Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Monumen grafis 17 agustus 1946

Kumpulan karya grafis "linoleographs" oleh baharudin marasutan dan mochtar apin diterbitkan pada ulang tahun ri i. diberikan kepada negara yang telah mengakui kedaulatan ri sebagai tanda terima kasih.

25 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERINGATAN ulang tahun Republik Indonesia yang belum pernah ditiru orang hingga sekarang ternyata dilakukan oleh Sekretariat Menteri Negara Urusan Pemuda seksi Perhubungan Luar Negeri pada tahun 1946. Caranya, menerbitkan kumpulan karya grafis. Sembilan belas gambar cukilan linoleum, tercetak pada lembar kertas lepas berukuran sekitar 45 X 37 cm, disatukan dalam portofolio bertuliskan "Linoleographs". Pada kolofon -- tulisan pada lembar penutup, berisi data penerbitan -- tercetak keterangan dalam tiga bahasa: Indonesia, Prancis, dan Inggris. Keterangan dalam bahasa Indonesia, begini: Koempoelan ini, berisi sembilanbelas lembar pahatanlino, diterbitkan OEROESAN PEMOEDA -- PERHOEBOENGAN LOEAR NEGERI (Sekretariaat Menteri Negara) di DJAKARTA, mendjadi peringatan setahoen REPOEBLIK INDONESIA, pada tanggal 17, hari boelan 8, tahoen 1946. Penerbitan sematjam ini adalah jang pertama didalam sedjarah kesenian Indonesia. Pahatanlino ini ditjetak dengan tangan oleh kedoea pemahatnja sendiri dengan memakai pers tangan BALAI POESTAKA di DJAKARTA, kertas-tidak-berserat Howard Ledger dan "Oud Hollands". Penerbitan ini terbatas sedjoemlah 36 (tiga poeloeh enam boeah), jang nomor A-B-C, ditjetak keatas kertas "Oud Hollands" dan nomor IV-XV, ditjetak kertas Howard Ledger, disediakan oentoek OEROESAN PEMOEDA -- PERHOEBOENGAN LOEAR NEGERI. Tiap-tiap koempoelan diboeboehi angkanja serta ditanda tangani oleh pemahatnja: BAHARUDIN, lahir di Boekit Tinggi, tahoen 1910, dan MOCHTAR APIN, lahir di Padang Pandjang, tahoen 1923. Cukilan ("pahatan") lino, cetak tangan (bukan mesin), kertas pilihan, dan kecermatan serta kehati-hatian dalam kerja menampakkan upaya keras untuk menghasilkan karya yang layak bagi para bibliophile, yaitu para pencinta dan pengumpul buku, khususnya buku yang langka dalam mutu cetakan, jilid dan (atau rancangan portofolio). Dan ini yang pertama di Republik Indonesia. Untuk apa? Menurut Mochtar Apin, kepada setiap negara yang pada waktu itu telah mengakui kedaulatan Republik Indonesia, misalnya India dan Australia, Sekretariat Menteri Negara Urusan Pemuda memberikan satu eksemplar kumpulan grafis itu sebagai pernyataan terima kasih. Mochtar-Apin mengakui, itu bukan gagasan dia. Baharudinlah yang datang kepadanya dan mengajaknya ke dalam proyek grafis itu. Agaknya, Baharudin dan Sekretariat Menteri Negara Urusan Pemuda sudah membicarakan dan mematangkan gagasan itu. Seni grafis ini berkemampuan melahirkan karya ganda: ada beberapa, tetapi sama. Mereka hanya mempunyai waktu sekitar tiga bulan, dan itu pun bukan kurun waktu yang aman tenteram. Suasana sosial dan militer panas, diselingi bentrok senjata. Toh, Baharudin dan Mochtar Apin tekun melaksanakan tugasnya. Dan proyek Linoleographs itu rampung pada waktunya. Cendekiawan dan pegiat politik Soedjatmoko dan Maria Ulfah menanggapi dengan gembira. Sastrawan Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin memuji dan menyemangati. Baharudin dan Mochtar Apin tidak membuat agitasi dan propaganda. Mereka berungkap seni dengan tulus saja: mengungkapkan perasaan dan gagasan, serta lihatan mereka tentang lingkungan, dengan sewajarnya saja. Baharudin Marasutan, yang meninggal pada 1988, masa itu orang penting di Balai Pustaka. Sejak zaman Jepang ia memimpin seksi klise, rancangan buku, dan tipografi di sana. Ia telah mempelajari grafika pada beberapa percetakan dan pabrik klise, dan dari 1930 hingga 1942 ia membuka usaha sendiri di bidang ini. Baharudin membuat 10 cukilan lino, menyajikan citra wajah orang, petikan dari kehidupan sehari-hari rakyat, dan petikan sudut kota. Minta-Minta menggambarkan seorang perempuan dengan dua anaknya. Bidang yang sebagian besar hitam (lino-leum dibiarkan tidak dicukil), memberi suasana murung dan berat. Garis-garis halus dan terputus yang menggambarkan sosok orang itu, membangkitkan gagasan dan perasaan tentang ketidakberdayaan. Bandingkan gambar ini dengan Pelacuran yang memperlihatkan banyak bidang putih, dan menyajikan keriahan tempat orang, secara lancung, menenggelamkan diri. Mochtar Apin, sekarang pensiunan guru besar Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, masa itu masih remaja yang duduk di tingkat terakhir Sekolah Menengah Tinggi (sejenis SMA). Dibakar oleh minat dan semangat mempelajari seni rupa, ia telah belajar kepada H. van Velthuysen, pelukis dan guru gambar, dan mengikuti kursus tertulis yang diberikan dari Negeri Belanda. Apin membuat sembilan cukilan lino menyajikan citra orang dan petikan dari kehidupan sehari-hari. Arak-arakan, semacam saduran dari sebuah foto yang ditemukannya di salah satu surat kabar, memperlihatkan cukilan yang tegas yang menampilkan raut-raut yang tegang, memberikan kepada gambarnya kerangka atau struktur yang kukuh, sekaligus dinamisme. Tekad teguh dan semangat kuat yang terungkap dalam tulisan Sekali Merdeka Tetap Merdeka, dengan demikian, terungkapkan dalam rupa. Kita pun dapat mengamati, betapa dalam Perempuan Tua, citra ketuaan, penderitaan, dan beban batin, bangkit dari hasil kerja cukil-mencukil. Kedua pegrafis itu hampir tidak menggunakan warna. Hanya satu pekerjaan Apin, dan dua pekerjaan Baharudin, berisi warna, itu pun minim. Waktu yang mendesak dan suasana yang tegang, memang, tidak menyediakan kesempatan cukup santai untuk membuat dan mencetak banyak klise lino yang dituntut oleh warna-warni. Sutan Takdir Alisjahbana mengantar kumpulan cukilan lino ini dengan esai pendek, dalam tiga bahasa. Dan ia menulis sebagai ketua Perkumpulan Memadjukan Ilmu dan Kebudajaan. Begini kutipan lengkap, dalam ejaan sekarang. Suatu bangsa yang tujuh puluh miliun jiwanya, sudah bangun dan sedang berjuang untuk merebut hak dan tempatnya yang layak di antara bangsa-bangsa yang lain. Di tengah-tengah kekacauan revolusi setelah berabad-abad terjajah dalam kemiskinan dan kegelapan, yang akhirnya memuncak dalam penindasan dan penghinaan yang tiada berhingga selama Perang Dunia Kedua, mungkin sekali yang lantang kedengaran ke dunia luar hanyalah kisah pemuda yang nekat bertempur untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan tanah airnya. Tetapi salah sekali orang kalau menyangka bahwa revolusi yang terjadi di Indonesia sekarang hanya berbentuk kekerasan, pertumpahan darah, terbakarnya kota dan desa. Sebab, tak kurang besar dan dahsyatnya dari perjuangan dan pertempuran yang telah berjalan setahun sekarang ialah revolusi dalam jiwa pemuda Indonesia. Malah ditilik dari suatu jurusan, perjuangan dan pertempuran yang nekat itu pun pada hakikatnya hanya suatu penjelmaan daripada revolusi di dalam jiwanya itu. Di mana-mana di segala lapangan hidup nampak kegelisahan dan hasrat yang tiada tertahan-tahan untuk mencahari bentuk buat perasaan dan pikiran yang membakar di dalam dada. Mengharukan hati melihat bagaimana besarnya kehausan pemuda Indonesia akan ilmu sehingga di mana-mana terjadi perebutan buku dan majalah yang amat sedikit jumlahnya datang dari luar, mengharukan hati melihat bagaimana di beberapa golongan tiada tertahan lagi hati untuk melawat ke luar negeri agar dapat mengembangkan pemandangan dan pengetahuan, mengharukan hati melihat usaha penciptaan ke berbagai-bagai arah dengan alat yang bersahaja: berpuluh-puluh majalah dan risalah terbit yang membicarakan seribu satu soal perjuangan dan pembangunan di lapangan politik, ekonomi, kebudayaan, dan masyarakat. Pahatan lino yang disajikan sekarang ini ialah suatu contoh yang lain pula, betapa kerasnya hati angkatan baru Indonesia untuk menjelmakan dirinya. Kesempatan untuk belajar menggambar dan melukis tak pernah ada, tetapi dari petunjuk dan contoh yang sedikit-sedikit diperoleh dari buku dan orang asing, yang kebetulan bersua, diusahakan mencahari jalan sendiri untuk menyatakan yang tak tertahan-tahan terasa dan terpikir di dalam hati. Suatu bangsa yang muda mengetuk di pintu peri kemanusiaan minta penghargaan, minta bantuan untuk perjuangannya dalam merebut hak manusia yang termulia: menjelmakan diri sendiri dalam pergaulan bangsa. Kutipan itu jelas memperlihatkan gagasan yang dianut kebanyakan cendekiawan dan seniman kita masa itu: kelahiran seni baru ("seni modern") di Indonesia adalah bagian dari kelahiran bangsa baru -- bangsa Indonesla. Sanento Yuliman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus