USAHAWAN Probosutedjo punya status baru. Ia secara resmi telah
menjadi bapak angkat Paguyuban Siswo Among Bekso, Yogyakarta.
Peristiwa itu ditandai dengan pementasan grup tari klasik
Yogyakara itu di Dalem Purbayan.
Masuknya Probo, 51 tahun, - yang antara lain dikenal sebagai
presiden direktur PT Mercu Buana, eksportir cengkih -- dalam
Siswo Among Bekso (SAB), merupakan rangkaian peristiwa yang
dimulai sejak dua tahun lalu. Ceritanya, paguyuban tari klasik
Yogyakarta, yang sudah berjalan sekitar 30 tahun itu, sudah lama
membutuhkan wadah yang lebih modern. "Untuk lebih mengembangkan
seni tari dengan serius dan sistematis," kata R.M. Dinusatama,
42 tahun. Dua tahun lalu, para sesepuh SAB memutuskan membentuk
yayasan. Dinusatama, karyawan Kanwil P & K Yogyakarta itu, yang
sudah sejak lama mengikuti suka duka paguyuban tari klasik,
terpilih sebagai ketua.
Sejak itu, memang ada perubahan gerak organisasi tersebut. SAB
tak lagi berjalan bagaikan andong Yogya yang pelan-pelan asal
sampai itu. Kini sejumlah sasaran ditetapkan. Misalnya,
diputuskan harus ada latihan tari empat kali seminggu. Dan dalam
pementasan besar, sekali setahun, harus ditampilkan tari klasik
baru, hasil penggalian para tokoh paguyuban tersebut. Ternyata
semua itu susah sekali dilaksanakan hanya dengan modal
kegigihan. Perlu sumber keuangan yang mantap.
Boleh dikata selama ini Paguyuban SAB berjalan dengan semangat
kekeluargaan saja. Pembicaraan yang menyangkut soal komersial,
misalnya, selama ini seperti sengaja dihindarkan. Maka, meski
kini paguyuban ini memiliki sekitar 600 siswa dan 29 guru tari,
tempat latihan pun masih meminjam. Bahkan paguyuban, yang
persisnya berdiri pada 13 Mei i952, hingga kini belum memiliki
gamelan sendiri. Tidak jarang latihan tari cuma diiringi
gending-gending dari tape recorder.
Kegigihan para sesepuh dan guru tarinyalah yang pantas dipuji,
bila paguyuban ini masih berjalan dan masih sering muncul di
depan umum dengan pertunjukan yang tidak mengecewakan. Nyonya
Reksokoesoemo, 52 tahun, yang sudah mengajar tari di SAB selama
25 tahun, tidak keberatan diberi imbalan Rp 3 ribu sebulan.
"Daripada diam saja, mengajar tari bisa mengukuhkan otot agar
tidak loyo," kata bekas penari Serimpi Keraton Yogyakarta itu.
Dan Nyonya Puspodiningrat, 63 tahun, rekan Nyonya Rekso tadi,
menyambung: "Kalau bukan kami para orang tua yang mengajarkan
tari klasik, ya, siapa lagi?" Menurut Dinusatama, dengan sasaran
yang antara lain sudah disebutkan, SAB cuma mampu menetapkan
anggaran Rp 1 juta setahun.
Maka itu, uluran tangan Probosutedjo yang menjadi bapak angkat
SAB sejak Juni 1983 menggembirakan SAB. Meski demikian, hingga
sekarang "belum ada dana kongkret per bulan yang kami terima,"
tutur Dinusatama. Yang ada baru bantuan insidental dari "Raja
Cengkih" itu, Juni lalu, Rp 850 ribu sewaktu pementasan di Dalem
Purbayan, yang sudah dibeli Probosutedjo. Dan, bantuan Rp 750
ribu, waktu SAB mementaskan Gatutkaca Gendogo, ketika
memperingati 17 Agustus lalu.
Selain itu, Dinusatama pun mengharapkan tak lama lagi SAE bisa
berlatih di tempa yang baik. Probo memang merencanakan
membangun Pusat Latihan Tari di Dalem Ngabean, terletak di barat
Alun-alun Selatan, Yogyakarta, yang kini juga sudah dibeli adik
Presiden Soeharto itu. Tapi Pusat Latihan Tari itu nanti
tidaklah khusus untuk SAB. Toh setidaknya ini lebih mantap
dibandingkan dengan Pendopo Purwodiningratan yang selama ini
dipakai untuk latihan, atas kebaikan K.R.T. Purwodiningrat.
Bangsawan yang murah hati itu selama ini tidak saja merelakan
pendoponya, tapi juga meminjamkan dua perangkat gamelannya untuk
latihan.
Tentu saja, pihak SAB sendiri, setelah yayasan berdiri, tidak
cuma berpangku tangan. Selain dari iuran Rp 500 per bulan dari
tiap siswa, untuk mengisi kas yayasan, usaha lain dilakukan.
Misalnya tahun lalu, empat kaset gending-gending SAB diterbitkan
oleh Borobudur Record. "Kami mendapat imbalan Rp 1 juta untuk
empat rekaman kaset itu," tutur Dinusatama pula. Pun kini
direncanakan paguyuban ini akan sedikit aktif menawarkan jasa
pementasan. "Kami tidak pasang tarif khusus," kata Sumono, 45
tahun, bendahara yayasan. "Biasanya untuk pementasan di
kantor-kantor pemerintah maupun swasta, imbalannya cuma sekitar
Rp 400 ribu."
Toh, dengan sadar pula Dinusatama tetap berusaha agar paguyuban
ini tak tergelincir menjadi komersial. Tujuan utamanya tetap
ditekankan: memelihara, menggali, dan mengembangkan tari klasik
Yogyakarta. Hasil galian SAB, selain di Yogyakarta sendiri,
beberapa pernah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Misalnya Bedoyo Semang ciptaan Sultan Agung. Juga Lawung Ageng
dan Beksan Eteng karya Hamengkubuwono I.
Hingga kini, tujuh aturan baku dan empat dasar falsafah tari
klasik Yogyakarta, yang konon dibakukan oleh Hamengkubuwono I
(1755-1792), tetap menjadi pegangan teguh SAB. Artinya, tari
klasik yang disuguhkan tak lepas dari aturan ini. Pandangan mata
yang mantap, gerak leher yang tepat. Lalu sikap tegak tapi tidak
tegang. Posisi kaki dan paha yang pas. Disusul dengan gerak jari
kaki yang tak boleh meleset. Dan yang tak kurang pentingnya,
cara merendahkan tubuh dengan menekuk lutut harus pas pada
ukuran.
Adapun empat dasar falsafah yang harus dihayati para penari
klasik Yogyakarta merupakan jiwa dari tujuh aturan tersebut.
Yang pertama ialah sewiji. Maksudnya, dalam menari, seseorang
harus memusatkan perhatian pada gerak tubuhnya, tapi tidak harus
tegang. Lantas yang disebut greget. Semua gerakan harus
dilakukan dengan dorongan emosi, tidak asal gerak, tetap
terkendali. Yang ketiga disebut sengguh. Artinya, dalam menari
seseorang harus memiliki kepercayaan pada diri sendiri, tanpa
harus menjadi sombong. Terakhir, ora mingkuh. Maksudnya,
disiplin. Seorang penari tak boleh menyimpang dari tari yang
telah dilaksanakan, dan ia harus menyelesaikan tugasnya dengan
tuntas, apa pun yang terjadi.
Sebenarnya, SAB bukan satu-satunya yang memelihara dan
mengembangkan tari klasik Yogyakarta -- sementara pihak Keraton
Yogyakarta kelihatannya pasif dalam hal ini. Ada Mardowo Budoyo.
Tapi yang terakhir ini lebih merupakan perkumpulan nostalgia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini