Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggali kubur lembaga sandera

Ikatan hakim indonesia (ikahi) sum-ut mengusulkan agar lembaga sandera atau gijzeling yang dibekukan pada th 1964 dihidupkan kembali. Tapi Mahkamah Agung tetap menolak dengan alasan kemanusiaan. (hk)

17 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEPUK tangan tanda setuju sekitar 100 hakim yang tengah bermusyawarah di Medan bergemuruh menyambut usul agar lembaga sandera atau gijzeling dihidupkan kembali. Padahal, lembaga yang memberi kewenangan kepada hakim untuk nenyandera orang yang berutang atas permintaan si berpiutang itu hampir dua puluh tahun telah dikubur Mahkamah Agung (MA). Musyawarah para hakim tergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) Sumatera Utara, akhir Agustus itu, berkesimpulan bahwa penguburan lembaga itu melalui Surat Edaran Ketua MA itu kini tidak tepat lagi. Sebab, sekarang banyak orang berutang yang nakal. "Peminjam sengaja tidak mau membayar utang-utangnya bukan karena ia miskin," ujar Ketua Ikahi Sumatera Utara Sarwoko Tjito Sarwono. Peminjam jenis ini biasanya, menurut Sarwoko, sengaja memmdahtangankan harta miliknya. Sarwoko merencanakan bulan September ini akan mengirimkan hasil musyawarah itu kepada Ikahi Pusat untuk diteruskan kepada Ketua MA. Lembaga sandera yang diusulkan itu merupakan pranata hukum yang diatur pasal 209 HIR. Semula, menurut Prof. Oemar Seno Adji, lembaga itu dikenal dalam hukum adat. "Di masyarakat adat, orang yang tidak mampu mengembalikan utangnya, bisa dikenakan sanksi berupa kerja paksa di tempat si berpiutang," ujar Oemar Seno Adji. Hukum adat itu belakangan dihapuskan Pemerintah Belanda. Kemudian dimunculkan gijzeling yang mirip dengan hukum adat tadi. Gijzeling tidak mencantumkan sanksi semacam kerja paksa itu. Yang bersangkutan hanya disandera bila tidak mempunyai kekayaan untuk menjamin pelaksanaan putusan pengadilan. Setelah kemerdekaan, pasal sanderaan itu dirasa tidak lagi sesuai dengan zaman. Pada 1964, Ketua MA Prof. Wirjono Prodjodikoro mengeluarkan surat edaran yang membekukan pasal itu. Alasan Wirjono, pasal sandera itu bertentangan dengan perikemanusiaan. Setelah itu tidak ada lagi hakim yang berani menyandera kreditur yang tidak mampu membayar utang-utangnya. Sampai Bismar Siregar membuat kejutan ketika menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, 1974. Dalam suatu perkara utang-piutang, Bismar memutuskan bahwa seorang tergugat, H. Dulkarim, akan disandera bila tidak melunasi utangnya sebesar Rp 1 juta kepada Ir. Maharuddin. Dalam pertimbangannya, Bismar menyebutkan bahwa surat edaran MA tentang pelarangan lembaga sandera itu tidak dapat meniadakan peraturan perundang-undangan. Hakim yang terkenal berani dalam putusan-putusannya itu, membantah lembaga itu bertentangan dengan peri kemanusiaan. Alasannya, si berutang yang kena sandera dijamin fasilitas hidupnya oleh yang memohon penyanderaan berdasarkan ketetapan hakim. Selain itu, alasan Bismar, kini surat edaran MA itu telah disalahgunakan orang-orang yang berutang untuk menghindari kewajibannya (TEMPO, 22 Juli 1974). Namun, usaha Bismar menggali lembaga sandera dari "kuburnya" itu kandas. Putusan itu belakangan dibatalkan MA pada Februari 1975. Peradilan tertinggi itu menganggap usaha Bismar menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Salah satu pasal undang-undang itu menyebutkan, antara lain, bahwa dalam melaksanakan keputusan pengadilan diusahakan supaya peri kemanusiaan dan peri keadilan tetap terpelihara. Keputusan MA itu kemudian disusul Surat Edaran Ketua MA, (waktu itu) Prof. Oemar Seno Adji. Isinya: tetap melarang berlakunya lembaga sandera. Pertimbangannya, menurut Seno Adji, selain alasan kemanusiaan, juga konvensi internasional yang dikenal dengan nama International Convenant on Civil and Political Right. Salah satu pasal dari kesepakatan internasional itu, menurut guru besar itu, adalah ketentuan untuk tidak menahan orang-orang yang tidak mampu memenuhi kewajibannya dalam suatu kontrak. "Kan lucu, kalau dalam urusan perdata seseorang ditahan -- kayak kriminal saja," kata Oemar Seno Adii. Sampai kini, Seno Adji tetap pada pendapatnya bahwa lembaga sandera itu tidak periu dihidupkan kembali. Keluhan adanya peminjam atau kreditur yang tidak mampu membayar kembali utangnya, menurut guru besar FHUI itu, tidak perlu diselesaikan dengan penyanderaan. "Soalnya, apakah pihak yang berutang tidak mau atau tidak mampu membayar utangnya. Kalau tidak mampu, apa yang bisa dilakukannya untuk membayar?" ujar Seno Adji. Jika si berutang tidak mau, tambahnya, penyanderaan juga bukan satu-satunya jaan untuk memaksa kreditur. Masih bisa dicari penyelesaian lain, misalnya, penyitaan. Sebaliknya Bismar, yang kini Ketua Pengadilan Tinggi Medan, tetap tidak sependapat dengan bekas atasannya itu. "Tanpa lembaga sandera, hukum tidak mampu menjangkau peminjam yang nakal itu," ujar Bismar. Seorang hakim tinggi lainnya di Medan, Thamrin Bangsawan, sependapat dengan Bismar. Ia pernah menemui kasus tentang si berutang yang licik. Seorang nasabah meminjam uang dari bank pemerintah dengan jaminan yang lebih kecil. Setelah dapat kredit, pengusaha itu memakai uang itu untuk kepentingan lain, lalu usaha yang diketahui bank dibikinnya bangkrut. Panitia yang mengurus piutang negara (PUPN) kemudian melelang jaminan yang tidak seberapa harganya itu. Persoalan pun dianggap selesai. "Permainan seperti ini kan sangat merugikan negara," tambah Thamrin. Namun, harapan para hakim Sumatera Utara itu agaknya belum akan terwujud. MA masih kukuh dengan pendapatnya. "Sampai saat ini sikap MA masih tetap seperti semula," ujar Sekjen MA Raffly Rasad. Artinya, lembaga sandera tetap dikubur. "Agar masyarakat lebih teliti sebelum meminjamkan uangnya" tambah Raffly lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus