Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Delapan polisi tak berseragam mondar-mandir di kompleks pabrik PT Coca-Cola Bottling Indonesia di Sumedang, Selasa pekan lalu. Sudah dua hari, sejak pagi buta hingga matahari terbenam, mereka keluar-masuk menggeledah sejumlah ruangan kantor dan pabrik di Jalan Raya Bandung-Garut, Kecamatan Cimanggung, itu.
Sebelumnya, para polisi dari tim penyidik Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI itu menyegel panel listrik dan 13 sumur bor milik korporasi yang memproduksi minuman ringan Coca-Cola dan Pepsi tersebut. Tim memasang garis polisi di panel listrik dan semua sumur bor.
Di ujung penggeledahan, polisi mengambil sampel dari instalasi pengolahan limbah pabrik Coca-Cola. "Kami sempat memprotes karena ini (limbah) tak berkaitan dengan kasus yang sedang diselidiki," kata Leonard Arpan Aritonang, anggota tim kuasa hukum dari kantor pengacara Lubis, Santosa, & Maramis, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Penggeledahan itu bagian dari penelusuran polisi atas dugaan tindak pidana oleh Coca-Cola. Polisi menelisik kasus ini setelah menerima laporan dari lembaga swadaya masyarakat Konsorsium Putrajayaraya pada 5 September 2013.
Dalam laporan yang ditujukan kepada Kepala Bareskrim, LSM yang beralamat di Cihanjuang, Sumedang, itu menuduh Coca-Cola tak mengantongi izin pengambilan air tanah. Pada November 2013, penyidikan perkara ini dimulai. "Berdasarkan penyelidikan kami, mereka terus mengambil air tanah meski izinnya sudah mati," ujar Wakil Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Komisaris Besar Alex Mandalika, Rabu pekan lalu, kepada Tempo.
Polisi menuduh korporasi asal Amerika Serikat ini melanggar Pasal 94 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pasal itu menyebutkan penggunaan air tanah tanpa izin bisa dihukum tiga tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Menurut Alex, perkara yang ditangani timnya itu merupakan kasus baru dan pertama di Indonesia.
Kompleks pabrik dan kantor PT Coca-Cola Bottling Indonesia (CCBI) terhampar di tengah kawasan industri tekstil di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Sumedang, sekitar 26 kilometer arah timur Kota Bandung. Kompleks ini diapit Kampung Pangsor di sebelah barat dan Gardu Induk Tegangan Tinggi Ujungberung di sebelah timur. Di belakang pabrik, sebelah utara, ada selokan, kolam, sawah, dan Kampung Bunter.
Pabrik Coca-Cola di Cimanggung beroperasi sejak 1980-an. Pabrik ini merupakan satu dari sembilan pabrik Coca-Cola di Indonesia. "Kami menciptakan lapangan kerja untuk 1.000 orang Sumedang, Bandung, dan sekitarnya," kata Head of Corporate Communication CCBI Putri Silalahi.
Kuasa hukum PT CCBI, Todung Mulya Lubis, mengatakan, selama 30 tahun beroperasi, kliennya tak pernah bermasalah dengan perizinan. Masalah baru datang sejak tiga tahun lalu, ketika pemerintah daerah tak kunjung memperpanjang surat izin penggunaan air (SIPA). "Klien kami seperti dipingpong antara birokrasi kabupaten dan provinsi," ujar Todung.
Prosedurnya, surat izin penggunaan air dikeluarkan Bupati Sumedang setelah mendapat rekomendasi teknis dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Barat. Dinas Energi mengeluarkan rekomendasi teknis setelah menerima permintaan dari Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan serta Dinas Pertambangan, Energi, dan Pertanahan Kabupaten Sumedang.
Nah, dari 13 sumur bor Coca-Cola di Cimanggung, izin 8 sumur berakhir pada 2010 dan 2011. Sebelum izin kedaluwarsa, kata Putri, Coca-Cola telah mengajukan perpanjangan. Namun perpanjangan izin tak kunjung terbit.
Sembari memohon perpanjangan, Coca-Cola masih menggunakan sumur tersebut. Menurut Putri, itu tak menyalahi aturan. Dia merujuk pada Pasal 79 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008. Menurut aturan itu, surat izin penggunaan air berakhir ketika habis masa berlakunya dan tidak diajukan perpanjangan. "Kami kan mengajukan perpanjangan, jadi tidak melanggar," kata Putri.
Selama mereka meminta perpanjangan izin, menurut Putri, setiap bulan ada utusan pemerintah daerah yang mengaudit perusahaan. Pembayaran pajak dan semua biaya atas pengambilan air pun tetap dipenuhi PT CCBI.
Semua surat dan arahan dari pemerintah selalu ditanggapi dan dilaksanakan PT CCBI. "Termasuk arahan untuk mengembalikan SIPA," ujar Putri. Surat izin yang dikembalikan itu untuk lima sumur, yakni sumur nomor 1, 2, 7, dan 13. Sejak 1 Maret lalu, PT CCBI bahkan menghentikan pengambilan air dari 13 sumur bornya. Mereka beralih memakai air dari Sungai Cimande. Akibatnya, kapasitas produksi pun turun 30 persen.
Kepala Dinas Energi Jawa Barat Soemarwan Hadisoemarto mengatakan pihaknya memang belum merekomendasikan perpanjangan izin sumur Coca-Cola. Alasannya, perusahaan itu belum memenuhi semua persyaratan yang diminta Dinas.
Misalnya syarat kajian teknis neraca penggunaan air sumur. Kajian ini penting untuk mengetahui pemanfaatan air tanah selama ini dan buat bahan rekomendasi volume air yang boleh digunakan Coca-Cola selanjutnya. Selama kajian teknis dan presentasinya tidak dilakukan, "Kami tak bisa mengeluarkan rekomendasi teknis," ucap Soemarwan.
Masalahnya, syarat kajian teknis yang diminta Dinas Energi itu baru keluar pada 31 Desember 2013. Itu pun setelah polisi mulai melakukan penyelidikan. Padahal Coca-Cola telah meminta perpanjangan pada 2010-2011.
Menurut sumber Tempo, andai syarat itu diminta lebih awal, Coca-Cola pasti akan memenuhinya. Pada 2012, misalnya, Coca-Cola diminta Dinas Energi membuat kajian hidrologis. Kajian itu sudah dibuat dan dikirimkan pada 2012. "Namun mereka mengaku tak mendapatkannya," kata sumber itu.
Di tengah jalan, karena rekomendasi dari provinsi tak kunjung datang, Dinas Pertambangan, Energi, dan Pertanahan Sumedang berinisiatif memberikan surat keterangan. Surat itu diteken Kepala Bidang Pertambangan Apep Komarudin. Kepada Tempo, ia menuturkan surat itu hanya berisi keterangan bahwa Coca-Cola sedang mengurus perpanjangan izin. Belakangan, surat keterangan itu malah dipersoalkan polisi. Apep pun sudah dipanggil dan diperiksa polisi. "Surat itu bukan izin, melainkan hanya keterangan," ujar Apep.
Sejauh ini polisi sudah memeriksa 18 saksi, termasuk dua saksi ahli di bidang administrasi negara dan hukum pidana. Setelah menggelar konferensi pers awal April lalu, Markas Besar Polri diberitakan telah menetapkan PT CCBI sebagai tersangka (korporasi). Di sini Todung Mulya Lubis menilai ada keanehan. "Klien saya belum diberi tahu soal status tersangka itu," katanya.
Ketika dimintai konfirmasi pada Rabu pekan lalu, Komisaris Besar Alex Mandalika mengoreksi pemberitaan sejumlah media. Menurut dia, sejauh ini belum ada yang menjadi tersangka dalam kasus Coca-Cola. "Dari hasil gelar perkara terakhir belum ada direksi yang dianggap bertanggung jawab secara hukum," ucapnya.
Menurut Alex, polisi masih mendalami dugaan pelanggaran administrasi. Penyidik yang dikirim ke Sumedang pun masih berfokus mempelajari berbagai dokumen dan risalah perusahaan. Misalnya soal ada-tidaknya perintah mengebor sumur saat izin sudah berakhir.
Menurut Todung, persoalan yang dihadapi Coca-Cola memang seharusnya diselesaikan dengan pendekatan administrasi. Jika dipaksakan dibawa ke ranah pidana, "Yang bakal terjadi adalah kriminalisasi," ujarnya.
Di tengah-tengah menghadapi penyelidikan polisi itu, PT CCBI kini meminta dukungan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Menurut Todung, lembaga pemberi izin investasi di Indonesia itu mesti turun tangan menjernihkan perkara ini.
Yuliawati, Jajang Jamaludin, Singgih Soares, Erick P. Hardi (Sumedang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo