NASIB pengacara Trimoelya D. Soerjadi, Ketua Dewan Kehormatan Peradin Surabaya, diambang pupus. Hakim Wiliyarto, yang mengadili orang yang sedang dibelanya, menunda persoalan pokok dan menggunakan persidangan untuk menyoal status kepengacaraannya. Bila Tri tak juga mau mendaftar diri ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur, bukan saja ia tak boleh mendampingi kliennya, tapi juga tak bakal bisa berpraktek sebagai pengacara. Ini soal lanjutan. Hakim Willyarto semula hanya akan mengadili sengketa saja. Tapi ada titipan. Surat edaran Ketua Pengadilan Tinggi setempat menyebutkan agar hakim bertanya pada pengacara: "Sudahkah mendaftar kembali untuk mendapat izin praktek?" Hakim pun mengikuti surat edaran. Tri mengatakan "belum", dan menegaskan bahwa dirinya tidak akan melakukan itu. Hakim lalu menunda sidang setelah meminta pendapat pengacara pihak lawan perkara, Abdullah Thalib, yang sudah mengantungi izin yang dimaksud. Tapi Abdullah Thalib justru mengatakan agar tak usah mempersoalkan itu. Sedang Tri minta agar ia boleh mengajukan pembelaan diri dalam sidang berikutnya, pekan ini. Pada sidang berikutnya, acara hanyalah pembacaan naskah bela diri Tri tentang sikapnya. Ketika itu hakim lagi-lagi mempersoalkan kepengacaraan Tri, dan mendapat jawaban yang sama dengan waktu sebelumnya. Sidang pun ditunda lagi, tetap tanpa membahas materi perkara. "Saya tidak akan pernah mau mendaftar," kata Tri. Ia, alumnus Universitas Airlangga yang sudah 20 tahun menjadi advokat, begitu yakin bahwa sikapnya benar. Seolah ia melanjutkan sikap keras rekannya, Almarhum Pamudji. Merekalah yang menolak Surat Keputusan Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang mengharuskan setiap pengacara di provinsi ini mempunyai izin praktek setempat setahun lalu (TEMPO, 16 Februari 1985). Tapi sekarang Pamudji sudah tiada, dan Ketua Pengadilan Tinggi Syafar Luthan sudah mengeluarkan surat edaran bahwa ketentuan yang dibuatnya harus diberlakukan. Tri memang biasa berkeras. Dasarnya menurut Tri, tidaklah berhak tingkat daerah memasalahkan keadvokatannya yang diangkat dan disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman. Namun, ia bisa memaklumi tindakan hakim. "Saya menyadari posisi pengadilan negeri," ujarnya, setengah bergurau. Hampir semua pengacara mendukung sikap Tri. "Masa saya mau menjatuhkan kawan," kata Abdullah Thalib, menanggapi permintaannya pada hakim agar hal seperti itu tak dibicarakan di persidangan. Sedang Ny. Sutanti Winarto, juga Ketua Dewan Kehormatan Peradin Surabaya sekaligus mandataris Ikadin, menyebut bahwa bila campur tangan Ketua Pengadilan Tinggi menyangkut pengawasan dan pendataan masih boleh. Tapi tidak, bila menyangkut status kepengacaraan. Namun, nyatanya, hampir semua pengacara di Jawa Timur menaati ketentuan lokal tadi. Mereka mendaftar secara kolektif selain -- tentu saja -- Tri. "Kami memenuhi imbauan Ketua Mahkamah Agung untuk menghormati (ia minta agar kata menghormati digarisbawahi) SK Ketua Pengadilan Tinggi," kata Sutanti. Ketika setahun lalu ribut, Peradin memang mengirim surat ke Mahkamah Agung soal tersebut. Dan seperti itulah jawabannya sambil menyebut bahwa undang-undang kepengacaraan tengah disusun. Lalu Tri akan menjadi tumbal Peradin? "Ah, tidak. Lagi pula, Pak Tri menanggap dirinya sebagai kelinci percobaan . . .he. . he," seloroh Sutanti. Ketua Pengadilan Tinggi Syafar Luthan tak banyak mengomentari. Surat edarannya kini, yang tersebar di semua pengadilan negeri di Jawa Timur, menyertakan lampiran daftar nama pengacara/advokat yang sudah mendaftar ke lembaganya. Selain itu tentu pembangkang. Ia, dalam pernyataannya silam, tetap menganggap perlu izin itu untuk pendataan dan pengawasan. Kini sikap keras Tri dan surat keputusan itu akan saling menguji. Sidang akan dilanjutkan lagi minggu ini. Apakah ia akan dilarang bertugas atau diskors, tak dirisaukan Tri: "Asal ada alasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, ilmu, dan keadilan." Jalil Hakim dan Zaim Uchrowi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini