sejak kejadian itu sampai saat ini,” ucapnya. Selain anak yang berusia 10 tahun, ada juga anak berusia 8 tahun yang juga menyaksikan peristiwa tersebut. 

Berikut merupakan poin-poin yang diadukan kuasa hukum:

Pelanggaran Hukum Acara Pidana 

Penangkapan yang dilakukan oleh Aparat Polres Simalungun tidak sesuai dengan prosedur hukum, karena tidak menunjukkan surat tugas dan surat perintah penangkapan. Selain itu, penangkapan juga diduga melibatkan sipil, tidak semua dilakukan oleh polisi.

Pelanggaran Hak Untuk Bebas Dari Penghilangan Paksa 

Aparat Polres Simalungun diduga melakukan penghilangan paksa atau penculikan terhadap 5 orang masyarakat adat, yakni Gio Ambarita, Thomson Ambarita, Jonny Ambarita, Paranda Tamba, dan Dosmar Ambarita. 

Hal ini, kata Judianto, karena awalnya mereka tidak diketahui keberadaannya. Pada sore hari, para korban penculikan diketahui berada di Polres Simalungun. “Pihak Polres Simalungun dalam hal ini tidak menghormati dan melanggar hak masyarakat adat Sihaporas yaitu hak untuk bebas dari penghilangan paksa,” kata dia. 

Pelanggaran Terhadap Hak Atas Kebebasan dan Keamanan Pribadi

Menurut Judianto, tindakan Aparat Polres Simalungun merupakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan dan keamanan pribadi masyarakat adat Sihaporas karena membawanya secara paksa ke Polres. Mereka, hingga saat ini masih ditahan. 

Pelanggaran Terhadap Fungsi dan Tugas Kepolisian 

Tindakan anggota Polres Simalungun merupakan pelanggaran terhadap fungsi dan tugas Polri di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Pelanggaran Terhadap Hak Untuk Bebas dari Penyiksaan

Aparat Polres Simalungun juga diduga melakukan penyiskaan terhadap masyarakat Sihaporas dengan cara menyetrum. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak untuk bebas dari penyiksaan sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 5 Tahun 1998, dan UU No. 12 Tahun 2005.

Hingga berita ini ditulis, Polda Sumatera Utara belum membalas pesan yang dikirimkan melalui aplikasi WhatsApp. Terakhir, Kapolres Simalungun, AKBP Choky Sentosa Meliala mengatakan bahwa polisi tidak mentolerir tindakan kekerasan yang dilakukan oleh siapapun. “Polres Simalungun terus memastikan bahwa ruang publik aman dan nyaman, tidak boleh ada kekerasan dengan mengatasnamakan kelompok atau apapun,” kata dia, Rabu, 24 Juli 2024.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus