AKHIRNYA Widodo Sukarno meringkuk di Penjara Salemba. Peristiwa Kamis dinihari, pekan lalu, itu membuktikan bahwa usahawan yang terlibat kasus Gedung Arthaloka itu ternyata tidak kebal hukum. Ia menjadi penghuni rumah tahanan Blok L kamar nomor 2. Rekannya, Rudi Pamaputra, ada di kamar sebelahnya. Presiden Direktur PT Mahkota Real Estate beserta wakilnya itu ditahan berdasarkan alasan "demi keamanan": jangan sampai keduanya melarikan diri, meski mereka termasuk daftar hitam -- tidak boleh ke luar negeri. Widodo dan Rudi dituduh korupsi sebesar Rp 10 milyar. Hal itu dilakukan ketika PT Taspen menunjuk Mahkota Real Estate sebagai pihak yang membayarkan uang Taspen kepada para kontraktor yang membangun Gedung Arthaloka. Keduanya memanipulasikan uang negara sebesar Rp 1 milyar. Demikian pula, sewaktu dipercaya mengelola bangunan bertingkat 19 itu, keduanya disangka memakan hasil sewa gedung Rp 9 milyar. Dalam hal ini, kata sebuah sumber TEMPO, ada oknum-oknum dari Taspen dan Departemen Keuangan yang kecipratan. Melihat kenyataan ini, pihak Taspen (Tabungan Asuransi Pensiun) menuduh Mahkota mengkhianati perjanjian. "Mereka mengelola gedung terus-menerus, tapi tidak pernah memberikan laporan tahunannya," kata Johan Barus, Ketua Tim Manajemen Arthaloka. "Tentu saja negara yang dirugikan" (TEMPO, 26 Oktober 1985). Padahal, menurut perjanjian yang disepakati, 1972, Widodo dan Rudi berkewajiban menyetorkan semua hasil pengelolaan gedung, dan hanya beroleh uang jasa atas pengelolaan sebesar 5%. Oleh karena itu, terhitung sejak 23 September tahun lalu, Taspen -- selaku pemilik gedung -- mengambil alih pengelolaannya Selanjutnya, untuk menutup manipulasi keuangan, kejaksaan menyita tanah milik Widodo dan Rudi di Megamendung, Batuceper, dan Gadog di Jawa Barat, satu di sebelah kanan dan belakang Arthaloka sendiri. Widodo tidak membantah perihal uang sewa. Tapi, mengenai pengambilalihan gedung beserta isinya itu, menurut Widodo Sukarno, 53, merupakan tindakan perampokan dan mencemarkan nama baiknya. "PT Mahkota 'kan bukan milik Taspen," katanya. Oleh karena itu, ia menggugat pemilik Arthaloka itu sebesar Rp 41 milyar. Widodo balik menuduh, pihak Taspenlah yang mengingkari perjanjian. Dalam perjanjian, katanya, disepakati bahwa gedung Arthaloka di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat dibangun di atas tanah miliknya dengan biaya pembangunan dari Taspen. Hak atas gedung dan tanah disepakati menjadi milik Taspen. Sedangkan hak pengelolaannya ada pada Mahkota. Jadi, "Saya ini tetap sebagai pengelola yang sah, dan berhak atas pengelolaan itu." Sebagai pengelola gedung, "Waktu itu memang melibatkan beberapa pejabat penting dari Taspen dan Departemen Keuangan. Mereka ikut menikmati," katanya tegas. "Tapi, kenapa cuma saya yang diusut?" Ia tahu siapa yang ada di belakang pengusutan itu. "Opstiblah yang membuat skenario untuk memidanakan saya. Ini dipaksakan," katanya. Padahal, "Ini 'kan soal perdata biasa," tambah sarjana administrasi bisnis dari New York University itu. "Jadi, penangkapan ini tidak sah." Kajati DKI, Soetanto, mengemukakan bahwa penangkapan tidak terlepas dari berkas pidana yang segera dilimpahkan ke pengadilan. "Penahanan ini termasuk strategi. Sekarang ini zamannya orang pada melarikan diri," katanya. Apalagi, selama ini, Widodo dan Rudi selalu menyatakan dirinya aman. "Mereka itu tidak tahu bahwa akan disidangkan," tambah Soetanto, sembari tersenyum. Rupanya, suatu sumber TEMPO mengemukakan, pihak kejaksaan bisa membaca situasi: "Siapa-siapa di belakang Widodo sekarang sudah rapuh." Agus Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini