Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Masih Tentang Perut Dan Kepala

Undang undang peradilan umum yang baru disahkan DPR dikritik berbagai kalangan hukum. Soal dua induk hakim (Depkeh & MA) dianggap suatu kemunduran. Kebebasan hakim dikurangi. Menkeh dan FKP membantah.(hk)

8 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IMPIAN sebagian kalangan hukum, agar hakim tidak lagi berada di bawah dua instansi -- "perutnya" di Departemen Kehakiman dan "kepalanya" di Mahkamah Agung -- mulai Sabtu pekan lalu harap dikuburkan saja. Sebab, Undang-Undang Peradilan Umum, yang disahkan DPR bersama pemerintah itu, selain hal itu diakui juga ditegaskan bahwa hakim adalah pegawai negeri. Undang-undang itu adalah pelengkap dari Undang-Undang Mahkamah Agung yang disahkan akhir tahun lalu. Apakah hasil produk legislatif terakhir itu berarti kemunduran dari cita-cita kebebasan peradilan? Kata sambutan Menteri Kehakiman Ismail Saleh, atas disahkannya undang-undang itu, membantah, "Undang-undang itu dimaksudkan untuk menggantikan Undang-Undang No. 13 tahun 1965 yang memungkinkan pihak eksekutif mencampuri urusan yudikatif." Dibandingkan undang-undang produk Orde Lama, Undang-Undang Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, yang baru ini memang lebih menjamin kebebasan peradilan. Sebab, dalam undang-undang lama, yang berdasarkan Manipol itu, lembaga yudikatif terang-terangan ditempatkan di bawah kekuasaan eksekutif. Salah satu pasalnya, pasal 23, misalnya berbunyi, "Dalam hal-hal presiden melakukan turun tangan, sidang seketika menghentikan pemeriksaan yang sedang dilakukan ...." Campur tangan presiden dalam proses peradilan semacam itulah yang menjadi target utama untuk dikuburkan. Hasilnya, dengan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 tahun 1970), ketentuan-ketentuan semacam itu ditiadakan. Berkali-kali ditegaskan pada undang-undang yang lahir di awal Orde Baru itu bahwa kekuasaan kehakiman harus merdeka dari kekuasaan mana pun. Pada pasal 21 disebutkan bahwa hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara. Dengan begitu, menurut penjelasannya, maka dijaminlah kebebasan kedudukannya. Satu-satunya ganjalan yang masih dirasakan berbagai kalangan hukum dengan undang-undang produk Orde Baru itu hanyalah ketentuan lama yang tetap dipertahankan: soal dua induk lembaga peradilan. Urusan administrasi, organisasi, dan finansialnya di bawah Departemen Kehakiman, sementara pengawasan tugas-tugas yudikatifnya di bawah Mahkamah Agung. Karena itu, penegasan Undang-Undang Peradilan Umum yang baru, tentang hakimhakim tetap di bawah dua induk, dirasakan para ahli hukum sebagai kemunduran. Sebab, selain ditegaskannya hakim sebagai pegawai negeri, undang-undang baru itu menegaskan bahwa kekuasaan Departemen Kehakiman justru lebih besar. Misalnya, Departemen Kehakiman disebutkan mempunyai wewenang untuk membina dan mengawasi hakim selaku pegawai negeri. Bahkan, dicantumkan pula Departemen Kehakimanlah yang berhak mengusulkan kepada presiden, apakah seorang hakim diangkat atau diberhentikan, dengan persetujuan Mahkamah Agung. "Undang-undang baru itu lebih mundur dari yang sebelumnya. Sebab, tegas-tegas pemerintah berhak mengatur hakim," ujar Pengacara Adnan Buyung Nasution. Rekannya, Harjono Tjitrosoebono, ketua wadah tunggal advokat, Ikadin, mengeluarkan pendapat yang hampir senada, "Undang-undang baru itu hanya semacam penegasan dari situasi yang sudah ada sekarang ini." Idealnya, menurut Harjono, hakim itu adalah pejabat negara dan bukan pegawai negeri. Kekhawatiran Harjono, dengan status hakim sebagai pegawai negeri, dihubungkannya dengan pemberian wewenang hakim sebagai pengawas advokat -- seperti ditentukan Undang-Undang Mahkamah Agung. "Kan mati kami ini, mau ke mana lagi? Sekarang advokat itu seakan-akan pegawai yang kehilangan kebebasan juga. Akibatnya, proses peradilan juga kehilangan kebebasan," tambah Harjono. Kritik terhadap Undang-Undang Peradilan Umum dan Mahkamah Agung itu memang telah muncul sejak sebelum kedua RUU diajukan ke DPR. Organisasi para hakim sendiri, misalnya, Mei lalu mengagetkan dengan tuntutannya di DPR yang meminta profesi mereka tidak lagi diurus dua instansi. Mereka juga minta ditetapkan sebagai pejabat negara. "Sebaiknya soal administrasi, organisasi, dan finansial hakim diurus Sekretariat Negara -- seperti lembaga-lembaga nondepartemental lainnya," ujar Ketua Ikahi Soejadi. Soejadi, yang juga hakim agung itu, mempersoalkan pula pengawasan yang dilakukan Kanwil-Kanwil Departemen Kehakiman. "Sebab, ada pihak-pihak yang mencoba mengusut, bila seorang hakim membebaskan atau menghukum terdakwa," kata Soejadi (TEMPO, 8 Juni 1985). Hanya saja, harapan Ikahi itu lenyap, setelah Ketua Mahkamah Agung Ali Said menganggap aneh tuntutan itu. Bahkan, belakangan, pimpinan Ikahi meminta maaf setelah merasa "kelepasan" kata. Toh, di tengah berbagai kritik dan kekhawatiran, kedua undang-undang itu lahir juga. Juru bicara Fraksi Karya Pembangunan (FKP), Nyonya Sariati Prawoso, mengakui bahwa masuk akal bila hakim tidak akan bebas jika ia pegawai negeri. Tapi, katanya, "Kebebasan kekuasaan kehakiman bukanlah ditentukan apakah ia pegawai negeri atau tidak. Kami berpendapat, hal itu ditentukan oleh mental hakimnya sendiri, dan karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk membina mental hakim yang baik." Menteri Kehakiman Ismail Saleh malah lebih mengkhawatirkan kebebasan hakim akan terganggu oleh kekuasaan-kekuasaan di luar peradilan dan juga di luar eksekutif. "Adalah tidak mungkin bagi hakim untuk dapat mengambil keputusan yang bebas apabila mereka senantiasa diliputi rasa ketakutan, kekhawatiran, dan ancaman -- baik langsung atau tidak," ujar Ismail Saleh, sambil mengingatkan bahwa akhir-akhir ini ada yang melakukan tindakan meremehkan wibawa peradilan (contempt of court). Sebab itu pula Ismail Saleh merasa gembira dengan tercantumnya soal contempt of court dalam Undang-Undang Mahkamah Agung. "Pemerintah menyambut positif kesepakatan untuk membuat undang-undang sendiri yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap -- baik secara langsung maupun melalui media massa yang dapat merongrong, merendahkan martabat atau wibawa peradilan," ujarnya. Undang-undang khusus semacam itu memang disepakati DPR dan pemerintah untuk dibuat di kemudian hari. Kesepakatan itu dicantumkan pula pada penjelasan Undang-Undang Mahkamah Agung yang baru. Tapi, yang menarik, sebelum undang-undang itu lahir, pengacara terkenal Adnan Buyung Nasution telah dipanggil oleh Pengadilan karena dianggap menghina dan meremehkan pengadilan ketika membela perkara H.R. Dharsono. Karni Ilyas Laporan Musthafa Helmy & Agus Basri (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus