Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sidang Supermarket

Adnan Buyung Nasution dipanggil ketua pengadilan Jak-pus. Dituduh menghina wibawa peradilan (contempt of court) ketika membela Dharsono. Buyung menyangkal dan menuduh hakim yang menghina pengacara. (hk)

8 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBELA H.R. Dharsono, Adnan Buyung Nasution, muncul lagi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi hari itu, Senin pekan lalu, ia titak mengurus perkara kliennya. Ia dipanggil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Soebandi, karena dianggap telah menghina martabat pengadilan contempt of court dengan aksi protesnya ketika membela Dharsono. Ia diadukan secara resmi oleh majelis hakim perkara Dharsono yang diketuai Soedijono. Dalam laporannya setebal 5 halaman, tertanggal 5 Februari, Soedijono dan anggota majelisnya menguraikan kembali "insiden" ketika membacakan vonis atas Dharsono, 8 Januari lalu. Menurut gambaran majelis hakim, ketika itu, sidang agak panas karena teriakan-teriakan massa yang menyindir dan mencemarkan hakim. Panasnya suasana itu, kata majelis, akhirnya meledak. Ketika itu, lapor majelis, pihaknya tengah membacakan pertimbangan hukum yang berbunyi antara lain: "Penasihat hukum, yang berkesimpulan bahwa pihak pemerintah telah mematangkan situasi, seakan-akan peristiwa Tanjung Priok ini telah direncanakan sebelumnya. Rupanya, tim penasihat hukum terlalu pagi menarik konklusi tanpa didukung oleh bukti-bukti yang cukup kuat. Konklusi ini sangat berbahaya, sebab dapat menimbulkan image yang jelek dari rakyat terhadap pemerintah. Ini merupakan suatu tindakan yang tidak pantas dan tidak etis ...." Pertimbangan majelis, yang dibacakan Hakim Anggota Achmad Intan itu, memang segera terhenti karena protes Buyung. Pengacara itu menyambar pengeras suara di depannya dan berseru, "Saya protes kata-kata majelis itu -- siapa yang tidak etis?" Suasana menjadi gaduh. Pada saat itu petugas kepolisian masuk ruang sidang. Tapi Buyung langsung menuding polisi itu, "Ruangan ini wewenang hakim, bukan polisi. Polisi keluar!" Polisi memang keluar. Dan sidang bisa dilanjutkan setelah suasana tenang kembali. Pada hari itu H.R. Dharsono divonis majelis hakim 10 tahun penjara (TEMPO, 18 Januari 1985). Majelis Hakim, menurut laporan itu, memang tidak menindak tegas -- misalnya, tidak mengusir Buyung dari sidang -- karena mempertimbangkan pengunjung sidang sudah demikian panasnya sehingga dikhawatirkan akan menggagalkan jalannya sidang. Ketika itu, banyak pengunjung yang berteriak-teriak sambil berdiri bahkan menginjak kursi-kursi. Hari itu, apalagi, bertepatan pula dengan hari terakhir masa tahanan Dharsono di persidangan tingkat pertama. Pengaduan Soedijono dan kawan-kawannya itu didisposisi Ketua Mahkamah Agung agar diperiksa oleh Hakim Soebandi. Ketua Mahkamah Agung, Ali Said, membenarkan bahwa Buyung menghina pengadilan. "Baca saja KUHAP. Kita 'kan harus menghargai pengadilan," kata Ali Said kepada Eko Yoeswanto dari TEMPO. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Soebandi, juga membenarkan pihaknya telah memanggil Buyung atas pengaduan majelis hakim perkara Dharsono. Buyung, kata Soebandi, telah diberi kesempatan untuk mengajukan jawaban dalam waktu 10 hari. Soebandi menolak menjelaskan isi pengaduan Soedijono, begitu pula sanksi yang bisa dikenakan terhadap Buyung. "Itu top secret, nanti saja kalau sudah diputuskan," ujar Soebandi. Anehnya, Soedijono, yang kini sudah dipromosikan menjadi hakim tinggi di Medan, membantah telah mengadukan Buyung. "Saya tidak pernah mengadukan Buyung-tanya akan saja ke Pengadilan Jakarta Pusat," ujar Soedijono, kepada Bersihar Lubis dari TEMPO di Medan. Tapi, seandainya Buyung dipanggil untuk diperiksa pengadilan, kata Soedijono, bukanlah hal yang aneh. "Selain sikap Buyung tidak terpuji, ia melanggar hukum acara," kata Soedijono, mengutip pasal 217 sampai 219 KUHAP. "Dari pasal-pasal itu bisa ditafsirkan persidangan pengadilan bukanlah supermarket," tambahnya Soedijono memang menyesali sikap Buyung. "Kalau ia tidak setuju dengan vonis itu, toh, ia bisa banding," katanya. Ia bahkan mengatakan, seandainya masih menjabat ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ia akan memanggil Buyung karena pengacara itu dianggapnya melanggar tata tertib sidang. "Jika tidak, bisa menjadi preseden buruk nanti," tutur Soedijono. Dasar hukum pemanggilan itu, menurut Soedijono, diatur Undang-Undang Mahkamah Agung yang baru -- pengacara diawasi oleh Mahkamah Agung. Buyung Nasution mengaku dipanggil Soebandi untuk kasus itu. Kepada Agus Basri dari TEMPO, Buyung menyangkal telah merendahkan martabat pengadilan. "Tindakan saya waktu itu justru untuk menegakkan wibawa peradilan. Sebab, ketika itu, polisi sudah masuk ruangan sidang, sementara pengunjung pada berdiri. Situasi ketika itu berbahaya," kata Buyung. Ia mengaku memprotes langsung ucapan hakim yang menganggap pengacara tidak etis. "Kalau saya tidak menjawab seketika itu juga, saya kehilangan momentum, karena di tingkat banding hal semacam itu tidak akan dibahas," kata Buyung, yang mengaku seumur hidup baru kali itu ia dituduh hakim tidak etis. Buyung malah menganggap seharusnya majelis hakim yang dituntut karena menghina pengacara dalam kasus itu. "Hakim menggunakan vonis untuk menghina pengacara," tuduhnya. Buyung mengatakan tidak akan menjawab langsung tuduhan majelis itu. Sebab, katanya, siapa yang mengawasi pengacara itu belum jelas -- ketua Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung. Selain itu, katanya, sampai saat ini belum jelas pula prosedur pemeriksaan pengacara, dan siapa yang harus memeriksa. "Saya setuju Contempt ocourt diterapkan di Indonesia, tapi jangan asal 'nyontek dari luar saja. Perlu disesuaikan dengan kondisi kita. Dan, jangan pula dijadikan sebagai alat untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari turunnya wibawa peradilan sekarang ini," kata Buyung. Ketua Ikadin, Harjono Tjitrosoebono, berpendapat bahwa seharusnya bila ada advokat yang bersalah, organisasinyalah yang mengadili. "Yang tahu persis pelanggaran suatu profesi 'kan orang di dalam profesi itu sendiri," kata Harjono. Sebab itu pula, ia merasa berkeberatan dengan fungsi pengawasan advokat yang belakangan ini digalakkan secara sepihak oleh peradilan. "Kalau begini, profesi kami dicampuri oleh lembaga di luar, sementara kami sendiri tidak diajak serta. 'Kan kami juga punya Dewan Kehormatan," kata Harjono. KI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus