TEPUK tangan tanda setuju sekitar 100 hakim yang tengah
bermusyawarah di Medan bergemuruh menyambut usul agar lembaga
sandera atau gijzeling dihidupkan kembali. Padahal, lembaga yang
memberi kewenangan kepada hakim untuk nenyandera orang yang
berutang atas permintaan si berpiutang itu hampir dua puluh
tahun telah dikubur Mahkamah Agung (MA).
Musyawarah para hakim tergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia
(Ikahi) Sumatera Utara, akhir Agustus itu, berkesimpulan bahwa
penguburan lembaga itu melalui Surat Edaran Ketua MA itu kini
tidak tepat lagi. Sebab, sekarang banyak orang berutang yang
nakal. "Peminjam sengaja tidak mau membayar utang-utangnya bukan
karena ia miskin," ujar Ketua Ikahi Sumatera Utara Sarwoko Tjito
Sarwono. Peminjam jenis ini biasanya, menurut Sarwoko, sengaja
memmdahtangankan harta miliknya. Sarwoko merencanakan bulan
September ini akan mengirimkan hasil musyawarah itu kepada Ikahi
Pusat untuk diteruskan kepada Ketua MA.
Lembaga sandera yang diusulkan itu merupakan pranata hukum yang
diatur pasal 209 HIR. Semula, menurut Prof. Oemar Seno Adji,
lembaga itu dikenal dalam hukum adat. "Di masyarakat adat, orang
yang tidak mampu mengembalikan utangnya, bisa dikenakan sanksi
berupa kerja paksa di tempat si berpiutang," ujar Oemar Seno
Adji. Hukum adat itu belakangan dihapuskan Pemerintah Belanda.
Kemudian dimunculkan gijzeling yang mirip dengan hukum adat
tadi. Gijzeling tidak mencantumkan sanksi semacam kerja paksa
itu. Yang bersangkutan hanya disandera bila tidak mempunyai
kekayaan untuk menjamin pelaksanaan putusan pengadilan.
Setelah kemerdekaan, pasal sanderaan itu dirasa tidak lagi
sesuai dengan zaman. Pada 1964, Ketua MA Prof. Wirjono
Prodjodikoro mengeluarkan surat edaran yang membekukan pasal
itu. Alasan Wirjono, pasal sandera itu bertentangan dengan
perikemanusiaan.
Setelah itu tidak ada lagi hakim yang berani menyandera kreditur
yang tidak mampu membayar utang-utangnya. Sampai Bismar Siregar
membuat kejutan ketika menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Utara-Timur, 1974. Dalam suatu perkara utang-piutang, Bismar
memutuskan bahwa seorang tergugat, H. Dulkarim, akan disandera
bila tidak melunasi utangnya sebesar Rp 1 juta kepada Ir.
Maharuddin.
Dalam pertimbangannya, Bismar menyebutkan bahwa surat edaran MA
tentang pelarangan lembaga sandera itu tidak dapat meniadakan
peraturan perundang-undangan. Hakim yang terkenal berani dalam
putusan-putusannya itu, membantah lembaga itu bertentangan
dengan peri kemanusiaan. Alasannya, si berutang yang kena
sandera dijamin fasilitas hidupnya oleh yang memohon
penyanderaan berdasarkan ketetapan hakim. Selain itu, alasan
Bismar, kini surat edaran MA itu telah disalahgunakan
orang-orang yang berutang untuk menghindari kewajibannya (TEMPO,
22 Juli 1974).
Namun, usaha Bismar menggali lembaga sandera dari "kuburnya" itu
kandas. Putusan itu belakangan dibatalkan MA pada Februari 1975.
Peradilan tertinggi itu menganggap usaha Bismar menyimpang dari
ketentuan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Salah satu
pasal undang-undang itu menyebutkan, antara lain, bahwa dalam
melaksanakan keputusan pengadilan diusahakan supaya peri
kemanusiaan dan peri keadilan tetap terpelihara.
Keputusan MA itu kemudian disusul Surat Edaran Ketua MA, (waktu
itu) Prof. Oemar Seno Adji. Isinya: tetap melarang berlakunya
lembaga sandera. Pertimbangannya, menurut Seno Adji, selain
alasan kemanusiaan, juga konvensi internasional yang dikenal
dengan nama International Convenant on Civil and Political
Right. Salah satu pasal dari kesepakatan internasional itu,
menurut guru besar itu, adalah ketentuan untuk tidak menahan
orang-orang yang tidak mampu memenuhi kewajibannya dalam suatu
kontrak. "Kan lucu, kalau dalam urusan perdata seseorang ditahan
-- kayak kriminal saja," kata Oemar Seno Adii.
Sampai kini, Seno Adji tetap pada pendapatnya bahwa lembaga
sandera itu tidak periu dihidupkan kembali. Keluhan adanya
peminjam atau kreditur yang tidak mampu membayar kembali
utangnya, menurut guru besar FHUI itu, tidak perlu diselesaikan
dengan penyanderaan. "Soalnya, apakah pihak yang berutang tidak
mau atau tidak mampu membayar utangnya. Kalau tidak mampu, apa
yang bisa dilakukannya untuk membayar?" ujar Seno Adji.
Jika si berutang tidak mau, tambahnya, penyanderaan juga bukan
satu-satunya jaan untuk memaksa kreditur. Masih bisa dicari
penyelesaian lain, misalnya, penyitaan.
Sebaliknya Bismar, yang kini Ketua Pengadilan Tinggi Medan,
tetap tidak sependapat dengan bekas atasannya itu. "Tanpa
lembaga sandera, hukum tidak mampu menjangkau peminjam yang
nakal itu," ujar Bismar.
Seorang hakim tinggi lainnya di Medan, Thamrin Bangsawan,
sependapat dengan Bismar. Ia pernah menemui kasus tentang si
berutang yang licik. Seorang nasabah meminjam uang dari bank
pemerintah dengan jaminan yang lebih kecil. Setelah dapat
kredit, pengusaha itu memakai uang itu untuk kepentingan lain,
lalu usaha yang diketahui bank dibikinnya bangkrut. Panitia yang
mengurus piutang negara (PUPN) kemudian melelang jaminan yang
tidak seberapa harganya itu. Persoalan pun dianggap selesai.
"Permainan seperti ini kan sangat merugikan negara," tambah
Thamrin.
Namun, harapan para hakim Sumatera Utara itu agaknya belum akan
terwujud. MA masih kukuh dengan pendapatnya. "Sampai saat ini
sikap MA masih tetap seperti semula," ujar Sekjen MA Raffly
Rasad. Artinya, lembaga sandera tetap dikubur. "Agar masyarakat
lebih teliti sebelum meminjamkan uangnya" tambah Raffly lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini