Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Naik Daun Batu Mulia

Batu mulia lokal kian diminati kolektor. Harganya masih bersifat spekulatif.

21 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOTAK persegi kecil berwarna merah tak pernah lepas dari jinjingan Dwi San. Begitu dibuka, di dalamnya terdapat puluhan cincin berhias batu mulia yang jadi koleksi sekaligus usaha sampingan lelaki 35 tahun ini. "Batu-batu ini nilainya bisa sampai ratusan juta rupiah," katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Dwi belum lama menjadi kolektor dan menjalani bisnis jual-beli batu mulia. Ia menekuni bisnis ini ketika tak sengaja membeli cincin berhias batu bacan-batu mulia asli Halmahera Selatan, Maluku Utara-dari seorang kerabatnya, Januari lalu. Harga yang ditawarkan saat itu Rp 2 juta.

Sempat tidak percaya pada harga yang dinilai mahal itu, Dwi akhirnya memutuskan tetap membeli dan memoles batu tersebut. "Sampai warnanya jadi bagus, lalu ada yang meminatinya. Saya jual Rp 60 juta dan jadi ketagihan main cincin."

Dwi bukan satu-satunya orang yang mengeruk untung besar dari batu mulia asli Indonesia. Di pasar batu permata Rawa Bening, Jakarta Timur, puluhan gerai kini lebih sering memajang batu mulia lokal. "Harganya tinggi sekali," ujar Kholik, pemilik empat kios yang memulai usaha batu mulia sejak 2003.

Menurut dia, pamor batu mulia Indonesia kini tak kalah oleh batu permata impor, seperti safir, zamrud, dan rubi, yang biasa didatangkan dari Afrika. Beberapa jenis batu mulia lokal yang sedang naik daun selama dua tahun ini adalah bacan, garut, kalimaya opal, kecubung, dan sungai dareh.

Batu bacan, misalnya, pada awal tahun 2000 paling mahal harganya Rp 500 ribu. Setahun terakhir, nilai batu ini bisa mencapai ratusan juta rupiah. Dulu batu sungai dareh dihargai maksimal Rp 1,5 juta, kini ada yang menawar Rp 300 juta. "Tergantung kualitasnya," kata Apong, pemilik gerai D'Sungai Dareh.

Banyak faktor yang membuat harga batu lokal melonjak. Untuk bacan, harganya menjadi tinggi karena peminat awal batu ini berada di Cina, Korea, dan Taiwan. Mereka tertarik pada bacan karena wujud luarnya menyerupai giok. Apalagi belakangan ini produksi giok terus menurun. "Akhirnya mereka beralih ke bacan. Di sana bahkan mereka sebut sebagai Indonesian jade," ucap Kholik.

Selain itu, batu lokal semakin banyak peminat karena karakternya yang "hidup". Bacan, misalnya, warnanya bisa berubah dari hitam menjadi biru atau hijau jika terus dipoles dan digunakan. Batu sungai dareh, dari semula polos dan bening, bisa tumbuh bercak lumut di dalamnya seiring dengan waktu berjalan. Warnanya juga memiliki variasi cukup banyak, hingga 62 macam.

Menurut Apong, permintaan batu sungai dareh naik 30 persen setahun terakhir. Sementara bacan banyak diminati pembeli Asia, sungai dareh banyak diburu kolektor lokal. Batu dari sungai di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, ini mencuat sejak dipakai Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama.

Ahli geologi Institut Teknologi Bandung, Sujatmiko, mengatakan, dilihat dari jenisnya, bacan dan sungai dareh lebih tepat masuk golongan semi-precious stone atau semi-batu mulia. "Sebab, kadar kekerasannya belum setinggi batu permata berharga, seperti safir dan intan," ujar Sekretaris Jenderal Masyarakat Batu Mulia Indonesia itu.

Dihitung dalam skala mohs, batu-batu lokal itu berada di angka 7. Adapun batu mulia seperti zamrud dan intan bisa berada di atas angka 8. Skala ini digunakan untuk mengukur kekerasan batu mulia dengan cara menggoreskannya satu sama lain.

Sayangnya, kata Sujatmiko, harga di pasar saat ini cenderung bersifat spekulatif. "Seharusnya tidak sampai ratusan juta." Dia berharap tren batu mulia lokal tidak bersifat sesaat. Proses pengolahan dan peningkatan nilai tambah sebenarnya bisa ditingkatkan agar bisnis ini berumur panjang.

Gustidha Budiartie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus