Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Raja cengkih dan tari klasik raja cengkih dan tari klasik

Paguyuban tari klasik yogyakarta kesulitan dana. pengusaha probosutejo turun tangan menjadi bapak angkat. (tr)

17 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USAHAWAN Probosutedjo punya status baru. Ia secara resmi telah menjadi bapak angkat Paguyuban Siswo Among Bekso, Yogyakarta. Peristiwa itu ditandai dengan pementasan grup tari klasik Yogyakara itu di Dalem Purbayan. Masuknya Probo, 51 tahun, - yang antara lain dikenal sebagai presiden direktur PT Mercu Buana, eksportir cengkih -- dalam Siswo Among Bekso (SAB), merupakan rangkaian peristiwa yang dimulai sejak dua tahun lalu. Ceritanya, paguyuban tari klasik Yogyakarta, yang sudah berjalan sekitar 30 tahun itu, sudah lama membutuhkan wadah yang lebih modern. "Untuk lebih mengembangkan seni tari dengan serius dan sistematis," kata R.M. Dinusatama, 42 tahun. Dua tahun lalu, para sesepuh SAB memutuskan membentuk yayasan. Dinusatama, karyawan Kanwil P & K Yogyakarta itu, yang sudah sejak lama mengikuti suka duka paguyuban tari klasik, terpilih sebagai ketua. Sejak itu, memang ada perubahan gerak organisasi tersebut. SAB tak lagi berjalan bagaikan andong Yogya yang pelan-pelan asal sampai itu. Kini sejumlah sasaran ditetapkan. Misalnya, diputuskan harus ada latihan tari empat kali seminggu. Dan dalam pementasan besar, sekali setahun, harus ditampilkan tari klasik baru, hasil penggalian para tokoh paguyuban tersebut. Ternyata semua itu susah sekali dilaksanakan hanya dengan modal kegigihan. Perlu sumber keuangan yang mantap. Boleh dikata selama ini Paguyuban SAB berjalan dengan semangat kekeluargaan saja. Pembicaraan yang menyangkut soal komersial, misalnya, selama ini seperti sengaja dihindarkan. Maka, meski kini paguyuban ini memiliki sekitar 600 siswa dan 29 guru tari, tempat latihan pun masih meminjam. Bahkan paguyuban, yang persisnya berdiri pada 13 Mei i952, hingga kini belum memiliki gamelan sendiri. Tidak jarang latihan tari cuma diiringi gending-gending dari tape recorder. Kegigihan para sesepuh dan guru tarinyalah yang pantas dipuji, bila paguyuban ini masih berjalan dan masih sering muncul di depan umum dengan pertunjukan yang tidak mengecewakan. Nyonya Reksokoesoemo, 52 tahun, yang sudah mengajar tari di SAB selama 25 tahun, tidak keberatan diberi imbalan Rp 3 ribu sebulan. "Daripada diam saja, mengajar tari bisa mengukuhkan otot agar tidak loyo," kata bekas penari Serimpi Keraton Yogyakarta itu. Dan Nyonya Puspodiningrat, 63 tahun, rekan Nyonya Rekso tadi, menyambung: "Kalau bukan kami para orang tua yang mengajarkan tari klasik, ya, siapa lagi?" Menurut Dinusatama, dengan sasaran yang antara lain sudah disebutkan, SAB cuma mampu menetapkan anggaran Rp 1 juta setahun. Maka itu, uluran tangan Probosutedjo yang menjadi bapak angkat SAB sejak Juni 1983 menggembirakan SAB. Meski demikian, hingga sekarang "belum ada dana kongkret per bulan yang kami terima," tutur Dinusatama. Yang ada baru bantuan insidental dari "Raja Cengkih" itu, Juni lalu, Rp 850 ribu sewaktu pementasan di Dalem Purbayan, yang sudah dibeli Probosutedjo. Dan, bantuan Rp 750 ribu, waktu SAB mementaskan Gatutkaca Gendogo, ketika memperingati 17 Agustus lalu. Selain itu, Dinusatama pun mengharapkan tak lama lagi SAE bisa berlatih di tempa yang baik. Probo memang merencanakan membangun Pusat Latihan Tari di Dalem Ngabean, terletak di barat Alun-alun Selatan, Yogyakarta, yang kini juga sudah dibeli adik Presiden Soeharto itu. Tapi Pusat Latihan Tari itu nanti tidaklah khusus untuk SAB. Toh setidaknya ini lebih mantap dibandingkan dengan Pendopo Purwodiningratan yang selama ini dipakai untuk latihan, atas kebaikan K.R.T. Purwodiningrat. Bangsawan yang murah hati itu selama ini tidak saja merelakan pendoponya, tapi juga meminjamkan dua perangkat gamelannya untuk latihan. Tentu saja, pihak SAB sendiri, setelah yayasan berdiri, tidak cuma berpangku tangan. Selain dari iuran Rp 500 per bulan dari tiap siswa, untuk mengisi kas yayasan, usaha lain dilakukan. Misalnya tahun lalu, empat kaset gending-gending SAB diterbitkan oleh Borobudur Record. "Kami mendapat imbalan Rp 1 juta untuk empat rekaman kaset itu," tutur Dinusatama pula. Pun kini direncanakan paguyuban ini akan sedikit aktif menawarkan jasa pementasan. "Kami tidak pasang tarif khusus," kata Sumono, 45 tahun, bendahara yayasan. "Biasanya untuk pementasan di kantor-kantor pemerintah maupun swasta, imbalannya cuma sekitar Rp 400 ribu." Toh, dengan sadar pula Dinusatama tetap berusaha agar paguyuban ini tak tergelincir menjadi komersial. Tujuan utamanya tetap ditekankan: memelihara, menggali, dan mengembangkan tari klasik Yogyakarta. Hasil galian SAB, selain di Yogyakarta sendiri, beberapa pernah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Misalnya Bedoyo Semang ciptaan Sultan Agung. Juga Lawung Ageng dan Beksan Eteng karya Hamengkubuwono I. Hingga kini, tujuh aturan baku dan empat dasar falsafah tari klasik Yogyakarta, yang konon dibakukan oleh Hamengkubuwono I (1755-1792), tetap menjadi pegangan teguh SAB. Artinya, tari klasik yang disuguhkan tak lepas dari aturan ini. Pandangan mata yang mantap, gerak leher yang tepat. Lalu sikap tegak tapi tidak tegang. Posisi kaki dan paha yang pas. Disusul dengan gerak jari kaki yang tak boleh meleset. Dan yang tak kurang pentingnya, cara merendahkan tubuh dengan menekuk lutut harus pas pada ukuran. Adapun empat dasar falsafah yang harus dihayati para penari klasik Yogyakarta merupakan jiwa dari tujuh aturan tersebut. Yang pertama ialah sewiji. Maksudnya, dalam menari, seseorang harus memusatkan perhatian pada gerak tubuhnya, tapi tidak harus tegang. Lantas yang disebut greget. Semua gerakan harus dilakukan dengan dorongan emosi, tidak asal gerak, tetap terkendali. Yang ketiga disebut sengguh. Artinya, dalam menari seseorang harus memiliki kepercayaan pada diri sendiri, tanpa harus menjadi sombong. Terakhir, ora mingkuh. Maksudnya, disiplin. Seorang penari tak boleh menyimpang dari tari yang telah dilaksanakan, dan ia harus menyelesaikan tugasnya dengan tuntas, apa pun yang terjadi. Sebenarnya, SAB bukan satu-satunya yang memelihara dan mengembangkan tari klasik Yogyakarta -- sementara pihak Keraton Yogyakarta kelihatannya pasif dalam hal ini. Ada Mardowo Budoyo. Tapi yang terakhir ini lebih merupakan perkumpulan nostalgia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus