Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Korupsi kesejahteraan (pimpinan)...

Pimpinan pt pertani,rukasah d.,arie h,abdul rahman m.h dan m.soewarno dituduh melakukan tindak pidana korupsi. yang merugikan negara rp 8,8 milyar. mereka menaikkan biaya & jumlah pengangkutan pestisida.

25 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANTOR PT Pertani bagai pindah ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bayangkan, hampir semua pimpinan badan usaha milik negara (BUMN) itu duduk di kursi pesakitan. Pekan-pekan ini bekas Direktur Keuangan dan Bina Usaha, Rukasah Djajadipura, dan bekas Kepala Bagian Perencanaan dan Laporan, Arie Harjanto, diadili. Selain mereka, juga akan diajukan sebagai terdakwa, bekas kepala bagian pestisida, Abdul Rahman Moerdowo Hendradiputra, dan bekas Direktur PT Sumber Tani Agung (PT STA) -- perusahaan rekanan PT Pertani -- M. Soewarno. Semua pejabat PT Pertani itu, menurut Jaksa Poerwanto dan Hamid Harahap -- di persidangan terpisah -- telah melakukan tindak pidana korupsi antara 1982 dan 1988, hingga merugikan negara Rp 8,8 milyar lebih. Bahkan, menurut Jaksa Hamid Harahap, kedua terdakwa dalam kejahatan itu juga bekerja sama dengan bekas Direktur Utama PT Pertani, Rusli Yahya. Pada 1983, Rukasah sebagai Direktur Keuangan dan Bina Usaha bersama-sama dengan Rusli Yahya selaku Dirut PT Pertani dan Soesanto Kasdi selaku Direktur Pengadaan dan Pemasaran mendirikan Yayasan Bhakti Sejahtera (YBS). Yayasan itu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan PT Pertani. Modalnya diambil dari simpanan wajib dan sumbangan dana pensiun karyawan perusahaan BUMN itu. Untuk itu, salah seorang ketua yayasan ditunjuk Arie Harjanto. Pada 1984, PT Sumber Agung (PT SA) lewat Rukasah mengajukan permintaan pada PT Pertani untuk mengangkut pestisida milik Pertani. Berdasarkan permintaan itu, Rukasah menyarankan supaya proyek pengangkutan pestisida itu dilakukan bersama antara YBS dan PT SA. Untuk itu dibentuk perusahaan baru, PT Sumber Tani Agung (PT STA). PT Pertani tanpa lewat tender kemudian menunjuk PT STA untuk melaksanakan pengangkutan pestisida itu. Penunjukan itu yang dipermasalahkan jaksa. Sebab, nilai proyek itu per tahunnya sekitar Rp 2 milyar. Bahkan, menurut hasil pengusutan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), biaya pengangkutan pestisida itu, selama periode 1985 sampai 1988, mencapai angka Rp 10 milyar lebih. Ternyata, pengangkutan pestisida itu tak pula dilakukan PT STA sendiri. Mereka mensubkontrakkan proyek itu kepada perusahaan pengangkutan, seperti pada PT Rama Jasa, PT Cipta Harapan Jaya, PT Bina Andalas, dan CV Palembang Express. Selain proyek itu berjalan tanpa tender, jaksa juga melihat kecurangan yang ada dalam proyek pengangkutan pestisida itu. Misalnya, memanipulasi dalam jumlah pestisida yang diangkut, serta menaikkan biaya angkut. Kenaikan tarif angkutan itu, misalnya, terjadi pada periode bulan Juli 1985 hingga Januari 1987. PT Pertani telah membayar pada PT STA sebesar Rp 4.492.369.610. Sedangkan PT STA hanya membayar pada perusahaan ekspedisi lain berdasarkan tarif yang ditetapkan Departemen Perhubungan, yaitu Rp 1.826.443.345. Dari selisih itu PT Pertani menderita kerugian Rp 2.665.925.265. Pada periode 1987 hingga Desember 1988, PT Pertani membayar ongkos angkut pada PT STA sebesar Rp 4.770.118.534. Padahal, biaya sesungguhnya yang dibayarkan PT STA kepada perusahaan ekspedisi yang mengangkut pestisida itu hanya sebesar Rp 1.632.505.338. PT Pertani menderita rugi Rp 3.137.613.196. Permainan tak hanya ongkos angkut, tapi juga jumlah yang diangkut. Masih menurut jaksa, terdapat kelebihan biaya akibat "dibengkakkannya" jumlah yang diangkut itu senilai Rp 1.051.430.230. Dengan berbagai "permainan" itu, PT STA meraup keuntungan total sekitar Rp 6,8 milyar. Sebagian dari keuntungan itu dibagi-bagi oleh pimpinan Pertani. Rukasah, misalnya, mendapat jatah Rp 615 juta lebih, Arie Harjanto Rp 7,5 juta, dan Abdul Rahman Moerdowo Rp 56,4 juta. Tak cukup bermain ongkos angkut, Rukasah dan Arie Harjanto, tuduh jaksa, juga bermain proyek rumah. Lewat dana YBS mereka melakukan serangkaian kerja samadengan kontraktor bangunan dalam melaksanakan proyek perumahan KPR BTN di Cimahi dan Serang, Jawa Barat. Akibat penyalahgunaan keuangan YBS itu, menurut jaksa, PT Pertani menderita kerugian Rp 2 milyar lebih. Benarkah tuduhan jaksa itu? Abdul Rahman Moerdowo keberatan. "Saya sendiri bingung, kenapa saya yang diajukan sebagai terdakwa. Sebenarnya, masalah ini kan tanggung jawab atasan saya. Seperti Dirut dan lainnya," kata lelaki tinggi besar dengan mata berkaca dengan mata berkaca-kaca kepada TEMPO. Dirut PT Pertani 1979-1987, Rusli Yahya, membantah anggapan seolah-olah kasus ini lahir gara-gara terbentuknya YBS. "Padahal, YBS untuk kesejahteraan karyawan lahir 1983, sementara kerja sama itu terjadi pada 1985," katanya kepada TEMPO. Tapi, kenapa PT STA langsung ditunjuk sebagai kontraktor utama tanpa tender? "Waktu itu, saya tak berpikir tentang tender," alasannya. Menurut Rusli, ketika dia disodori surat oleh Direktur Keuangan, Rukasah, tanpa diteliti lagi, langsung dia tanda tangani. "Menurut prosedur, itu sudah benar. Sebagai dirut yang jarang di tempat, saya kan tak tahu semua hal secara persis," katanya. Tentang praktek PT STA mensubkontrakkan pengangkutan pestisida, menurut Rusli, wajar saja. Sebab, ketika itu, terjadi kesulitan menyalurkan ke daerah, sehingga perlu kerja sama dengan pengusaha ekspedisi daerah. Rusli juga menganggap wajar "membengkaknya" ongkos angkut. Sebab, katanya, sejak Juni 1987 ada kenaikan tarif. "Saya memang tak mengecek, karena tak ada keluhan dari staf maupun daerah," katanya. Tidak benarkah tuduhan jaksa? "Mengenai benar atau tidaknya tuduhan, tentu tak mungkin jaksa menahan orang tanpa bukti yang cukup," katanya. Artinya, memang ada pimpinan PT Pertani yang main. Tapi bukan Rusli. Percaya. Gatot Triyanto, Andy Reza, dan Ivan Haris

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus