DICARI seorang laki-laki bernama Bustomi alias Unik. Buronan itu
berbadan sedang, muka lonjong, kult sawo matang, dan rambut
hitam lurus. Semua pihak diminta bantuannya untuk segera melapor
ke kantor kejaksaan atau kepolisian bila menemukan orang itu.
Begitu isi pengumuman resmi Kejaksaan Agung yang ditandatangai
A.A. Ngurah, pekan lalu. Selain mengumumkan ciri-ciri unik,
Kepala Hubungan Masyarakat itu juga membagi-bagikan foto
buronannya, bekas Bendaharawan Proyek Reboisasi Lampun, kepada
koran-koran. Memang tidak disebutkan apa imbalan bagi yang
berhasil melacak buronan itu.
Sebelum Kejaksaan Agung membuat pengumuman itu, Pengacara Rusdi
Nurima telah lebih dulu membuat siaran serupa di Pengadilan
Negeri Tanjungkarang. Malah, Rusdi menjanjikan imbalan Rp 1,5
juta bagi siapa saja yang bisa menemukan Unik dalam keadaan
hidup. Sebab orang itu, menurut Rusdi, diperlukan sebagai saksi
dalam kasus yang tengah dibelanya: perkara korupsi reboisasi
dengan tertuduh Kepala Dinas Kesatuan Pemangkuan Hutan Lampung,
Ir. Fachruddin Lufti. Orang yang dicari itu sekitar Maret lalu,
menurut Rusdi, menghiiang bersama Fachruddin ketika diperiksa
kejaksaan.
Model sayembara untuk mencari buronan seperti itu, dimulai oleh
perusahaan penerbangan Singapore Airlines (SIA) perwakilan
Medan. Melalui iklan koran-koran di Medan dan Jakarta,
perusahaan itu mengumumkan hadiah sebesar Rp 100 juta bagi siapa
saja yang bisa menemuan bekas bendaharawan SIA, Dewi, alias
Nyonya Susana Limijati, alias Lim Lie Tjin, alias Ah Hoon.
Bendahari berwajah cantik itu dituduh telah melarikan uang
perusahaan sebanyak Rp 5,4 milyar.
Buronan yang fotonya ikut dipampangkan, menurut iklan itu,
menghilang sejak 26 Maret lalu. (TEMPO, Kriminalitas, 6
Agustus). Hadiah menggiurkan itu, ternyata merangsang berbagai
kelompok "pemburu amatir" untuk melacak Dewi. Sekelompok
pemburu, beranggotakan 7 orang, bulan ini mengaduk-aduk
Brastagi, karena menduga bahwa Dewi bersembunyi di kota sejuk
itu.
Sementara para pemburu sibuk, beberapa pengamat hukum gusar.
Ketua DPP Peradin (organisasi advokat), Harjono Tjitrosoebono,
mengimbau pemerintah untuk menyetop sayembara semacam itu.
"Mencari tertuduh seperti itu tanggung jawab aparat penegak
hukum. Tidak perlu dibagi-bagi kepada masyarakat," ujar Harjono.
Pengumuman semacam itu, menurut Harjono, sama saja dengan
pengakuan bahwa aparat penegak hukum tidak mampu bekerja
sendiri. "Kasarnya, mencari orang saja tidak bisa, apalagi
memberantas kejahatan," tambahnya.
Harjono menuding sayembara semacam itu menyalahi prinsip hukum
yang berkenaan dengan azas praduga tidak bersalah dan hukum
acara pidana kita. Advokat senior itu cemas, sayembara mencari
buronan itu akan melahirkan pemburu-pemburu bayaran.
Kekhawatiran pengacara itu tidak dapat diterima pihak yang
memasang pengumuman dan aparat penegak hukum. "Tidak ada
peraturan yang melarang memasang iklan mencari buronan," sanggah
Kadapol II Sumatera Utara, Brigjen Pol.Drs. Sunaryo. Ia juga
tidak dapat menerima tuduhan bahwa dengan iklan semacam itu
hukum kembali ke zaman koboi. "Kami selalu memerlukan bantuan
masyarakat," ujar Sunaryo. Sebaliknya, Kadapol Sunaryo juga
tidak menghendaki anggota masyarakat melakukan tindakan main
hakim sendiri dalam mencari buronan itu. "Kalau ada yang berani,
misalnya menyekap buronan itu, akan kami tindak," tambahnya.
Pengacara Rusdi Nurima juga berpendapat bahwa tidak ada aturan
yang melarang mencari orang melalui pengumuman di surat kabar.
"Bahkan, dalam berbagai perkara perdata dan pidana merupakan
kewajiban membuat pengumuman untuk memanggil pihak yang tidak
hadir," ujar Rusdi.
Bahkan, Rusdi menuduh rekannya, Harjono, terlalu gegabah dengan
menyamaratakan antara iklan SIA dengan pengumumannya mencari
Bustomi. "Bustomi bagi saya bukan buron, ia saya perlukan untuk
saksi utama dalam kasus klien saya, Fachruddin," ujar Rusdi
lagi. Menurut pengacara itu, dalam persidangan terungkap,
sebagian uang yang dituduhkan dikorupsikan kliennya itu
disetorkan ke pimpinan proyek melalui Bendaharawan Bustomi.
"Jelas ia saksi kunci. Sebagai pembela, saya menggunakan segala
upaya untuk mencari kebenaran material bagi klien saya," tutur
Rusdi yan menitipkan sebagian uang hadiah itu kepada majelis
hakim di Pengadilan Negeri Tanjungkarang.
Jaksa Agung Ismail Saleh menganggap pemanggilan melalui koran
tidak bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah.
"Pangilan itu 'kan macam-macam. Ada panggilan langsung, lewat
lurah, dan kali ini melalui koran," ujar Ismail Saleh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini