Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengadilan menyatakan suap ke empat pegawai Direktorat Jenderal Pajak merupakan inisiatif konsultan.
Pengacara salah seorang terdakwa mengungkap kejanggalan suap pajak karena tak mengusut pemilik perusahan pemberi suap.
Hanya satu terdakwa yang dijerat pasal pencucian uang.
DI ujung persidangan korupsi pajak di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Rabu, 2 Februari lalu, Alfred Simanjuntak menyela majelis hakim. Mantan tim pengawas pemeriksa pajak ini menjadi terdakwa bersama tiga pegawai Direktorat Pajak lain. Mereka didakwa menerima suap guna memainkan pajak sejumlah perusahaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada hakim, Alfred meminta waktu berbicara. Ia meyakinkan majelis hakim bahwa nota keberatan atau eksepsi yang dibacakan tim kuasa hukumnya merupakan kebenaran dalam sidang tersebut sebagai kebenaran. “Eksepsi ini kami yakini benar,” kata Alfred, 51 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permintaan Alfred bertepuk sebelah tangan. Ketua majelis hakim, Fazhal Hendri, tak mau membahas keberatan itu dan mengatakan akan mengkajinya lain waktu. “Jika masuk pokok perkara, saya sudah bilang, dari awal akan kami tolak. Nanti saja di proses pembuktian,” ucap Fazhal. Alfred langsung diam seribu bahasa.
Dua terdakwa Angin Prayitno Aji (kanan) dan Dadan Ramdani, mengikuti sidang pembacaan surat amar putusan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 4 Februari 2022/TEMPO/Imam Sukamto
Ia duduk di kursi terdakwa bersama koleganya sesama pengawas tim pemeriksa pajak, Wawan Ridwan, 56 tahun. Pada Rabu siang itu, hanya Alfred yang mengajukan eksepsi. Wawan ingin langsung membahas ke pokok perkara. Sebelum masuk pengadilan, perkara ini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jaksa mendakwa Wawan dan Alfred menerima suap bersama mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak, Angin Prayitno Aji, dan Kepala Subdirektorat Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan, Dadan Ramdani. Mereka diperkirakan menerima suap pajak sekitar Rp 15 miliar dan Sin$ 4 juta (Rp 40 miliar).
Besel itu diserahkan agar mereka mengurangi nilai pajak yang harus dibayar ke negara oleh PT Gunung Madu Plantations, PT Bank Pan Indonesia (Bank Panin), PT Jhonlin Baratama, dan sejumlah perusahaan lain. Berbeda dengan ketiga pejabat lain, hanya Wawan yang dijerat dengan pasal pidana pencucian uang.
Angin dan Dadan lebih dulu menjalani sidang. Pada Jumat, 4 Februari lalu, majelis hakim yang juga diketuai Fazhal Hendri menghukum Angin Prayitno Aji 9 tahun penjara. Sedangkan Dadan Ramdani mendapat vonis 6 tahun bui.
Andi Syamsuddin Arsyad. atau Haji Isam/Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden)
Keduanya juga dijatuhi hukuman denda Rp 300 juta subsider 2 bulan kurungan. Angin dan Dadan diwajibkan membayar uang pengganti masing-masing Rp 3,375 miliar dan Sin$ 1,095 juta yang dihitung dengan kurs pada 2019, yakni Rp 10.227 per dolar Amerika Serikat. Vonis ini sama dengan tuntutan jaksa. Bedanya, jaksa menuntut hukuman denda sebesar Rp 500 juta atau hukuman pengganti 6 bulan kurungan.
Majelis hakim menilai Angin dan Dadan terbukti membuat kebijakan pemeriksaan pajak demi mendapat keuntungan. Modusnya meminta komisi dari wajib pajak yang “sudah diurus”. Mereka lalu membagi uang suap dari wajib pajak. Sebanyak 50 persen untuk Angin dan Dadan, sisanya dibagikan kepada Alfred, Wawan, dan dua pegawai pajak: Yulmanizar dan Febrian. Dua nama terakhir merupakan saksi kunci dalam perkara ini. KPK tak menjadikan keduanya tersangka.
Divonis hukuman maksimal, Angin dan Dadan tak langsung mengajukan permohonan banding. “Kami pikir-pikir dulu,” ucap kedua terdakwa di persidangan.
Meski hakim menghukum para terdakwa dengan hukuman maksimal, pengadilan tak kunjung membongkar peran pemimpin perusahaan yang menyuap keempat pegawai Ditjen Pajak. Peran mereka juga tak tecermin di dalam surat dakwaan Alfred dan Wawan. Itu karena penyidik KPK tak masuk ke penyelidikan pemberi suap sejak awal.
Penyidik hanya menetapkan para konsultan pajak sebagai tersangka. Mereka adalah konsultan pajak untuk PT Jhonlin Baratama, Agus Susetyo; konsultan pajak PT Foresight Consulting untuk PT Gunung Madu Plantations, Ryan Ahmad Ronas dan Aulia Imran Magribi; serta kuasa pajak Bank Panin, Veronika Lindawati. Padahal, dalam pengurusan pengurangan nilai pajak, yang paling berkepentingan adalah pemilik perusahaan.
Kuasa hukum Alfred, Sandi Situngkir, mempersoalkan ketidakjelasan KPK dalam menyusun dakwaan. Ia menganggap komisi antirasuah kurang lengkap menguraikan proses pemberian uang dari perusahaan kepada kliennya untuk pengurusan pengurangan nilai pajak.
Jaksa sebenarnya sudah memaparkan ada dua mobil Toyota Innova dan satu Mitsubishi Pajero Sport milik PT Gunung Madu Plantations yang berangkat dari Lampung menuju Gedung Menara Prima, Jakarta Selatan, kantor Foresight Consulting, pada 23 Januari 2018. Dalam mobil itu tersimpan uang Rp 15 miliar yang kemudian diduga untuk menyuap pegawai pajak.
Sebelumnya, dalam pemeriksaan lapangan pegawai pajak pada 6 November 2017 juga ditemukan catatan yang menginstruksikan rekayasa invoice di ruangan Finance Manager PT Gunung Madu Plantations, Teh Cho Pong.
Setelah dianalisis, Gunung Madu seharusnya membayar pajak sebesar Rp 5,059 miliar pada 2016. Mewakili direksi PT Gunung Madu, sebagai konsultan, Ryan dan Aulia meminta tim pajak mengurangi besaran pajak Gunung Madu. Mereka juga meminta pegawai pajak tak mempersoalkan temuan rekayasa invoice.
Imbalannya, mereka akan menyerahkan uang pelicin Rp 30 miliar kepada anak buah Angin. Jadi penyerahan uang suap pada 23 Januari lalu hanya uang muka. Siapa yang memberi perintah suap masih samar-samar.
PT Gunung Madu menyatakan pengurusan pajak ditangani konsultan. “Mereka bertugas memberikan jasa konsultasi seperti tax filling dan segala urusan perpajakan,” ujar General Manager Affairs PT Gunung Madu Plantations Asti Sri Purniyati.
Sandi Situngkir mempertanyakan sejumlah kejanggalan pengusutan perkara suap pajak ini. Misalnya keberadaan petinggi perusahaan saat penyerahan suap. Persidangan mengungkap salah seorang pegawai PT Gunung Madu, Iwan Kurniawan, bersama rombongan menuju ke Jakarta di hari penyerahan uang suap.
Iwan memerintahkan dua mobil Innova yang mengangkut uang Rp 15 miliar ditinggal di parkiran Gedung Menara Prima, kantor Foresight Consulting. “Mobil yang satunya lagi ke mana? Di masing-masing mobil ada berapa? Itu tidak jelas,” ujar Sandi.
Dari penyidikan KPK terungkap bahwa Ryan dan Aulia menyerahkan duit itu kepada Yulmanizar di Hotel Kartika Chandra, Jakarta Selatan. Yulmanizar melaporkan penerimaan dan menunjukkan besel tersebut kepada Wawan.
Wawan meneruskan laporan kepada Angin dan Dadan. Karena uang yang diterima dalam bentuk rupiah dan berjumlah banyak, Angin memerintahkan Wawan, melalui Dadan, menukar fulus itu dalam pecahan dolar Singapura.
Juru bicara KPK, Ali Fikri, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 17 Januari 2022/TEMPO/Imam Sukamto
Yulmanizar kemudian menukarkan duit itu di Money Changer Dolar Asia, Jakarta Barat. Karena sudah bersepakat membagi uang suap tadi, Yulmanizar memberikan Sin$ 675.000 untuk Angin dan Dadan. Sisanya Sin$ 675.000 dibagi rata bersama Wawan, Alfred, dan Febrian. “Pemberian uang kepada Pak Alfred di mana dan kapan? Pak Alfred membantah menerima uang,” ucap Sandi.
Ketidakjelasan peran pemilik atau pemimpin perusahaan juga terjadi dalam penanganan perkara PT Jhonlin Baratama. Sekitar Oktober 2017, Wawan, Alfred, Yulmanizar, dan Wawan memilih perusahaan pertambangan PT Jhonlin Baratama untuk dianalisis.
Mereka membuat kertas kerja analisis wajib pajak PT Jhonlin yang disetujui Dadan dengan potensi pajak Rp 6,6 miliar pada 2016 dan Rp 19,04 miliar pada 2017. Pada 23 Oktober 2018, Angin memberikan disposisi kepada Dadan untuk menindaklanjuti analisis dan nota dinas nilai pajak PT Jhonlin.
Atas disposisi Angin, Dadan membawa usul pemeriksaan PT Jhonlin ke Komite Pemeriksaan Tingkat Pusat pada 11 Desember 2018. Angin kemudian menerbitkan instruksi pemeriksaan.
Sejak Januari 2019, Angin tak lagi menjabat Direktur Pemeriksaan. Namun pemeriksaan pajak Jhonlin tetap berjalan. Dua bulan kemudian, perusahaan batu bara yang berkantor di Batulicin, Kalimantan Selatan, itu menunjuk Agus Susetyo sebagai konsultan pajak.
Surat itu diteken Direktur Keuangan PT Jhonlin, Fahruzzaini. Pada hari yang sama, Agus, mantan pegawai pajak, terbang ke Batulicin untuk menghadiri panggilan pemeriksaan bersama Fahruzzaini, dan dua anggota staf lain Jhonlin.
Meski baru saja meneken kontrak sebagai konsultan pada hari itu, Agus membelikan tiket pesawat, hotel, dan akomodasi untuk Wawan cs selama pemeriksaan lapangan di Batulicin. Pemeriksaan itu rampung dua hari kemudian.
Wawan, Alfred, Febrian, dan Yulmanizar bersama Agus pulang ke Jakarta menggunakan pesawat yang sama. Saat transit di Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar, ia meminta agar surat ketetapan kurang bayar PT Jhonlin pada 2016 dan 2017 direkayasa dan dibuat menjadi hanya Rp 10 miliar. Ia menjanjikan fee Rp 50 miliar kepada para pemeriksa dan pejabat struktural pajak.
Wawan menyampaikan permintaan itu kepada Dadan dan langsung disetujui. Selama negosiasi ini, Angin Prayitno Aji tak lagi menjabat Direktur Pemeriksaan. Tapi, lewat Dadan, Angin menagih realisasi uang komisi dari PT Jhonlin.
Agus lantas menyerahkan uang Sin$ 3,5 juta dalam lima tahap selama Juli-September 2019. Uang diserahkan di kantor Agus, Gedung Setiabudi Atrium, dan area parkir Electronic City SCBD, Jakarta Selatan. Dari total Sin$ 3,5 juta, Angin dan Dadan mendapat Jatah Sin$ 1,75 juta. Sisanya, Sin$ 1,75 juta, dibagi kepada Wawan, Alfred, Yulmanizar, dan Febrian.
Ada yang janggal soal miliaran rupiah uang itu. Surat dakwaan, kesaksian, hingga amar putusan hakim sama sekali tak menyebutkan sumber suap Sin$ 3,5 juta dari Agus kepada para pejabat Ditjen Pajak. Saat bersaksi dalam persidangan Angin dan Dadan pada 30 November 2021, Agus menyatakan tidak mengenal pemilik PT Jhonlin, Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam. Agus juga membantah kesaksian Yulmanizar sebelumnya ihwal negosiasi menurunkan nilai pajak PT Jhonlin, termasuk penentuan nilai fee.
Dalam persidangan pada 4 Oktober 2021, Yulmanizar mengatakan Agus pernah melontarkan pernyataan bahwa pertemuan untuk pengkondisian nilai pajak PT Jhonlin merupakan permintaan langsung dari Haji Isam. Agus membantah. Dua hari setelah kesaksian Yulmanizar, Haji Isam melaporkan Yulmanizar ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI atas tuduhan pencemaran nama.
Dalam amar putusan Angin dan Dadan, majelis hakim menyatakan pemberian Sin$ 3,5 juta kepada para pejabat Ditjen Pajak atas pengurusan pajak PT Jhonlin Baratama sudah terbukti. Namun hakim menyebutkan tidak seorang pun saksi dari PT Jhonlin Baratama yang datang ke persidangan dan mengakui fee.
Hakim juga menggunakan pernyataan Agus Susetyo yang mengklaim tidak pernah mengenal dan pernah bertemu Direktur Utama PT Jhonlin Baratama yang bernama Fahrial. “Sehingga tidak bisa dipastikan suap Sin$ 3,5 juta berdasarkan keinginan direksi PT Jhonlin Baratama atau bukan,” ujar majelis hakim saat membacakan putusan.
Hakim berkesimpulan rekayasa pajak itu berasal dari Agus. “Fee tersebut adalah inisiatif Agus Susetyo selaku konsultan PT Jhonlin Baratama dengan maksud mencari keuntungan pribadi dengan mendapat Rp 5 miliar.”
Kuasa hukum Agus Susetyo, Soesilo Aribowo, menyatakan hingga saat ini Agus tidak pernah mengaku memberikan suap kepada Angin dan timnya. “Tidak ada benefit menyuap,” tuturnya. “Kalau suap kan ada meeting of mind-nya dan ada goal-nya, ini tidak ada.”
Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, enggan menanggapi pertanyaan soal peran pemilik PT Jhonlin ataupun PT Gunung Madu dalam penyidikan suap pajak. Ia mengatakan sebagian perkara suap pajak masih dalam pembuktian.
Pramugari Garuda Indonesia Siwi Sidi usai menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya, 20 Januari 2020/TEMPO/M Julnis Firmansyah
Menurut Ali, kebijakan KPK tidak hanya memidanakan koruptor, tapi juga pengembalian aset. “Satu instrumen yang bisa digunakan adalah tindak pidana pencucian uang,” ujarnya. Namun, dari empat terdakwa penerima suap pajak, baru Wawan yang dijerat pasal pencucian uang.
Tuduhan itu didasari bukti Wawan bersama anaknya, Muhammad Farsha Kautsar, mengalihkan dan menyamarkan uang suap Rp 5 miliar untuk membeli rumah, tanah, jam tangan mewah, dan mobil. Ada pula transfer Rp 647 juta kepada mantan pramugari PT Garuda Indonesia (Persero), Siwi Sidi. “Pasti akan kami terapkan pasal ini jika ada bukti-bukti pengalihan,” ucap Ali.
Kuasa hukum Wawan, Sintia Buana Wulandari dan Chairunnisa Fadzara, enggan berkomentar ihwal kasus suap dan korupsi pajak yang menjerat kliennya. “Kami belum bisa mengkonfirmasi. Kami belum masuk ke perkara,” kata Chairunnisa.
ROSSENO AJI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo